Kebijakan Ekspor Benih Lobster Perlu Ditinjau Ulang
Kebijakan ekspor benih lobster dinilai bermasalah dan berpotensi malaadministrasi. Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih, menilai, kebijakan itu mengandung sejumlah masalah sehingga pemerintah perlu membatalkannya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Karina Isna Irawan
·5 menit baca
DOKUMENTASI BKIPM SURABAYA I
Benih lobster yang akan diselundupkan ke Singapura berhasil disita oleh tim pengamanan Bandara Juanda, Selasa (6/11/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu meninjau ulang kebijakan ekspor benih bening lobster. Ketentuan ekspor dinilai bermasalah dan pelaksanaannya juga tidak transparan.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, di Jakarta, Kamis (18/6/2020), menilai, kebijakan ekspor itu dipaksakan dan tergesa-gesa. Kebijakan itu mengandung sejumlah persoalan, mulai dari dasar kajian yang tidak mendalam, penentuan kriteria keberhasilan budidaya, kualifikasi ekspor, hingga penetapan eksportir benih yang tidak transparan.
Pekan lalu, benih bening lobster diekspor untuk pertama kali setelah pemerintah menerbitkan regulasinya pada 4 Mei 2020. Ekspor benih diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Eksportir, antara lain, disyaratkan sudah memanen hasil budidaya lobster berkelanjutan dan melepasliarkan 2 persen hasil panen.
Menurut Alamsyah, alasan pemerintah melegalkan ekspor benih lobster untuk meningkatkan kontrol, menekan penyelundupan benih, dan peningkatan pendapatan negara terlalu naif. Masalah penyelundupan benih lobster seharusnya diselesaikan dengan meningkatkan pengawasan dan membereskan penyelundupan, bukan melegalkan ekspor.
Syarat ekspor, yakni berhasil melakukan budidaya lobster, juga dinilai janggal. ”Kalau (perusahaan) sudah terbukti bisa melakukan budidaya lobster, kenapa masih diberi ruang untuk ekspor benih bening lobster?” kata Alamsyah.
Oleh karena itu, Alamsyah meminta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo meninjau ulang kebijakan itu. Sebaliknya, pemerintah perlu fokus pada peta jalan budidaya lobster yang memberikan nilai tambah jauh lebih besar bagi masyarakat dan negara. Usaha budidaya lobster dan peningkatan ekspor lobster konsumsi perlu dibangkitkan dengan melibatkan swasta.
”Kebijakan (ekspor) ini salah dari hulunya dan tidak sesuai dengan konstitusi ekonomi. Menteri Edhy perlu meninjau ulang kebijakan. Hentikan dulu ekspor benih karena berpotensi malaadministrasi,” kata Alamsyah.
Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta untuk kembali ke mandat konstitusi, yakni bahwa bumi, air, dan sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalaupun kementerian tetap ingin memanfaatkan benih lobster untuk kepentingan ekspor dan peningkatan penerimaan negara, kementerian seharusnya menugaskan badan usaha milik negara (BUMN) dan bukan memberikan izin ekspor kepada perusahaan tertentu melalui proses yang tidak transparan.
”Tekanan itu wajar karena lobi kiri-kanan tetap ingin dapatkan (izin ekspor benih) itu. Tetapi, saya kira Menteri Edhy yang sudah cukup lama di politik, seharusnya bisa menangani tekanan itu dan menganulir kebijakan yang keliru,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster Kementerian Kelautan dan Perikanan Andreau Misanta menjelaskan, KKP membuka kesempatan perusahaan mana pun untuk mendaftar sebagai pelaku budidaya dan eksportir benih bening lobster. ”Hingga saat ini, sudah 86 perusahaan yang mengajukan (izin),” katanya melalui pesan singkat.
Andreau menambahkan, mekanisme penentuan perusahaan eksportir benih lobster meliputi kelayakan usaha budidaya lobster, memiliki infrastruktur keramba jaring apung, penerapan teknologi budidaya, pelepasliaran 2 persen lobster ke alam, serta memiliki nelayan dan kelompok binaan yang terdaftar di kabupaten, provinsi, dan KKP. Selain itu, perusahaan berkomitmen mengikuti syarat penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Terkait pengiriman benih bening lobster, hingga saat ini sudah ada tujuh perusahaan yang mengajukan untuk kargo benih lobster. Adapun pengeluaran benih bening lobster dilakukan melalui lima bandar udara, yakni Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Bandara H Juanda (Surabaya), Bandara Ngurah Rai (Denpasar), Bandara Hasanuddin (Makassar), dan Bandara Kualanamu (Deli Serdang).
Batasi waktunya
Menurut Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, mengemukakan, pemerintah menginginkan proses yang transparan dan negara diuntungkan terkait kebijakan ekspor benih bening losbster. Namun, ia mengusulkan agar kebijakan ekspor benih lobster dibatasi waktunya paling lama tiga tahun. Dalam kurun tersebut, budidaya lobster perlu diperkuat untuk mengatasi ketertinggalan dari Vietnam.
Penguatan budidaya lobster dinilai perlu dilakukan dalam seluruh aspek, mulai dari pakan, teknologi keramba jaring apung, penanganan penyakit, hingga pasar. Sebaliknya, jika ekspor benih tetap dilarang, penyelundupan berpotensi terus berlangsung ketika budidaya lobster belum siap.
”Ekspor benih (lobster) perlu dibatasi waktunya sambil budidaya didorong untuk menyusul Vietnam dalam waktu tiga tahun. Setelah itu, ekspor (benih) perlu ditutup karena budidaya lobster lebih bagus dan memberikan multiefek dan penyerapan lapangan kerja,” katanya.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi, yang dihubungi, Kamis (18/6/2020), mengatakan, pemerintah tidak bisa memungut PNBP benih lobster karena dasar hukum pengenaan tarif belum tersedia.
Saat ini Kementerian Keuangan tengah melakukan pembahasan lintas kementerian terkait revisi Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam revisi PP No 75/2015, banyak jenis tarif yang akan diperbarui, termasuk benih lobster.
Pemerintah tidak bisa memungut PNBP benih lobster karena dasar hukum pengenaan tarif belum tersedia.
”Dalam rangka pemungutan PNBP, harus ada dasar pengenaan tarifnya. Revisi PP No 75/2015 menjadi landasan hukumnya,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, prosedur ekspor dan pemungutan PNBP tidak satu kerangka regulasi. Ekspor tetap bisa dijalankan sepanjang persyaratan terpenuhi. Setelah itu, perusahaan membayar tarif berupa pajak atau PNBP atas komoditas yang diekspor. Namun, dalam kasus ekspor benih lobster, regulasi pengenaan tarif belum selesai.
Ironisnya, ekspor benih lobster dilakukan saat PNBP Indonesia anjlok. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi PNBP per Mei 2020 sebesar Rp 136,9 triliun atau turun 13,6 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Anjloknya PNBP dipengaruhi penurunan harga-harga komoditas global.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan membenarkan ada ekspor benih lobster yang dilakukan PT TAM dan PT ASL pada 12 Juni 2020 melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Berdasarkan data Kantor Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, ekspor benih lobster PT TAM dan PT ASL dikemas dalam tujuh koli. PT TAM mengekspor benih lobster sebanyak 60.000 ekor, sedangkan PT ASL sekitar 37.500 ekor (Kompas, 16/6/2020).