Kepercayaan Investor Perlahan Pulih di Tengah Bayang-bayang Gelombang Kedua Covid-19
Sejak Lebaran, nilai transaksi saham naik hingga lebih dari Rp 10 triliun per hari. Bursa Efek Indonesia juga mulai melihat adanya dana asing yang masuk sebanyak Rp 8,3 triliun sejak pandemi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Secara umum, kepercayaan investor terhadap pasar modal dalam negeri mulai pulih seiring upaya pemulihan ekonomi secara bertahap. Namun, stabilitas pertumbuhan indeks saham berada di bawah bayang-bayang kecemasan gelombang kedua pandemi Covid-19.
Sejak awal Januari 2020 hingga Rabu (17/6/2020), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 20,82 persen. Pada perdagangan terakhir, IHSG berada di posisi 4.987,78, menguat 0,026 persen atau 1,32 poin.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hasan Fawzi mengatakan, hingga pekan lalu, total aliran dana investor asing yang sudah keluar dari pasar modal mencapai 30 miliar dollar AS (Rp 426 triliun). IHSG bahkan menyentuh titik terendahnya tahun ini dengan penurunan sebanyak 37,49 persen sepanjang 2020 pada 24 Maret lalu.
”Adapun titik terendah penurunan IHSG terjadi pada 2008 dengan penurunan tahun tersebut mencapai 50,6 persen akibat krisis finansial global,” ujarnya dalam diskusi virtual bersama sejumlah manajer investasi di Jakarta, Rabu,
Hasan optimistis pasar modal Indonesia masih bisa tumbuh positif setelah terkena pukulan Covid-19 pada paruh pertama 2020. Keyakinan ini terefleksi dari kembali derasnya aliran dana asing yang masuk ke pasar modal Indonesia usai periode Ramadhan dan Lebaran 2020.
”Sejak Lebaran, nilai transaksi saham naik hingga lebih dari Rp 10 triliun per hari. Kami juga mulai melihat adanya dana asing yang masuk sebanyak Rp 8,3 triliun sejak pandemi,” kata Hasan.
Sejak Lebaran, nilai transaksi saham naik hingga lebih dari Rp 10 triliun per hari. Kami juga mulai melihat adanya dana asing yang masuk sebanyak Rp 8,3 triliun sejak pandemi.
Menurut Hasan, aliran dana asing ini ditopang oleh pelonggaran kuantitatif oleh bank sentral AS, Eropa, dan Jepang. Dengan demikian, bank mempunyai banyak likuiditas dan beberapa di antaranya lari ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
”Pandemi memang telah memukul berbagai sektor saham, terutama di bidang properti, yang sepanjang tahun ini sudah anjlok hingga 34,3 persen. Namun tetap ada sektor yang masih menunjukkan stabilitas pertumbuhan,, seperti barang konsumsi dan pertambangan,” katanya.
Mewaspadai gelombang kedua
Di forum yang sama, Presiden Direktur Batavia Prosperindo Aset Manajemen Lilis Setiadi menyampaikan, pelaku pasar mewaspadai datangnya gelombang kedua Covid-19 yang berpotensi kembali menekan kinerja pasar saham. Dengan adanya gelombang kedua pandemi, dipastikan aktivitas ekonomi akan akan kembali melambat akibat kembali berlakunya pembatasan.
”IHSG diperkirakan akan kembali anjlok apabila kebijakan pembatasan sosial kembali diterapkan untuk mencegah penyebaran pandemi,” katanya.
Pelaku pasar mewaspadai datangnya gelombang kedua Covid-19 yang berpotensi kembali menekan kinerja pasar saham.
Saat ini, kata Lilis, pelaku pasar fokus mengikuti perkembangan informasi terkait penelitian vaksin untuk Covid-19. Pasalnya, keberadaan vaksin berpotensi untuk menghentikan pandemi sehingga industri kembali beroperasi secara normal.
”Sudah ada sejumlah penelitian untuk vaksin merek Cansino Bio dan Modena. Kalau vaksin untuk Covid-19 sudah ditemukan, manajer investasi akan cepat bisa dengan mudah menganalisis pasar modal,” katanya.
Sementara itu, Direktur Investasi Schroders Indonesia Irwanti menilai, kemungkinan munculnya gelombang kedua akan selalu ada selama vaksin belum ditemukan. Namun, kekhawatiran pasar terhadap gelombang kedua tidak akan memberi dampak yang sama dengan kondisi saat pertama kali kasus Covid-19 muncul.
”Bila ada gelombang kedua, pemerintah pasti akan lebih responsif, terutama dalam melacak infeksi. Negara yang mampu melacak infeksi dengan baik bisa memperkecil risiko penyebaran,” ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Head of Wealth Management and Premier Banking Bank Commonwealth Ivan Jaya berpendapat, fundamental Indonesia saat ini jauh lebih baik ketika krisis pada 1998 ataupun 2008. Sebagai contoh, inflasi saat ini stabil dan terjaga rendah di kisaran 3 persen, sementara tahun 2008 inflasi naik 12 persen dan pada 1998 inflasi naik 82 persen.
Selain itu, cadangan devisa saat ini juga jauh lebih besar dan mampu dijadikan amunisi untuk menjaga kestabilan rupiah. Ivan mencatat cadangan devisa Indonesia per Mei sebesar 130,5 miliar dollar AS. Sementara cadangan devisa pada 2008 sebesar 50 miliar dollar AS dan pada 1998 sebesar 17 miliar dollar AS.
Kondisi fundamental Indonesia yang cukup baik membuat Ivan optimistis para investor asing akan kembali melirik Indonesia sebagai salah satu pasar negara berkembang yang menjadi tujuan investasi. Di samping itu, pasar obligasi Indonesia saat ini menawarkan tingkat imbal hasil yang cukup atraktif jika dibandingkan dengan negara lainnya, yakni di sekitar 5,16 persen.
Untuk pasar saham, Presiden Direktur Schroders Indonesia Michael T Tjoajadi menyatakan, kenaikan indeks dalam beberapa waktu terakhir terjadi karena pelaku pasar mulai mengantisipasi dan menempatkan posisi pada sektor yang mereka anggap akan membaik di tengah kondisi normal baru.
Michael memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini masih terbuka untuk terkoreksi. Pada di 2021, Michael memproyeksikan ekonomi bisa tumbuh signifikan ke 5,3 persen sehingga pertumbuhan pasar saham Indonesia berpotensi membaik di 2021.
”Pasar saham akan ikut pulih pada 2021 sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Tetapi menuju 2021, volatilitas pasar saham tetap tinggi bergantung pada efek stimulus dan perkembangan jumlah pasien positif korona,” katanya.