Di Balik Lambatnya Proses Pengembalian Tiket Penerbangan
Beberapa bulan pelarangan terbang ditetapkan pemerintah, banyak masyarakat yang belum mendapat penggantian pembatalan tiket pesawat. Apa yang membuat proses ini terkendala?
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Lebih kurang tiga bulan lamanya Iskandar (28) membatalkan pembelian atau refund tiket pesawat Jakarta-Ternate pulang dan pergi dari salah satu agen perjalanan dalam jaringan (online). Namun, tiket senilai hampir Rp 4 juta yang tidak bisa dipakai karena larangan terbang selama pandemi Covid-19 itu juga belum dikembalikan.
”Saya pilih untuk dikembalikan dalam bentuk uang dan di aplikasi pengajuannya sudah dinyatakan disetujui. Namun, sampai saat ini, uangnya belum dikembalikan juga,” kata Iskandar saat dihubungi Kompas, Kamis (18/6/2020).
Iskandar pun mengaku sudah coba menyampaikan keluhan ke agen perjalanan, tetapi jawaban mereka dinilai belum memuaskan. Voucer tiket perjalanan bahkan sempat ditawarkan sebagai solusi, tetapi ia masih menolak karena tidak lagi terpikir untuk berlibur ke sana selama pandemi belum dinyatakan berakhir.
Kekecewaan yang sama juga dirasakan Shinta (30) yang telah membatalkan tiket Padang-Batam senilai sekitar Rp 900.000. Tiket tersebut ia minta agar dikembalikan dalam bentuk uang. Namun, tanpa persetujuannya, tiket itu dikembalikan dalam bentuk voucer perjalanan.
”Katanya sudah ketentuan dari maskapai. Ketika saya komplain ke maskapai, ujung-ujungnya lempar-lemparan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno dalam webinar berjudul Tantangan Kompleksitas Pengembalian Dana Industri Travel di Tengah Pandemi Covid-19 hari ini mengakui agen perjalanan mengalami berbagai kendala dalam melakukan pengembalian tiket secara massal.
Kendala pertama terkait pengembalian uang melalui rekening virtual dari maskapai penerbangan ke agen perjalanan. Sejak tiket elektronik mulai diperkenalkan pada 2007, agen perjalanan yang bekerja sama dengan maskapai penerbangan memilki rekening virtual atau top up balance. Saldo dalam rekening itu tidak bisa dicairkan dalam bentuk uang tunai.
Ketika masyarakat membeli tiket, agen perjalanan akan mengirim dana ke maskapai melalui rekening virtual. Ketika ada permintaan pembatalan dari pembeli, maskapai penerbangan akan mengembalikan saldo di rekening virtual.
Sementara agen perjalanan akan menalangi pembayaran pengembalian biaya tiket ke pembeli dengan dana kas dari pemasukan mereka.
”Dari Januari sampai Februari yang di-refund masih bisa diproses dengan autorefund dari dana kas, maksimal tiga minggu. Mulai Maret, semakin banyak pembatalan penerbangan dan prosesnya harus menunggu persetujuan maskapai,” katanya.
Pemasukan turun
Kendala utama terhambatnya proses pengembalian uang tiket penumpang adalah tidak adanya transaksi, baik di agen perjalanan maupun maskapai penerbangan, sejak adanya pelarangan perjalanan penumpang dengan pesawat.
”Agen perjalanan jadi semakin sulit. Sebagai contoh, tahun lalu, penjualan tiket internasional periode Januari-Mei 2019 mencapai Rp 11 triliun. Tahun ini cuma Rp 4 triliun. Jadi, penurunannya sangat signifikan,” katanya.
Pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri), Gerry Soejatman, mengatakan, pelarangan perjalanan secara drastis menurunkan jumlah penerbangan. Sebagai contoh, penerbangan keluar masuk Jakarta normalnya 1.200 pergerakan sehari.
Setelah adanya larangan mudik, hanya ada 80 penerbangan sehari. Aturan itu juga menaikkan permintaan refund tiket domestik mencapai sekitar 10 juta tiket per bulan. Jumlah itu melejit dibandingkan rata-rata 100.000 permintaan refund per bulan di waktu normal.
”Ini tantangan untuk maskapai. Dulu permintan refund sedikit, sekarang permintaan menumpuk sehingga prosesnya lama. Hal ini yang sulit dijelaskan ke customer,” katanya pada acara webinar yang sama.
Gerry berpendapat, agar maskapai tidak semakin merugi, pengembalian dalam bentuk voucer tiket bisa menjadi solusi terbaik.
”Travel voucher menunda hak untuk bisa digunakan di lain hari. Kalau dipaksa mengembalikan semua dalam bentuk uang, airline akan bangkrut,” ujarnya.
Terkait rencana pemerintah pusat membolehkan maskapai penerbangan domestik mengisi 70 persen kapasitas pesawat, Gerry menilai, kebijakan itu tidak akan membantu banyak. Selain karena masih sedikit pesawat yang bisa dioperasikan, masyarakat juga harus mengikuti kebijakan pemerintah daerah untuk mendapatkan izin terbang.
”Penambahan keterisian pesawat ini juga menimbulkan kekhawatiran munculnya gelombang kedua pandemi dan ekonomi bisa semakin anjlok. Namun, kita juga harus berusaha agar situasi ini bisa cepat selesai agar ekonomi pulih,” katanya.