Ekspor dan impor Indonesia semakin tertekan. Di tengah rantai pasok global yang terimbas Covid-19, fokus perdagangan beralih pada pasar domestik dan perkuatan industri nasional.
Oleh
Agnes Theodora/m paschalia judith j
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Mei 2020 menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. Ekspor dan impor yang terkontraksi tajam menunjukkan lemahnya permintaan global dan terganggunya kegiatan produksi. Di tengah rantai pasok global yang terdisrupsi pandemi Covid-19, fokus perdagangan beralih pada pasar domestik serta menguatkan industri dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan pada Mei 2020 sebesar 2,09 milliar dollar AS tidak menutupi fakta bahwa kinerja ekspor dan impor sedang terjun bebas di tengah pandemi. Sepanjang Mei 2020, neraca perdagangan membukukan ekspor senilai 10,53 miliar dollar AS dan impor senilai 8,44 milliar dollar AS.
Nilai ekspor menurun 28,95 persen dibandingkan dengan kondisi pada Mei 2019 dan menurun 13,4 persen dibandingkan April 2020. Produk ekspor tumbuh negatif di hampir semua sektor, seperti pertanian, manufaktur, dan pertambangan, termasuk komoditas yang selama ini menjadi andalan.
Merosotnya permintaan global terhadap produk Indonesia juga terlihat dari turunnya ekspor nonmigas pada Mei 2020 ke sebagian besar negara tujuan utama. Dalam waktu satu bulan, ekspor ke Singapura menurun tajam 41,76 persen dengan nilai 335,8 juta dollar AS, sedangkan ke Jepang menurun 20,67 persen dengan nilai 215,7 juta dollar AS. Demikian pula ke Amerika Serikat dan Taiwan.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kondisi ekspor pada Mei 2020 ini tercatat paling rendah sejak Juli 2016. Saat itu, nilai ekspor tercatat 9,6 milliar dollar AS. Sementara kondisi impor pada Mei 2020 mengalami penurunan paling dalam sejak 2009.
”Penurunan ini tidak lepas dari Covid-19 yang melanda sejumlah negara. Setiap negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat pembatasan sosial, pelemahan daya beli, dan juga penurunan permintaan,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (15/6/2020).
Penurunan ini tidak lepas dari Covid-19 yang melanda sejumlah negara. Setiap negara mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi akibat pembatasan sosial, pelemahan daya beli, dan juga penurunan permintaan.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menyebutkan, kinerja ekspor menukik tajam karena permintaan dari pasar global yang memang rendah. Seiring dengan minimnya permintaan itu, kinerja industri juga melesu, yang mengakibatkan impor bahan baku sepanjang Januari-Mei 2020 ikut menurun.
BPS mencatat, meski masih mendominasi impor dengan nilai 6,11 miliar dollar AS, impor bahan baku/penolong merosot paling banyak dibandingkan kategori lain, yakni minus 34,66 persen dibandingkan April 2020, dan minus 43,03 persen dibandingkan kondisi Mei 2019. Impor produk bahan baku yang berkurang cukup dalam adalah komponen telepon genggam, gula mentah, gandum, dan kacang kedelai.
Menurut Benny, permintaan global yang menurun juga dipengaruhi oleh kebijakan proteksi dagang sejumlah negara mitra. Terkait itu, lanjutnya, di tengah kondisi ekonomi global yang terpuruk, kinerja ekspor membutuhkan waktu untuk kembali pulih. Maka, untuk sementara, pasar harus beralih pada konsumsi domestik dan penguatan industri dalam negeri.
Cara menggenjot permintaan dalam negeri, menurut dia, bisa dimulai dari belanja barang pemerintah. ”Ekonomi kita itu kuatnya dari dalam negeri. Persentase ekspor barang dan jasa terhadap PDB kita kurang dari 30 persen. Maka, kontrol barang impor dan tingkatkan pemakaian produk dalam negeri. Pemerintah bisa memelopori itu duluan melalui government spending,” tutur Benny.
Menukik tajam
Akibat pandemi Covid-19, melesunya kinerja perdagangan global diperkirakan masih berlanjut, bahkan menukik tajam pada triwulan II-2020. Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyebutkan, kontraksi ekspor-impor akibat pandemi Covid-19 membuat nilai perdagangan barang global pada triwulan I-2020 dan triwulan II-2020 turun masing-masing 5 persen dan 27 persen dari triwulan sebelumnya.
Salah satu indikatornya ialah indeks manajer pembelian (PMI) sejumlah negara kontributor perdagangan dunia yang berada di bawah 50 selama April-Mei 2020. UNCTAD mendata, PMI permintaan ekspor China pada April dan Mei 2020 sebesar 33,5 dan 35,8, Amerika Serikat 35,3 dan 39,5; serta komposit sejumlah negara Eropa 13,6 dan 31,9.
Secara tahunan, UNCTAD memproyeksikan, kinerja perdagangan dunia sepanjang 2020 merosot 20 persen. Angka ini senada dengan proyeksi penurunan yang dirilis Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berkisar 13-32 persen.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, pandemi Covid-19 menghambat arus barang, khususnya yang berkaitan dengan industri nasional, baik bahan baku maupun hasil produksi. ”Proyeksi dari UNCTAD mencerminkan perdagangan dunia bergerak ke teritori negatif,” ujarnya.
Staf Khusus Wakil Menteri Perdagangan Sioewardi Esiandy mengatakan, dengan minimnya permintaan global, pemerintah akan fokus pada perdagangan dalam negeri. Belajar dari krisis finansial 2008, ketika kondisi luar negeri terpuruk, Indonesia bisa bertahan dengan kekuatan ekonomi dalam negeri dan konsumsi masyarakat yang masih terjaga.
”Sekarang ini, kita untuk sementara fokus ke dalam negeri karena untuk luar negeri tidak banyak yang bisa kita lakukan. Kita tidak bisa ekspor kalau pasar tidak mau beli,” ucapnya.
Sioewardi menambahkan, pasar ekspor tetap dikejar, tetapi pemerintah dan pelaku industri tetap harus realistis dan tidak menaruh harapan terlalu besar. Di sisi lain, pemerintah juga akan mengontrol impor agar tidak mengganggu produk dalam negeri.
Pasar ekspor tetap dikejar, tetapi pemerintah dan pelaku industri tetap harus realistis dan tidak menaruh harapan terlalu besar. Di sisi lain, pemerintah juga akan mengontrol impor agar tidak mengganggu produk dalam negeri.
Meski demikian, tidak semua ekspor produk menurun karena minimnya permintaan dari pasar luar negeri. Selain permintaan yang rendah, ekspor juga turun karena hambatan logistik dan kebijakan proteksi dagang dari sejumlah negara mitra dagang.
”Kita harus memilah, kasusnya berbeda-beda untuk tiap komoditas dan negara. Ini yang sedang kami petakan satu per satu importir dan eksportir untuk mencari tahu apa kendalanya,” ujarnya.
Sioewardi mencontohkan, ekspor sayuran ke Singapura masih berlangsung dengan permintaan yang tinggi. Namun, kendala terletak pada sisi logistik. Sementara ekspor kelapa sawit menurun lebih karena faktor permintaan yang menurun. Negara tujuan ekspor sedang menghentikan ekspor dan impor, seperti India, sehingga nilai ekspor pun turun drastis.
Terkait kecenderungan negara mitra yang semakin protektif, pemerintah kini sedang meningkatkan komunikasi dan lobi-lobi dengan negara mitra dagang. Indonesia baru-baru ini menghadapi 16 permintaan audiensi dari 8 negara mitra dagang karena tuduhan antidumping dan safeguard terhadap sejumlah produk ekspor.
”Kuncinya, meningkatkan komunikasi dan menjelaskan kondisi industri kita,” katanya.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, perdagangan dalam negeri dapat diandalkan seiring dengan dibukanya kembali ekonomi pada fase normal baru. Aktivitas yang meningkat diharapkan bisa kembali menggenjot permintaan dari pasar domestik. Meski demikian, pemerintah akan tetap menggenjot dan mengekspansi pasar ekspor dari tradisional ke nontradisional.
Pandemi Covid-19 ini juga dinilainya membawa peluang untuk memperluas produk ekspor andalan karena adanya pergeseran tren permintaan. ”Intinya, bagaimana kita menciptakan peluang ekspor baru agar kondisinya tetap kondusif meski untuk sementara ini harus menurun,” katanya.