UMKM Butuh Intervensi Berbasis Digital dari Pemerintah
Berdasarkan data yang dihimpun OECD dari survei Asia Pacific MSME Trade Coalition, hampir 50 persen pelaku UMKM memiliki cadangan kas yang cukup untuk satu bulan, bahkan kurang.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam menghadapi pukulan pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional, digitalisasi berperan strategis dalam menyokong daya tahan usaha mikro, kecil, dan menengah. Oleh sebab itu, pemerintah mesti memiliki kebijakan intervensi berbasis teknologi digital bagi pelaku UMKM.
Kepala Divisi UKM dan Kewirausahaan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Lucia Cusmano menilai, kebijakan pemerintah yang berorientasi pada teknologi digital memiliki peran strategis bagi pelaku UMKM di masa pandemi Covid-19. Namun, kebijakan pemerintah sejumlah negara cenderung tradisional.
”Salah satu wujud kebijakan berorientasi digitalisasi berupa dukungan pemerintah pada pemanfaatan teknologi finansial (tekfin). Tekfin dapat menjangkau UMKM secara lebih luas dan cepat,” kata Cusmano dalam seminar daring bertajuk ”ASEAN MSMEs in a COVID-19 World: Overcoming Challenges to Succeed in the New Normal” yang diadakan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Kamis (18/6/2020).
Berdasarkan data yang dihimpun OECD dari survei Asia Pacific MSME Trade Coalition, hampir 50 persen pelaku UMKM memiliki cadangan kas yang cukup untuk satu bulan, bahkan kurang. UMKM dari Indonesia juga terlibat sebagai responden pada survei ini.
Survei tersebut juga menyebutkan, 27,89 persen pelaku UMKM akan mengurangi tenaga kerjanya hingga 50 persen atau lebih. Sebanyak 39,44 persen responden berencana mengurangi tenaga kerjanya 10-40 persen.
Menurut Cusmano, adaptasi terhadap proses digitalisasi membuat pelaku UMKM bisa bertahan. Mengakselerasi digitalisasi pada UMKM membutuhkan perubahan sistemik yang membuat ekosistem bisnis turut berubah.
Hal ini membutuhkan sokongan dari pemerintah yang bersifat jangka panjang. Pemerintah mesti mampu meningkatkan investasi yang mendukung digitalisasi bagi UMKM.
”Konektivitas dan pita lebar (broadband) yang berkualitas, hingga ke area terpencil, menjadi syarat utama digitalisasi,” ujarnya.
Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di Indonesia pada 2018 sebesar 64,8 persen. Sebanyak 55,8 persen pengguna internet masih berpusat di Pulau Jawa.
Sementara itu, Ekonom Senior ERIA Dionisius Narjoko menyatakan, fleksibilitas juga menjadi kunci bagi pelaku UMKM untuk bertahan dalam menghadapi situasi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19. Artinya, pelaku UMKM mesti gesit dalam beradaptasi, utamanya mendigitalisasi proses bisnisnya.
Pukulan pandemi Covid-19 pada perekonomian juga mendisrupsi rantai pasok. ”Sejumlah UMKM di Indonesia menggantungkan arus kasnya pada aliran rantai pasok. Oleh sebab itu, hal ini mesti mendapatkan perhatian,” kata Dionisius.
Sejumlah UMKM di Indonesia menggantungkan arus kasnya pada aliran rantai pasok. Oleh sebab itu, hal ini mesti mendapatkan perhatian.
Di sisi lain, Dionisius menilai, pandemi Covid-19 pada perekonomian merupakan momentum bagi pelaku UMKM dalam meningkatkan efisiensi. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi juga patut menjadi perhatian.
Founder dan CEO Wakuliner Anthony Gunawan mengatakan, usahanya yang bergerak di bidang makanan-minuman terpukul dampak pandemi Covid-19 di Indonesia. Hal itu membuat manajemen Wakuliner segera mengubah pola pikir seluruh tim yang menjalankan bisnis ini.
”Kami mesti menerima ’badai’ ini tak berlalu hingga vaksin ditemukan. Dengan pola pikir ini, kami bisa menangkap peluang-peluang pasar baru untuk digarap,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.