Kalau Dapat Tak Mungkin Kami Telantar
Diluncurkan sebagai jaring pengaman sosial warga terdampak Covid-19, Kartu Prakerja menargetkan 5,6 juta orang menjadi peserta. Namun, hingga kini masih banyak korban pemutusan hubungan kerja belum terjangkau.
Sejak Maret 2020 Elma Meika (21) dan sepupunya, Juliana (22), diberhentikan dari tempatnya bekerja di pabrik tekstil Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten. Pabrik tempatnya bekerja berhenti beroperasi lantaran impor bahan baku terhambat pembatasan antarnegara akibat pandemi Covid-19.
Gaji terakhir yang dibayarkan sebelum dirumahkan menjadi satu-satunya modal hidup Elma dan Juliana. Namun, tak banyak yang bisa dilakukan dengan uang Rp 2,8 juta. Uang sudah habis untuk makan dan membayar kontrakan selama satu bulan saja.
Mereka berdua akhirnya menjual satu ponsel dan menukar ponsel lainnya dengan yang lebih murah. Selain untuk makan dan membayar kontrakan, hasil penjualan Rp 1,5 juta disisihkan untuk membeli paket data internet guna mendaftar program Kartu Prakerja.
Program itu tumpuan asa karena tak mungkin mendapatkan bantuan sosial yang berbasis domisili. ”Kami mendaftar program Kartu Prakerja, harapannya kalau bisa dapat insentif dari sana, akan kami gabungkan untuk biaya hidup,” kata Elma yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan.
Sekalipun hanya memiliki satu ponsel pintar, keduanya mendaftar program Kartu Prakerja dengan dua akun berbeda. Setelah mengikuti tes gelombang pertama, keduanya lolos dan diminta menunggu satu minggu untuk pencairan saldo mengikuti pelatihan sebesar Rp 1 juta.
Sangat berharap
Keikutsertaan pada program pelatihan merupakan syarat untuk mendapatkan insentif bantuan sosial sebesar Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan. ”Tetapi setelah menunggu satu minggu, tidak ada saldo yang masuk untuk ikut pelatihan, saya malah diminta ikut tes gelombang berikutnya. Itu sakit banget, kami sangat berharap karena memang butuh,” kata Elma.
Juliana bernasib serupa. Kegagalan mendapatkan Kartu Prakerja berdampak besar. Persediaan uang terakhir kedua bersaudara itu habis. Pemilik kontrakan enggan memberikan keringanan. Mereka diusir, hidup terlunta-lunta.
Selama beberapa hari, Elma dan Juliana kucing-kucingan dengan petugas keamanan untuk bisa menumpang tidur di saung Kelompok Wanita Tani (KWT) di Jatiuwung pada pukul 23.00-03.00 setiap hari. Mereka tertangkap petugas keamanan saat kelelahan dan tak mampu bangun pada waktu yang tepat.
Baca juga: Kartu Prakerja Terkatung-katung
Meski sempat dicurigai pencuri dan dibawa ke rumah ketua RT, kondisi mereka dimaklumi, lalu dirujuk ke Balai Rehabilitasi Sosial Mulya Jaya, Pasar Rebo, Jakarta Timur. ”Seandainya waktu itu kami bisa dapat insentif Prakerja, kami enggak bakal sampai telantar, tinggal di saung, dan kelaparan,” kata Elma.
Anna Silfia (43), warga Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, juga mengalami nasib serupa. Setelah dipecat karena tempatnya bekerja terimbas Covid-19, Anna mencoba mendaftar program Kartu Prakerja.
”Setelah dipecat dan kehabisan uang, saya datang ke kantor polisi, minta informasi ke mana bisa meminta bantuan pemerintah hingga akhirnya diantar ke balai ini,” kata bekas pegawai telemarketing ini sambil menitikan air mata.
Pandemi Covid-19 membuat orang banyak kehilangan pekerjaan. Abdul Rahman (39) terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai petugas pemasaran bank sejak Maret. Seusai kehilangan penghasilan, Abdul pun harus hengkang dari rumah kontrakan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, karena tak sanggup membayar sewa. Sejak pertengahan Mei, dia luntang-lantung mencari tempat tinggal.
Didera kebingungan, Abdul akhirnya singgah ke sebuah masjid dan mencari informasi terkait bantuan pemerintah terhadap korban PHK. Menunggang sepeda motor yang menjadi harta terakhirnya, Abdul lalu bergegas menuju Gedung Olahraga (GOR) Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Dia akhirnya dapat tinggal sementara di bangunan tersebut dan mendapatkan bantuan makanan dari Pemprov DKI Jakarta.
Karena sudah tak memiliki uang sama sekali, Abdul lantas mencoba mendaftar program Kartu Prakerja. Dia berharap dapat bantuan Rp 600.000 per bulan lewat program itu.
Tidak direspons
Namun, Abdul berkali-kali gagal saat mencoba mendaftar Kartu Prakerja secara daring. Terkadang sambungan internet tidak merespons saat memuat halaman pendaftaran situs prakerja, terkadang situsnya yang tidak merespons. ”Berulang-ulang begitu. Saya akhirnya menyerah. Mungkin karena banyak yang daftar atau bisa juga karena handphone saya yang butut,” kata Abdul.
Telepon seluler Abdul bermerek lokal seharga Rp 300.000. Dia tak mampu menggantinya dengan ponsel yang memiliki spesifikasi lebih baik karena sudah tak lagi memiliki uang. Setelah mencoba mendaftar prakerja secara daring berkali-kali selalu gagal, Abdul akhirnya patah arang.
Cerita susahnya para korban PHK akibat Covid-19 untuk mendapatkan Kartu Prakerja juga dialami Tohirin (39). Pada pertengahan April saat mengetahui dirinya akan dirumahkan dari hotel tempatnya bekerja, Tohirin mendaftar Kartu Prakerja. Warga Kota Bekasi ini berharap dapat tersentuh bantuan pemerintah lewat program tersebut. Namun, berkali-kali dia coba mendaftar tidak juga tembus. Ketika sampai tahap verifikasi KTP, sistem di laman prakerja bermasalah.
”Di situs prakerja diberi tahu jika ada kesulitan dalam pendaftaran mengirimkan e-mail kepada mereka agar ditanggapi customer service. Tetapi, sudah saya tanyakan lewat e-mail berkali-kali tetap tidak direspons. Akhirnya saya enggak nyoba lagi,” kata Tohirin kecewa.
Pemerintah menggelontorkan Rp 20 triliun untuk program Kartu Prakerja dengan target peserta 5,6 juta orang. Sejak dibuka 11 April 2020, terdapat 680.918 orang yang tercatat sebagai peserta. Kendati demikian, masih banyak masyarakat terdampak Covid-19, termasuk korban pemutusan hubungan kerja, yang belum terjangkau program ini.
Baca juga: Prakerja untuk Kelas Menengah yang Terdampak Covid-19
Sementara itu, jumlah penganggur yang membutuhkan bantuan pemerintah jauh lebih tinggi. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020, sebelum ditemukan kasus Covid-19 pada awal Maret, ada 6,88 juta pengangguran terbuka.
Jumlah itu diperkirakan bertambah memasuki triwulan II-2020 karena mulai April sudah ada PHK akibat Covid-19. Kementerian Ketenagakerjaan pun mencatat, hingga 4 Mei jumlah pekerja yang dikenai PHK dan dirumahkan mencapai 2,92 juta orang.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, banyaknya masyarakat yang mendaftar Kartu Prakerja karena ingin memperoleh bantuan uang tunai sebesar Rp 600.000 per bulan selama 4 bulan. Untuk itu, jika pemerintah hanya memfokuskan bantuan kepada masyarakat berupa bantuan langsung tunai tanpa ada pelatihan, maka dapat menjangkau lebih banyak peserta, termasuk mereka yang menjadi korban PHK.
Berdasarkan kalkulasi Indef, kata Nailul, jika program Kartu Prakerja hanya difokuskan untuk bantuan tunai tanpa perlu pelatihan dari platform digital, maka dapat menjangkau 9 juta peserta atau naik 3,6 juta peserta. Adapun jika video pelatihan tetap ada tetapi biaya untuk platform digital diwajarkan, bisa menambah peserta setidaknya 1,9 juta orang. Nailul menghitung rata-rata biaya produksi untuk 1.700 video pelatihan sebesar Rp 1,63 triliun. Terdapat selisih Rp 3,9 triliun dari anggaran saat ini yang dapat dioptimalkan untuk menjangkau lebih banyak peserta.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Denni Purbasari menjelaskan, pandemi Covid-19 berdampak pada perluasan warga yang membutuhkan bantuan, termasuk terhadap pekerja kelas menengah yang sebelumnya bukan sasaran bantuan sosial. Sebab, para pekerja itu banyak terkena PHK atau dirumahkan karena perusahaannya terdampak Covid-19.
Kartu Prakerja yang semula ditujukan untuk peningkatan kompetensi warga pun diubah agar dapat menjadi salah satu jaring pengaman di tengah pandemi. Salah satunya dengan menambah jumlah penerima dari 2 juta orang menjadi 5,6 juta orang serta menambah anggaran dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. ”Dengan adanya Covid-19, program Kartu Prakerja diprioritaskan bagi saudara kita yang terdampak kehidupannya. Baik pekerja yang dirumahkan, dikenai PHK, maupun pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” kata Denni.
Meski belum jelas nasibnya, Elma menolak menyerah. Buku tulis yang tergeletak di lobi asrama Anis Kembang, Balai Rehabilitasi Sosial Mulya Jaya, menjadi saksi kobaran semangatnya untuk menaklukkan hidup. Dia menuliskan ikrar untuk memiliki usaha kuliner dan konfeksi dalam dua tahun ke depan.