Dana desa adalah perwujudan kehadiran negara untuk membangun sampai ke pelosok wilayah. Sebaiknya model pembangunan tak searah dari pusat ke bawah, tetapi tetap memperhatikan karakter dan kearfian lokal di desa.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Ada hampir 75.000 desa di Indonesia. Puluhan ribu desa itu tersebar dengan kondisi geografis yang berbeda-beda, bahasa, suku, adat istiadat, dan berbagai sumber daya yang unik. Akan menjadi ironi apabila arah pembangunan tidak memperhatikan keunikan dan karakter tersebut.
Penduduk Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, misalnya. Mereka mengenang bagaimana gempa meluluhlantakkan Lombok pada Juli dan Agustus 2018. Bangunan tembok dan beton hancur. Uniknya, rumah adat di Bayan yang berbahan kayu masih tegak berdiri. Rumah tembok di sebelahnya berubah menjadi reruntuhan.
Pemerintah pusat turun tangan dengan konsep pembangunan yang searah. Kala itu, bantuan pemerintah untuk renovasi rumah mengharuskan rumah dibangun dengan fondasi berdinding batako. Padahal, sudah terbukti rumah yang hancur karena gempa adalah rumah yang menggunakan bahan bangunan serupa.
Sebaliknya, masyarakat di desa yang masih berusaha mempertahankan adat berada di simpang jalan. Bahan baku rumah kayu sulit didapat. Hak berupa hutan adat tak diakomodasi dengan baik oleh negara. Serbuan modernisasi perkotaan lewat saluran televisi menggerus kemurnian berpikir masyarakat adat. Akhirnya, sebagian mengikuti model rumah yang ada di tayangan televisi karena menganggap model itu lebih modern, sedangkan rumah kayu identik dengan masyarakat miskin dan tertinggal.
Ketergantungan pangan hanya ada pada beras. Krisis pangan diilustrasikan sebagai kekurangan stok beras.
Begitu halnya dengan program swasembada pangan yang dipusatkan pada satu jenis komoditas saja, yakni padi. Padahal, begitu banyak ragam pilihan sumber pangan di Nusantara. Ada sagu, singkong, ubi, sorgum, jagung, dan berbagai jenis biji-bijian ataupun umbi-umbian yang menjadi sumber pangan sejak zaman nenek moyang. Akibatnya, ketergantungan pangan hanya ada pada beras. Krisis pangan diilustrasikan sebagai kekurangan stok beras.
Pemanfaatan keragaman sumber pangan sudah dibuktikan masyarakat adat di Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Mereka memiliki tradisi menyimpan aneka sumber pangan, seperti padi, jagung, jewawut, dan sorgum. Selepas panen, beragam sumber pangan tersebut disimpan dalam bangunan yang disebut uma lengge. Fungsinya seperti lumbung.
Akan tetapi, aneka pangan itu tak hanya disimpan. Ada kesepakatan tak tertulis bahwa masyarakat hanya diizinkan mengambil hasil panen di uma lengge sekali dalam sepekan atau dua pekan. Dengan demikian, mereka ”dipaksa” berhemat secara tradisi dan tak boleh rakus. Ternyata, kearifan lokal semacam itu mampu menghindarkan wabah kelaparan yang melanda kawasan tersebut pada era 1960-an akibat gagal panen.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, dari 24,79 juta penduduk miskin di Indonesia per September 2019, 60 persen atau 14,93 juta jiwa ada di perdesaan. Sisanya 9,86 juta jiwa ada di perkotaan. Acuan kemiskinan, menurut BPS, adalah belanja uang kurang dari Rp 440.538 per kapita per bulan. Namun, kalau semua kebutuhan sudah terpenuhi secara mandiri di sebuah desa, apakah penduduknya bisa disebut miskin?
Kalau semua kebutuhan sudah terpenuhi secara mandiri di sebuah desa, apa penduduknya bisa disebut miskin?
Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, sudah lama dikenal sebagai desa mandiri energi. Listrik di desa itu dihasilkan dari tenaga aliran sungai (mikrohidro), embusan angin (tenaga bayu) yang memutar kincir, serta tenaga surya. Pasokan listrik berlebih sehingga sisanya dijual kepada PLN dan perputaran uangnya dikelola koperasi. Untuk memasak, mereka tak membakar kayu, tetapi menggunakan biogas dari kotoran ternak.
Sumber karbohidrat didapat dari jagung dan umbi-umbian. Mereka juga beternak ayam yang menghasilkan telur, termasuk beternak babi dan kuda. Praktis, belanja untuk kebutuhan primer menjadi turun signifikan. Mereka, selain mandiri energi, juga sudah mandiri pangan.
Oleh karena itu, rencana pembangunan yang jauh masuk ke pelosok desa sebaiknya mempertimbangkan keunikan, karakter, ataupun kearifan lokal di setiap desa. Sejak dana desa dialokasikan dalam APBN di 2015, penguatan modal pembangunan di desa semakin signifikan. Tahun ini, pagu dana desa sekitar Rp 72 triliun. Dengan model pembangunan dan pemanfaatan dana desa yang tepat, slogan yang kerap disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar bisa terwujud, yakni membangun desa adalah membangun Indonesia.