Struktur Makin Ramping, Pertamina Diharapkan Lebih ”Kencang”
Rapat umum pemegang saham memutuskan perampingan dan perubahan nomenklatur dalam struktur direksi Pertamina. Perubahan itu diharapkan memompa kinerja bisnis perseroan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat umum pemegang saham PT Pertamina (Persero), Jumat (12/6/2020), memutuskan merampingkan jajaran direksi perseroan. Perubahan itu diharapkan meningkatkan performa perseroan.
Selain perampingan, rapat umum pemegang saham juga memutuskan perubahan nomenklatur jabatan. Perubahan struktur dan nomenklatur direksi perseroan tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN tertanggal 12 Juni 2020.
Nomenklatur baru yang dimaksud adalah Direktorat Penunjang Bisnis yang dijabat M Haryo Yunianto; Direktorat Logistik dan Infrastruktur yang dijabat Mulyono; dan Direktorat Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha oleh Iman Rachman. Tiga posisi lainnya adalah Direktur Utama yang masih dijabat Nicke Widyawati, Direktur Keuangan Emma Sri Martini, dan Direktur Sumber Daya Manusia Koeshartanto.
Nomenklatur yang dihapus adalah Direktorat Hulu, Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia, Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Ritel, serta Direktorat Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko. Sejumlah direktorat itu akan dilebur ke dalam subholding, seperti subholding hulu, kilang dan petrokimia, komersial dan perdagangan, energi terbarukan, serta perusahaan pengapalan.
”Pertamina akan memanfaatkan momentum normal baru yang menuntut cara baru dalam berbisnis untuk mendapatkan hasil terbaik. Dengan perubahan organisasi itu, portofolio bisnis Pertamina di masa depan bakal lebih luas,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman dalam keterangan resmi.
Bisnis Pertamina, termasuk perusahaan minyak dan gas bumi lain, turut terdampak pandemi Covid-19. Di hilir, penjualan bahan bakar minyak (BBM) merosot 29 persen secara nasional seiring kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Di sektor hulu, sejumlah perusahaan tak mencapai target produksi siap jual (lifting) minyak lantaran harga minyak mentah yang merosot. Pada akhir April 2020, harga minyak mentah dunia ada di level 26 dollar AS per barel, jauh di bawah situasi awal Januari 2020 yang berkisar 60 dollar AS per barel.
Situasi itu memaksa pemerintah merevisi target lifting minyak tahun ini. Target 755.000 barel per hari dipangkas jadi 705.000 barel per hari pada 2020. ”Serapan gas bumi oleh pembeli yang turun juga menyebabkan produksi gas ikut merosot hingga 15 persen,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto dalam keterangannya, Kamis (11/6/2020).
Revisi target lifting itu wajar mengingat penurunan harga minyak mentah dunia.
Pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi pada Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, revisi target lifting tersebut adalah hal wajar mengingat ada penurunan harga minyak mentah dunia. Dalam APBN 2020, harga minyak diasumsikan 60 dollar AS per barel, sedangkan pada rentang Maret hingga saat ini 20-40 dollar AS per barel. Dengan kondisi itu, lapangan minyak di Indonesia hanya bisa bertahan agar tetap bisa beroperasi dengan nilai keekonomian minimal.
”Dampaknya bagi hulu migas adalah penerimaan negara yang turun. Dengan kombinasi penurunan target lifting dan harga minyak, ada kemungkinan penerimaan negara turun sampai 40 persen dari target APBN,” kata Pri Agung.
Selain itu, lanjut Pri Agung, ada kemungkinan tren penurunan lifting akan berlanjut makin cepat lantaran berkurangnya investasi di sektor hulu migas. Ia memperkirakan tahun depan lifting minyak ada di level 600.000 barel per hari hingga 700.000 barel per hari.
”Dalam kondisi seperti itu, sifat operasi hulu migas yang hanya bertahan atau tetap beroperasi tanpa ada penutupan sumur ataupun pengurangan tenaga kerja sudah sangat bagus,” kata Pri Agung.
Lifting minyak terus turun dalam kurun lima tahun terakhir. Pada 2016, lifting minyak mencapai 829.000 barel per hari dan turun menjadi 804.000 barel per hari di 2017. Pada 2018, lifting minyak terus turun menjadi 778.000 barel per hari dan berlanjut menjadi 746.000 barel per hari. Usia sumur di Indonesia yang sudah tua atau mencapai puluhan tahun menyebabkan sumur-sumur tersebut telah melewati masa puncak produksi sehingga terjadi penurunan produksi secara alamiah.