Tak Sekadar Modal, Usaha Mikro Perlu Pembinaan untuk Naik Kelas
Pelaku UMKM yang masih didominasi usaha mikro memerlukan pembinaan untuk bisa naik kelas. Pembinaan diharapkan dapat membawa pelaku usaha untuk mengenal dan memanfaatkan teknologi sebagai peluang baru.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Potret pelaku usaha, khususnya usaha mikro dan kecil, di Indonesia masih menampilkan karakteristik informal. Ketiadaan status badan hukum dan keterbatasan penggunaan teknologi turut memengaruhi pendapatan pelaku usaha.
Sebagai upaya meningkatkan kinerja pelaku usaha mikro dan kecil (UMK), maka diperlukan mulai dari pembinaan, bantuan modal, hingga bantuan pemasaran. Jika berjalan, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pelaku UMK.
Badan Pusat Statistik mencatat, dalam sensus ekonomi 2016, dari 26 juta UMK non-pertanian, jumlah yang tidak berbadan usaha mencapai 93,45 persen. Selain itu, pelaku UMK yang menggunakan komputer baru 6,22 persen, sementara yang menggunakan internet baru 9,76 persen.
Kualitas pendidikan pengelola UMK secara umum pun masih rendah, lebih dari 40 persen pengelola berpendidikan sekolah dasar atau tidak tamat SD, sementara pengelola dengan pendidikan sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan sebesar 30 persen. Namun, pelaku UMK yang pernah mengikuti pelatihan hanya 4,11 persen.
Sejalan dengan hal itu, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) pada 2018 menunjukkan, jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mencapai 64,19 juta unit. Usaha mikro mendominasi dengan total 63,36 juta unit (98,68 persen), usaha kecil sebanyak 783.132 unit (1,22 persen), dan usaha menengah ada 60.702 unit (0,09 persen).
Asosiasi UMKM mencatat, ada peningkatan jumlah pelaku usaha yang bertransformasi ke digital selama masa pandemi coronavirus disease (Covid-19), dari 13 persen menjadi 25 persen. Artinya, secara jumlah, ada sekitar 16 juta pelaku UMKM dari total 64,19 juta pelaku usaha yang sudah masuk dalam pasar digital.
Masih diperlukan lebih banyak binaan bagi pelaku usaha untuk bisa naik kelas. Salah satunya dilakukan lembaga Fokus UMKM yang berdiri sejak 2015 dan hingga saat ini membina sekitar 15.000 unit UMKM di seluruh Nusantara.
Ketua Fokus UMKM Jakarta Roy Baskoro menyampaikan, dominasi pelaku usaha di level mikro menunjukkan piramida yang tidak sehat. Sebab, keadaan ini mencerminkan pengelolaan UMK masih dilakukan secara sederhana.
”Teman-teman di level mikro ini adalah chief of everything officer yang artinya merupakan petarung tunggal. Mulai dari ikut pelatihan, belanja, produksi, pengemasan, hingga pengiriman semuanya dilakukan sendiri,” kata Baskoro saat dihubungi Kompas, Kamis (17/6/2020).
Kendala lain datang dari keterbatasan pelaku usaha dalam menggunakan teknologi yang juga tidak didukung oleh ponsel yang canggih. ”Mereka masih kesulitan kalau harus unduh berbagai aplikasi, istilahnya itu gaptek,” ujar Baskoro.
Dalam kondisi ini, pendampingan menjadi langkah penting untuk membantu pelaku usaha naik kelas. Mereka membutuhkan bantuan untuk bisa memahami bagaimana menggunakan dan memanfaatkan teknologi serta internet.
Pembinaan UMKM, kata Baskoro, dilakukan dengan beragam cara, mulai dari mengelola Facebook dan Instagram terkait dengan informasi program pendampingan hingga mengadakan UMKM Festival. Saat ini, UMKM Festival yang sedang diadakan adalah tentang proposisi penjualan unik (unique selling proposition/USP).
”Ada sekitar 70 UMKM yang ikut tergabung dalam kegiatan yang berlangsung hingga 28 Juni 2020 ini. Dalam acara itu, para pelaku usaha diberikan kesempatan mempromosikan produknya melalui siaran langsung Instagram yang kami adakan setiap sore,” kata Baskoro.
Pendampingan
Sebanyak 70 pelaku UMKM yang ikut dalam acara UMKM Festival mendapatkan pendampingan langsung dari mentor yang paham mengenai dunia kewirausahaan. Dalam hal ini, para pendamping membantu pelaku usaha untuk mengoordinasi produk-produk yang ingin ditampilkan.
Siti Aisyah (27), salah satu pendamping UMKM, mengatakan, pendampingan perlu dilakukan untuk membantu pelaku UMKM lebih mengenal keunggulan produknya dan memahami dunia digital. Sebab, masih banyak dari mereka yang belum memiliki kesadaran untuk berpindah ke digital.
”Khususnya bagi pelaku UMKM yang usianya 35 tahun ke atas, bahkan ada seorang ibu yang pernah bilang, ’Saya enggak biasa nih megang ini (ponsel), biasanya megang ulekan’. Mereka inilah yang harus kita ajari,” kata Aisyah yang mendampingi 20 pelaku UMKM.
Begitu pun Atik Hendika Lyusta (30), pendamping UMKM yang memegang 16 pelaku usaha di daerah Jakarta dan Jawa Tengah. Menurut dia, kegiatan UMKM Festival dapat menjadi ajang bagi pelaku UMKM untuk belajar mengenal dunia digital.
”Jadi, kami meminta mereka memilih tiga produk yang mereka unggulkan untuk dipromosikan lewat media sosial. Selain itu, kami juga mengajak mereka belajar mempromosikan produknya lewat Instagram Live,” kata Atik.
Tak hanya itu, para pelaku UMKM juga akan diberikan pendampingan untuk didaftarkan memiliki akun platform dompet digital. Nantinya, pelaku UMKM akan menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai dompet digital untuk bertransaksi dengan konsumen.
Mintarsih (53), salah satu pelaku UMKM binaan di Jakarta, menyampaikan, pendampingan sangat membantu dirinya untuk lebih berkembang. Produk deucopage tas anyaman miliknya pun kini sudah dipromosikan melalui media sosial.
”Saya sebenarnya gaptek, tetapi saya tahu online itu peluang baru yang sangat menjanjikan. Saya juga nanti sudah dijadwalkan untuk promosi produk lewat Instagram Live, gugup, tetapi senang,” kata Mintarsih.
Pembinaan pelaku UMKM menjadi tugas bagi pemerintah untuk memberikan bantuan tidak hanya modal, tetapi juga pelatihan dan pendampingan. Tanpa itu, pelaku usaha yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia ini akan sulit untuk naik kelas.