Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI sebanyak 25 basis poin menjadi 4,25 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia melanjutkan kebijakan pelonggaran suku bunga di masa normal baru untuk mempertahankan likuiditas demi tercapainya pemulihan ekonomi nasional. Seiring rendahnya inflasi, bank sentral akan tetap mengeksploitasi ruang penurunan suku bunga.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 17-18 Juni 2020 memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI sebanyak 25 basis poin menjadi 4,25 persen. Dengan demikian, sejak Juli 2019 hingga Juni 2020, BI sudah memangkas suku bunga acuan sebesar 175 basis poin. Transmisi penurunan suku bunga sejalan dengan penurunan suku bunga deposito industri perbankan yang pada periode sama turun 99 basis poin dan suku bunga kredit turun 69 basis poin pada Juli 2019-Mei 2020.
”BI tetap melihat ruang penurunan suku bunga seiring rendahnya tekanan inflasi, terjaganya stabilitas eksternal, dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Perry saat menyampaikan hasil RDG BI secara virtual, Kamis (18/6/2020).
Inflasi pada Mei 2020 lebih rendah dibandingkan dengan pola inflasi pada periode Ramadhan dan Idul Fitri yang dalam lima tahun terakhir rata-rata 0,69 persen. Berdasarkan komponen, kata Perry, inflasi inti menurun, dipengaruhi perlambatan permintaan domestik.
Perry menyampaikan, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah melalui pelonggaran likuiditas akan terus dilanjutkan, salah satunya melalui pemberian jasa giro kepada bank yang memenuhi kewajiban giro wajib minimum (GWM) dalam rupiah, baik secara harian maupun rata-rata sebesar 1,5 persen per tahun dengan bagian yang diperhitungkan untuk mendapat jasa giro sebesar 3 persen dari dana pihak ketiga (DPK).
”BI akan memperkuat bauran kebijakan serta bersinergi dengan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) untuk menjaga stabilitas ekonomi makro serta pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Kondisi likuiditas perbankan, menurut Perry, masih memadai dan mendukung penurunan suku bunga berlanjut. Hal ini tecermin pada rerata harian volume pasar uang antarbank (PUAB) pada Mei 2020 yang tetap tinggi, yakni Rp 9,9 triliun. Adapun rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang tetap besar, yakni 25,14 persen pada April 2020.
Pertumbuhan ekonomi
BI memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 berkisar 0,9 persen hingga 1,9 persen karena pemberlakuan normal baru. Adapun pemulihan ekonomi diperkirakan dapat terjadi sejak triwulan III pada tahun ini. Perry optimistis kondisi perekonomian berangsur membaik pada triwulan III-2020 dan triwulan IV-2020, sejalan dengan rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali sektor produktif dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
”Proyeksi ini sejalan dengan kebijakan pelonggaran moneter BI dan stimulus fiskal pemerintah untuk penanganan Covid-19 dengan memperlebar defisit fiskal menjadi 6,34 persen,” ujarnya.
Meski optimistis, Perry tetap mencermati penerapan protokol kesehatan untuk menekan angka penyebaran Covid-19, sebagai syarat utama yang harus dipenuhi agar pembukaan sejumlah sektor usaha secara bertahap tetap aman. Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat berbagai aktivitas di industri manufaktur dan ekspor meningkat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Di saat aktivitas ekspor kembali berjalan, maka industri akan menyerap bahan baku dan membuat harga komoditas kembali meningkat,” ujarnya.
Pada Mei 2020, nilai ekspor Indonesia hanya 10,53 miliar dollar AS. Realisasi ini menurun 13,4 persen dari April 2020 dan anjlok 28,95 persen dari Mei 2019. Kendati kinerja ekspor menurun, menurut Perry, sejumlah komoditas masih mencatatkan pertumbuhan yang cukup baik, misalnya minyak sawit, aluminium, dan besi baja.
Kepala ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto menilai, tren peningkatan produk domestik bruto (PDB) di sisa tahun 2020 hanya dapat terjadi bila pemerintah dapat memastikan kurva pandemi Covid-19 terus datar dan dapat selesai pada Juni 2020. Untuk mencapai ini, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengurangi jumlah kasus positif Covid-19.
”Bila jumlah kasus masih meningkat, tentu pertumbuhan ekonomi pada triwulan III dan IV tahun ini akan terganggu,” ujarnya.
Di samping itu, perputaran roda ekonomi tidak akan serta-merta bergerak cepat meskipun jumlah kasus positif berkurang. Ryan mengibaratkan ekonomi Indonesia saat ini seperti orang yang terkena penyakit parah dan tengah memasuki masa pemulihan sehingga masih membutuhkan waktu untuk dapat kembali beraktivitas secara normal.
Ryan memprediksi, kontribusi sektor konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi langsung terhadap PDB pada triwulan III-2020 secara maksimal mencapai 60 persen sehingga pada periode yang sama kontraksi pertumbuhan ekonomi diprediksi -1 persen hingga 0 persen.
Indonesia akan bangkit menuju kurva positif atau di atas batas 0 persen pada triwulan IV-2020, dengan asumsi puncak pandemi Covid-19 sudah berakhir pada Juni 2020. Ryan menyebutkan, PDB triwulan IV-2020 dapat tumbuh di atas 3 persen sehingga pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 bisa mencapai kisaran 0,5 persen hingga 1 persen.