Bank Indonesia menyebut penurunan pertumbuhan penjualan eceran yang cukup dalam terjadi di Jakarta, yaitu minus 46,7 persen, Banjarmasin minus 36,6 persen, dan Denpasar minus 31,8 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan pandemi Covid-19 yang berujung pada pembatasan sosial berskala besar menyebabkan penjualan eceran merosot tajam. Penurunan mendalam itu terjadi di semua lini penjualan eceran, terutama pada subkelompok sandang, serta barang budaya dan rekreasi.
Hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia pada April 2020 menyebutkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) sebesar 190,7. Pertumbuhannya minus 16,9 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Penurunan pertumbuhan ini lebih dalam dari periode Maret 2020 yang minus 4,5 persen.
Penurunan penjualan eceran itu terjadi di seluruh kelompok, terutama subkelompok sandang yang minus 70,9 persen, serta barang budaya dan rekreasi yang minus 48,5 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, menurunnya penjualan eceran bersumber dari kontraksi penjualan pada seluruh kelompok komoditas yang dipantau. Penurunan penjualan terdalam dialami oleh subkelompok sandang serta kelompok barang budaya dan rekreasi.
”Masih diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (pada April 2020) di sejumlah daerah berdampak pada penurunan permintaan. Ini menyebabkan pertumbuhan eceran masih terkontraksi,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (16/6/2020).
Dalam survei tersebut, BI menyebut penurunan pertumbuhan penjualan eceran yang cukup dalam terjadi di Jakarta, yaitu minus 46,7 persen, Banjarmasin minus 36,6 persen, dan Denpasar minus 31,8 persen.
BI menyebut penurunan pertumbuhan penjualan eceran yang cukup dalam terjadi di Jakarta, yaitu minus 46,7 persen, Banjarmasin minus 36,6 persen, dan Denpasar minus 31,8 persen.
BI memproyeksikan penjualan eceran masih akan menurun pada Mei 2020. Hal ini tecermin dari prakiraan pertumbuhan IPR Mei 2020 sebesar minus 22,9 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Penurunan itu masih akan berlanjut hingga tiga bulan mendatang atau hingga Juli 2020. Namun, pada enam bulan mendatang atau Oktober 2020, pertumbuhan penjualan eceran diperkirakan akan meningkat. Hal ini seiring dengan geliat aktivitas perkenomian yang diperkirakan pulih sejalan dengan rencana penerapan normal baru.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, mengatakan, perlambatan penjualan di sektor ritel memang terlihat, baik berdasarkan bukti lapangan maupun pengakuan pelaku pasar. Hal ini disebabkan minimnya katalis atau pendorong konsumsi pada awal triwulan II-2020 atau masa awal pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
”Dengan minimnya katalis dan pembatasan sosial itu, kecenderungan masyarakat untuk membelanjakan kelebihan pendapatnya untuk konsumsi pun berkurang,” ujarnya.
Dengan minimnya katalis dan pembatasan sosial itu, kecenderungan masyarakat untuk membelanjakan kelebihan pendapatnya untuk konsumsi pun berkurang.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai, pemicu utama penurunan daya beli masyarakat adalah kebijakan PSBB di sejumlah daerah dalam rangka memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia. Momentum hari raya Idul Fitri di triwulan II-2020 bahkan tidak akan mengungkit perekonomian Indonesia di triwulan tersebut secara masif.
”Tingkat permintaan secara umum masih rendah akibat Covid-19 sehingga tingkat konsumsi pada hari raya kali ini lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Sementara dari sisi harga, tekanan inflasi pada tiga bulan mendatang atau pada Juli 2020 diprakirakan akan meningkat. Hal itu tecermin dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) tiga bulan mendatang (Juli 2020) sebesar 162,6, lebih tinggi dibandingkan dengan 160,7 pada Juni 2020, seiring dengan prakiraan permintaan yang meningkat pada perayaan Idul Adha.