Rendahnya harga minyak mentah dunia akibat pandemi Covid-19 menyebabkan selisih harga solar dengan biodiesel melebar. Subsidi untuk biosolar pun membengkak. Mekanisme penetapan harganya dinilai perlu dikaji ulang.
Oleh
ARIS PRASETYO / KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga bahan bakar nabati jenis biodiesel dianggap perlu menyesuaikan harga solar agar selisih keduanya tidak semakin timpang. Kesenjangan harga membuat ongkos subsidi yang diambil dari dana sawit semakin besar.
”Kebijakan mencampur biodiesel ke dalam solar perlu ditinjau ulang. Seandainya (kebijakan) dilanjutkan, harus ada penyesuaian besaran subsidi per liternya,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, saat dihubungi, Senin (15/6/2020).
Solar B30 atau solar dengan campuran 30 persen biodesel, yang dikenal dengan nama pasar biosolar, dijual dengan harga Rp 5.150 per liter. Pemerintah menetapkan subsidi tetap Rp 1.500 per liter. Pemerintah mengalokasikan subsidi Rp 2,78 triliun yang akan disalurkan lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS).
Subsidi diberikan lantaran selisih harga solar dengan biodiesel kian melebar sejak pandemi Covid-19. Pandemi menyebabkan permintaan energi secara global berkurang dan membuat harga minyak mentah anjlok. Begitu pula harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM). Dari perhitungan pemerintah, ada selisih Rp 3.732 per liter antara harga solar dan harga biodiesel pada Mei 2020.
Dalam keterangan resmi, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrahman mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan regulasi agar dana dapat disalurkan sesuai tujuan. Menurut dia, dana Rp 2,78 triliun diperuntukkan bagi pengembangan di sektor hulu yang mencakup peremajaan tanaman kelapa sawit, pembangunan sarana prasarana, serta pengembangan sumber daya manusia di perkebunan sawit.
Pandemi menyebabkan permintaan energi di seluruh dunia berkurang dan menyeret harga minyak mentah menjadi lebih rendah.
”Perubahan dana bantuan ke petani sawit rakyat dari Rp 25 juta per hektar menjadi Rp 30 juta per hektar dilakukan untuk membantu petani mengakses pembiayaan, misalnya, kredit usaha rakyat,” kata Eddy.
Pungutan ekspor
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, pihaknya menyetujui kebijakan pemerintah mengantisipasi dampak penurunan harga minyak, termasuk menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO). Per 1 Juni 2020, pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO dari semula 50 dollar AS per ton menjadi 55 dollar AS per ton.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Terkait realisasi penyaluran biodiesel, kata Paulus, akan menyesuaikan volume penyaluran solar, baik oleh Pertamina maupun badan usaha lain. Namun, sejak pandemi Covid-19 di Indonesia, penjualan solar cenderung menurun. Sebelumnya, penyaluran biodiesel tahun ini ditargetkan 9,6 juta kiloliter.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan biodiesel pada 2019 sebesar 6,26 juta kiloliter setara penghematan devisa Rp 3,35 miliar dollar AS.
Pemerintah juga mempercepat peningkatan pencampuran biodiesel ke dalam solar. Solar B30 sejatinya dimulai per 1 Januari 2020, tetapi dipercepat menjadi November 2019.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain menyebutkan bahwa kebijakan pencampuran biodiesel dimulai pada 2015 dengan kadar 15 persen (B15). Kadar pencampuran dinaikkan menjadi 20 persen (B20) pada tahun 2016 dan dinaikkan lagi menjadi 30 persen (B30) pada 1 Januari 2020.