Jangan Memancing di Air Keruh
Kebutuhan dana penanganan Covid-19 terus membengkak. Dana negara itu juga uang rakyat sehingga perlu digunakan dengan benar. Jangan memancing di air keruh atau menggunakan kesempatan tidak pada tempatnya.
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan anggaran untuk penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional terus bertambah. Namun, peningkatan kebutuhan anggaran belum dibarengi strategi peningkatan penerimaan dan kebijakan konsolidasi fiskal yang jelas.
Pemerintah setidaknya sudah tiga kali mengubah proyeksi kebutuhan biaya penanganan Covid-19 dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan sejak diberlakukan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020.
Semula anggarannya sebesar Rp 405,1 triliun untuk kesehatan Rp 75 triliun dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp 330,1 triliun. Kemudian anggaran PEN naik menjadi 641,17 triliun dan kesehatan masih tetap Rp 75 triliun.
Perubahan berikutnya Rp 677,20 triliun, terdiri dari Rp 589,65 triliun untuk program PEN dan Rp 87,55 triliun untuk kesehatan.
Terakhir, biaya penanganan Covid-19 diperkirakan Rp 695,2 triliun. Untuk bidang kesehatan dialokasikan Rp 87,55 triliun dan program PEN Rp 607,65 triliun. Anggaran PEN meningkat Rp 18 triliun dari proyeksi sebelumnya Rp 589,65 triliun.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, Kamis (18/6/2020), di Jakarta, mengatakan, pemerintah memang memiliki fleksibilitas untuk meningkatkan belanja dan memperlebar defisit dalam situasi pandemi. Namun, fleksibilitas tetap harus dibarengi strategi penerimaan pasca-Covid-19.
Selama ini wacana yang digulirkan pemerintah lebih menekankan tambahan belanja. Padahal, kenaikan belanja harus dibarengi strategi peningkatan penerimaan dan konsolidasi fiskal yang jelas. Pemerintah belum menjelaskan strategi agar defisit APBN bisa kembali ke level 3 persen pada 2023.
”Jangan sampai Covid-19 dijadikan momen aji mumpung (mencuri kesempatan) sehingga terjadi moral hazard dari aspek perencanaan,” kata Abra.
Jangan sampai Covid-19 dijadikan momen aji mumpung (mencuri kesempatan) sehingga terjadi ”moral hazard” dari aspek perencanaan. (Abra Talattov)
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah dana talangan dan penyertaan modal negara (PMN) untuk badan usaha milik negara (BUMN). Program PEN melalui BUMN tidak akan berdampak signifikan pada perekonomian RI yang kini diambang resesi. Payung hukum untuk dana talangan juga tidak ada karena belum pernah dilakukan.
Menurut Abra, perencanaan anggaran yang berubah sangat dinamis patut dikritik. Jangan sampai tambahan anggaran justru hanya berimplikasi pada pelebaran defisit APBN 2020, tanpa ada kontribusinya terhadap ekonomi. Stimulus seharusnya lebih banyak diberikan untuk UMKM dan bantuan langsung ke masyarakat.
”Stimulus untuk korporasi sebaiknya dikaji ulang sehingga bisa direalokasi untuk sektor-sektor padat karya, terutama UMKM. Kalau lapangan kerja tersedia, konsumsi terjaga,” kata Abra.
Baca juga: Tak Sekadar Modal, Usaha Mikro Butuh Pembinaan agar Naik Kelas
Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tambahan anggaran untuk merespons situasi yang sangat dinamis akibat Covid-19. Bantalan di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial perlu ditingkatkan untuk meredam laju perlambatan ekonomi agar tidak semakin dalam dan tidak terjadi efek domino.
”Proyeksi pertumbuhan ekonomi dalam skenario sangat berat tahun ini minus 0,4 persen hingga 1 persen. Proyeksi ekonomi pada batas atas diturunkan menjadi 1-2,3 persen,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR, Kamis.
Pengangguran diperkirakan bertambah 2,92 juta-5,23 juta orang. Sementara itu, kemiskinan berpotensi meningkat 1,89 juta-4,85 juta orang. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah pengangur pada Februari 2020 sebanyak 6,88 juta orang, sedangkan jumlah penduduk miskin per September 2019 sebanyak 24,79 juta orang.
Menurut Sri Mulyani, penyaluran bantuan sosial sebagai jaring pengaman sosial dan stimulus bagi dunia usaha diharapkan mampu menahan laju penurunan ekonomi. Sejauh ini penyerapan bantuan sosial cukup optimal kendati masih ada beberapa masalah terkait, seperti data penerima salah dan data penerima ganda.
Kemenkeu sudah menyiapkan sistem khusus untuk memonitor penyerapan anggaran penanganan Covid-19, mulai dari anggaran kesehatan, perlindungan sosial, insentif dunia usaha, stimulus UMKM, pembiayaan korporasi, serta tambahan dana sektoral dan pemerintah daerah.
Kemenkeu sudah menyiapkan sistem khusus untuk memonitor penyerapan anggaran penanganan Covid-19 mulai dari anggaran kesehatan, perlindungan sosial, insentif dunia usaha, stimulus UMKM, pembiayaan korporasi, serta tambahan dana sektoral dan pemerintah daerah.
”Secara umum, penyaluran stimulus fiskal masih menghadapi tantangan di level operasional dan administrasi. Saat ini baru tahap awal penyaluran stimulus dan akan dilakukan percepatan,” kata dia.
Baca juga: Konsumsi Bisa Hindarkan RI dari Resesi
Tak bisa dimungkiri, pandemi Covid-19 memang membutuhkan penanganan luar biasa. Sama halnya dengan negara-negara lain, kebutuhan anggaran Indonesia terus bertambah. Untuk mendapatkannya, cara-cara luar biasa pun ditempuh. Misalnya, dengan membuat kebijakan yang mewajibkan Bank Indonesia membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana.
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan semua pekerja mulai dari aparatur sipil negara, pegawai badan usaha milik negara-daerah-desa, TNI, Polri, dan swasta, mengikutinya. Dana yang terkumpul nanti bisa dimanfaatkan untuk investasi, salah satunya membeli SBN.
Khawatir dana hilang
Namun, anggaran negara yang membengkak itu perlu dikelola secara transparan dan diawasi ketat. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P, Hendrawan Supratikno, mengatakan, beberapa pihak dapat memanfaatkan berbagai aturan yang dilonggarkan dan uang negara yang besar untuk mengail di air keruh.
Kekhawatiran ini diperparah dengan adanya pasal imunitas atau kekebalan hukum bagi para pejabat yang mengelola keuangan negara di tengah pandemi.
Beberapa pihak dapat memanfaatkan berbagai aturan yang dilonggarkan dan uang negara yang besar untuk mengail di air keruh.
Dasar hukum pengelolaan keuangan negara untuk menangani Covid-19 tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
UU yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 itu kini sedang diuji materi di Mahkamah Konstitusi. UU itu digugat karena dinilai mengatur imunitas hukum pemerintah dan otoritas terkait dalam mengelola uang negara. Hal itu merujuk pada Pasal 27 Ayat (1), (2), dan (3).
Hendrawan menilai, keberadaan pasal-pasal itu bisa membuka ruang korupsi yang berujung pada kekebalan hukum para pelakunya. Oleh karena itu, program pemulihan ekonomi ini harus diawasi betul.
”Transparansi kebijakan dan integritas pelaksanaan pengelolaan uang negara tidak bisa ditawar. Pasal itu ada untuk menghindari kriminalisasi pengambil kebijakan, tetapi itu justru bisa jadi celah menarik untuk mereka yang mau aji mumpung,” katanya.
Baca juga: Uji Materi Perppu 1/2020 Kehilangan Obyek Gugatan
Pasal 27 Ayat (1) regulasi itu menyebutkan, biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara—termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional— merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Selanjutnya, Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan, KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu itu, tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Pasal 27 Ayat (3) menegaskan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu No 1/2020 bukan merupakan obyek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.
Menurut Hendrawan, salah satu celah pemanfaatan itu bisa berasal dari ketidakjelasan mekanisme dana talangan untuk BUMN. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional, ada empat lingkup kebijakan, yaitu PMN, penempatan dana, investasi pemerintah dan penjaminan.
”Jika dana talangan masuk sebagai investasi pemerintah, peraturannya harus dipertegas agar dana talangan itu tidak menjadi dana hilang,” katanya.
Baca juga: Fiskal Negara Dipertaruhkan
Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan, bantuan dana talangan untuk enam BUMN itu merupakan pinjaman yang harus dikembalikan perusahaan ke negara beserta bunga. Dana talangan itu tidak dapat dikonversi menjadi ekuitas atau penyertaan modal negara.
Dana talangan diberikan ke sejumlah BUMN yang tengah merugi di tengah pandemi agar cepat kembali pulih karena layanannya dibutuhkan publik. ”Jadi, ini bentuknya pinjaman umum saja yang harus dikembalikan, plus bunganya,” kata Erick.
BUMN yang akan menerima bantuan talangan itu adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Perkebunan Nusantara (Persero), PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Perum Perumnas, dan terbaru untuk PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), meski belum final.
Meski demikian, Hendrawan menilai, penjelasan dana talangan itu masih simpang siur. Mekanisme pemberian bantuan dan pengembaliannya pun belum jelas.
”Harus diperjelas dan dipertegas supaya tidak ada salah tafsir. Bagaimana mekanisme pengembaliannya? Misalnya, mengapa tidak dijadikan convertible bond agar jika tidak terbayar, berubah jadi saham, supaya proteksinya memadai,” ujarnya.
Hal ini juga menjadi sorotan dalam rapat dengar pendapat Kementerian BUMN dengan Komisi VI DPR, pekan lalu. DPR meminta agar pemerintah memastikan bahwa BUMN yang mendapat dana talangan sudah memiliki skema perencanaan pengembalian utang dana talangan untuk mengukur mitigasi risiko dari pemberian bantuan dana itu. (HENDRIYO WIDI)