Perombakan direksi sejumlah BUMN semestinya tidak sekadar mengganti personel, tetapi berorientasi pada pembenahan sistem dan tata kelola perseoran.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam sepekan terakhir, Kementerian Badan Usaha Milik Negara merombak jajaran petinggi delapan badan usaha bidang karya, pertambangan, dan pengelola jalan tol. Bongkar pasang direksi dan komisaris perusahaan pelat merah itu diharapkan membenahi tata kelola perseroan dan bukan sekadar penggantian personel.
Delapan BUMN yang petingginya dirombak adalah PT Hutama Karya (Persero), PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Adhi Karya (Persero) Tbk, PT PP (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, Sabtu (13/6/2020), berpendapat, program ”bersih-bersih” BUMN adalah hal yang bagus. ”Namun, jika yang dibersihkan hanya ruang depan dan ruang tamu tetapi ruang utama dan kamar tidak ikut dibersihkan, ujungnya rawan tebang pilih. Orang-orang yang tak terkait kelompoknya tidak aman, sementara yang terkait kelompoknya aman,” ujarnya.
Keseriusan membenahi BUMN, kata Enny, bukan sekadar merombak jajaran petinggi BUMN, melainkan membenahi sistem dan tata kelola perusahaan (good corporate governance) yang selama ini bermasalah. Sebab, masalahnya bukan sekadar orang, melainkan praktik tata kelola perusahaan yang baik.
Dalam kerangka tata kelola perusahaan yang baik, prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran harus menjadi patokan pengelolaan perusahaan, terutama badan publik seperti BUMN. Sementara, berdasarkan laporan Komisi Informasi Pusat (KIP) pada 2019, BUMN masih menjadi badan publik yang dinilai paling tertutup dan tidak informatif.
Menurut pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, tata kelola perusahaan yang baik selama ini belum terlihat dalam pengelolaan BUMN. Masih banyak kasus korupsi yang melibatkan direksi BUMN, ditambah dengan lilitan utang yang saat ini membelit sejumlah perusahaan BUMN. Dalam hal ini, pemilihan dewan komisaris BUMN memainkan aspek penting sebagai pengawas tata kelola perusahaan.
”Kalau sekarang masih banyak BUMN bermasalah, berarti fungsi dewan komisaris belum efektif. Apakah orang-orang yang menduduki jabatan komisaris itu sudah kompeten? Di sisi lain, fungsi pengawasan dari Kementerian BUMN juga seharusnya cepat mendeteksi kalau ada perusahaan yang mulai keluar jalur–kalau tidak, laporan dari BUMN ke pemerintah ujung-ujungnya selalu jadi formalitas belaka,” ujarnya.
Jenderal
Perombakan jajaran komisaris sejumlah BUMN juga menuai pertanyaan karena melibatkan sejumlah petinggi TNI dan Polri, baik yang masih aktif maupun purnawirawan. Para jenderal ini mendapatkan posisi sebagai dewan komisaris di sejumlah perusahaan BUMN.
Dalam rapat umum pemegang saham, Rabu (10/6/2020), misalnya, pemerintah mengangkat dua jenderal aktif TNI dan Polri sebagai komisaris di PT Bukit Asam. Mereka adalah Marsekal Madya Andi Pahril Pawi, jenderal bintang dua di TNI Angkatan Udara dan sempat bertugas sebagai Kepala Biro Pengamanan di Sekretariat Militer Presiden.
Selain Andi, ada Irjen Carlo Brix Tewu, perwira tinggi Polri bintang dua yang menjadi komisaris baru PT Bukit Asam. Ia pernah menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara dan menjabat Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Keterlibatan jenderal TNI dan polisi banyak terlihat di perusahaan BUMN yang bergerak di tambang.
Terbaru, pada Kamis (11/6/2020), dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Aneka Tambang Tbk, pemerintah juga menunjuk Bambang Sunarwibowo untuk menggantikan Zaelani selaku Komisaris Antam. Bambang saat ini tercatat masih menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara (BIN).
Keterlibatan jenderal TNI dan polisi banyak terlihat di perusahaan BUMN yang bergerak di tambang. Mereka memegang jabatan sebagai komisaris, sementara jajaran direksi tetap dipegang oleh kalangan profesional.
”Tata kelola baik itu seharusnya mengedepankan prinsip the right man in the right place. Tentu mereka harus punya rekam jejak dan kapasitas di bidang masing-masing,” kata Enny.
Menurut Toto, dalam proses perombakan petinggi perusahaan, pemerintah harus memperhatikan indikator pemilihan secara obyektif dan transparan. ”Akan menjadi masalah kalau terlalu banyak orang-orang dengan latar belakang politik dan afiliasi politik menjabat,” katanya.
Tangani konflik
Terkait pelibatan aparat penegak hukum sebagai petinggi BUMN, Menteri BUMN Erick Thohir beralasan, pihaknya punya alasan kuat terkait aspek pengamanan. Bisnis pertambangan yang kerap memicu konflik agraria, perizinan, serta isu sosial antara perusahaan dan masyarakat membuatnya mempertimbangkan memilih aparat untuk mengelola perusahaan tambang milik negara.
”Kita harus menyeimbangkan agar di tiap perusahaan itu ada ahli keuangan, tetapi juga ada yang ahli isu sosial seperti itu. Apalagi, sumber daya alam ini, kan, kekayaan negara yang harus kita lindungi,” kata Erick.
Ia mengatakan, langkah perombakan petinggi BUMN serta restrukturisasi BUMN yang ia lakukan bertujuan untuk menyehatkan BUMN. Dengan jumlah direksi dan komisaris yang dipangkas dan diperbarui, diharapkan, perusahaan bisa bergerak lebih lincah.
Ia mencontohkan, PTPN memiliki jumlah direksi dan komisaris terlalu banyak sehingga birokrasi perusahaan panjang dan utangnya menumpuk Rp 42 triliun.
”Masalahnya selalu ada di bagian atas. Pemimpin membawa isu-isu populer, ujung-ujungnya perusahaan bangkrut, utangnya besar. Jadi, saya sikat duluan yang di situ (direksi dan komisaris). Bukan saya arogan, tetapi birokrasi ini harus kita selesaikan,” katanya.