Dalam jangka panjang, kepercayaan publik terhadap jaminan kesehatan di sarana transportasi akan berdampak terhadap keberlanjutan bisnis dan layanan transportasi umum. Kepercayaan mesti dijaga dengan protokol yang ketat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
Antisipasi dan adaptasi sektor transportasi dalam situasi normal baru dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya adalah menjaga kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan di tengah keinginan tetap produktif di sisi ekonomi dan bisnis.
Jaminan kesehatan terkait erat dengan kepercayaan pengguna jasa dalam bertransportasi di masa pandemi Covid-19. Semakin terjamin, publik pengguna transportasi akan semakin percaya. Dalam jangka panjang, kepercayaan ini akan berdampak terhadap keberlanjutan bisnis dan layanan transportasi publik.
”Kita tidak mau ada gelombang kedua. Bapak Presiden berulang-ulang (menyampaikan), kalau bisa ini cuma satu gelombang. Dan, kita bisa selesaikan di bulan September. Insya Allah. Kita berusaha,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam Studium Generale Binus University bertajuk ”Antisipasi dan Adaptasi Dunia Usaha Transportasi dalam Kenormalan Baru”, Selasa (16/6/2020).
Pemerintah mengajak semua pihak waspada, sigap, patuh, dan disiplin sehingga aman dari Covid-19 serta mampu tetap produktif. Keberhasilan mengatasi Covid-19 bergantung pada kesadaran menerapkan protokol kesehatan.
Presiden Direktur PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra menuturkan, saat ini batasan kapasitas angkut maksimal pesawat 70 persen. ”Namun, khusus Garuda, jatuhnya jadi 63 persen. Kami tidak bisa 70 persen karena tempat duduk 737 kosong di tengah dan ada kelas bisnis,” katanya.
Irfan menyatakan, dirinya menyampaikan ke kolega di industri penerbangan agar tidak ngotot minta kapasitas 100 persen. Sebab, apabila penumpang berimpitan ketika kapasitas pesawat penuh, masyarakat akan tidak percaya terhadap moda transportasi udara.
Ketidakpercayaan masyarakat dikhawatirkan akan memperpanjang proses pemulihan industri penerbangan.
Apalagi, selama ini banyak analis penerbangan berpendapat, industri penerbangan baru akan pulih 2-3 tahun. Ketidakpercayaan masyarakat dikhawatirkan akan memperpanjang proses pemulihan industri penerbangan dari perkiraan tersebut.
Senada dengan itu, CEO PT Blue Bird Tbk Noni Purnomo mengatakan, pihaknya juga memiliki visi lebih jauh daripada sekadar untuk bertahan di masa sekarang. ”Kita harus meningkatkan kepercayaan diri,” katanya.
Kolaborasi semua pelaksana transportasi dibutuhkan dalam menjalankan secara konsisten protokol kesehatan. Kepercayaan masyarakat menggunakan transportasi publik akan turun ketika ada yang teledor dalam menjalankan protokol kesehatan.
Menurut Presiden Direktur PT MRT Jakarta William Sabandar, hal terpenting yang harus dilakukan para operator transportasi publik adalah kerja sama membangun kepercayaan masyarakat.
”Kepercayaan masyarakat ini penting sekali. Apa pun jenis transportasi publik kita, masyarakat pada ujungnya harus percaya bahwa ketika mereka naik transportasi publik, mereka akan merasakan keamanan dan kenyamanan. Pengalaman personal bahwa ini aman bagi mereka,” kata William.
Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik Binus University Engkos Achmad Kuncoro berpendapat, konsep transportasi ambidexter yang menyeimbangkan unsur humanitarian dan ekonomi bisnis di sektor transportasi diharapkan menjadi solusi. ”Dengan konsep ini diharapkan bisnis transportasi dan seluruh pemangku kepentingan transportasi dapat mengatasi masalah dengan baik,” ujarnya.
Pelonggaran
Pemerintah, melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020 tanggal 8 Juni 2020, mengubah batas jumlah penumpang, seperti diatur dalam PM No 18/2020. Selanjutnya, batas jumlah penumpang diatur dalam surat edaran direktorat jenderal (ditjen) di Kementerian Perhubungan, yakni Ditjen Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara, dan Perkeretaapian.
Jumlah penumpang pesawat dalam negeri, misalnya, semula maksimal 50 persen ditambah menjadi 70 persen. Sementara kereta perkotaan ditambah dari 35 persen menjadi 45 persen pada fase awal pelonggaran. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan pelonggaran itu. Sebab, pelonggaran dilakukan ketika jumlah kasus positif Covid-19 terus bertambah.
”Selama belum ada indikator penurunan kasus penularan Covid-19, sebaiknya tetap konsisten dengan aturan di sisi kesehatan yang telah dituangkan dalam pembatasan sosial berskala besar, yakni maksimal 50 persen,” kata Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang, Rabu (10/6/2020).
Menurut Deddy, batasan maksimal penumpang 50 persen itu sebenarnya masih merupakan angka kasar. Rasio itu seharusnya dihitung kembali ketika prinsip jaga jarak harus dijalankan untuk meminimalkan potensi penularan Covid-19 di sarana transportasi. Penghitungan mengacu pada jaga jarak fisik 1 meter per orang.
Menurut Deddy, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang baru melonggarkan pembatasan saat kasus Covid-19 berkurang. ”Di tengah keterbatasan sarana transportasi umum, yang perlu diatur adalah pergerakan manusianya, bukan teknis transportasinya. Misalnya, mengatur jam masuk kerja karyawan dalam tiga kelompok, yakni pukul 07.00, pukul 08.00, dan pukul 09.00,” ujarnya.
Pola pengaturan seperti ini dapat menjadi solusi untuk menghindari kepadatan atau kerumunan penumpang di sarana ataupun simpul transportasi pada jam-jam sibuk saat berangkat dan pulang kerja.