Mereka yang sebelumnya dapat hidup mandiri, kini berharap mendapat bantuan. Pendataan harus terus diperbarui agar bantuan tepat sasaran.
Oleh
sharon patricia
·5 menit baca
Sudah lebih dari satu bulan Purwo Dahono (33) terkena pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi pabrik otomotif di daerah Cikarang, Jawa Barat, akibat Covid-19. Kini, ia beralih menjadi penjual sangkar burung dan burung murai batu untuk menyambung hidup.
Saat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), Purwo mendapatkan hak pesangon sekitar Rp 145 juta setelah bekerja 14 tahun. Uang tersebut kemudian ia gunakan mulai dari membayar utang, membiayai kebutuhan harian, membayar kontrakan, hingga modal usaha.
”Awalnya saya pikir mau balik ke kampung di Kebumen, Jawa Tengah, dan memulai usaha di sana. Tetapi, istri menolak karena sedang menjalankan usaha online di sini, jadi saya juga coba berusaha dengan menjual sangkar burung dan burung murai batu,” kata Purwo saat dihubungi Kompas, Jumat (12/6/2020).
Penjualan yang dilakukan secara dalam jaringan (daring), menurut Purwo, sudah mulai membuahkan hasil. Dalam satu hari, ia mampu menjual satu atau dua sangkar burung dengan omzet sekitar Rp 800.000 per sangkar.
Sebagai tulang punggung keluarga, kata Purwo, sudah menjadi kewajiban untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga. ”Saya harus bisa kelola uang pesangon ini agar tidak habis begitu saja,” ujarnya.
Purwo masih memiliki tanggungan dua anak yang bersekolah di tingkat pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar. Pendidikan baginya merupakan prioritas untuk anak-anak.
”Sebisa mungkin saya akan selalu usahakan agar anak-anak bisa tetap bersekolah hingga tinggi supaya nanti mendapat pekerjaan yang baik. Jangan sampai mereka putus sekolah,” ucapnya.
Purwo pun menyadari, berwirausaha bukanlah hal mudah dan langsung akan mendapat keuntungan. Apabila usahanya tidak berjalan, ia berencana pulang kampung dan membangun kehidupan di sana.
”Awalnya saya mau coba lagi kerja di pabrik, tetapi setelah dipikir ulang, rasanya lebih baik saya mencoba berjualan. Soalnya usia juga tidak muda lagi, saingan pasti akan semakin banyak,” kata Purwo.
Ada pun Agus (30), buruh di sektor logistik di Bekasi, Jawa Barat, dirumahkan sejak 2 April 2020. Meski dikatakan dirumahkan, per Juni 2020 Agus tidak lagi akan menerima gaji dan tidak ada kepastian kapan akan kembali bekerja.
Tabungan pun diakuinya semakin menipis karena tidak ada pemasukan lagi. Bahkan, uang tabungan Rp 700.000 yang awalnya akan digunakan untuk biaya anak masuk sekolah dasar terpaksa dipakai untuk membiayai kebutuhan harian.
Agus mengatakan, pendidikan itu penting bagi masa depan anaknya untuk mendapat kehidupan yang lebih sejahtera. Ia pun meminjam uang dari saudara agar anaknya dapat tetap bersekolah.
”Saya tidak mendapat bantuan sosial apa pun dari pemerintah karena sebelumnya penghasilan bisa dikatakan cukup untuk keluarga. Jadi, mungkin saya tidak terdaftar sebagai orang yang kekurangan,” kata Agus.
Sambil menunggu kepastian dari pabrik, kini Agus mencoba berjualan pakan burung bersama temannya. ”Saya rencananya menjual 1 sampai 2 kilogram (kg) pakan burung per hari untuk dimasukkan ke toko-toko,” ucapnya.
Ancaman ketimpangan sosial
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebenarnya ada tren penurunan ketimpangan secara umum di Indonesia yang ditunjukkan melalui nilai rasio gini yang turun dari 0,414 (September 2014) menjadi 0,38 (September 2019). Rasio gini berkisar 0-1 semakin mendekati 1 berarti ketimpangan semakin besar.
Namun, Kepala Perwakilan UNDP Indonesia Christophe Bahuet menilai, kemungkinan besar ketimpangan akan meningkat lagi dalam kondisi pandemi Covid-19 (Kompas, 28 Mei 2020).
Situasi pandemi telah membuat para pekerja harian dan pekerja di sektor informal, golongan yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, kehilangan penghasilan. Berdasarkan data BPS, jumlah penganggur per Februari 2020 tercatat 6,88 juta orang, bertambah 60.000 orang dibandingkan dengan Februari 2019. Jumlah penganggur diperkirakan terus meningkat selama pandemi.
Untuk mengantisipasi terjadinya jurang ketimpangan yang semakin dalam, pemerintah didorong untuk memiliki data yang valid terkait kelompok masyarakat yang berhak menerima bantuan. Pembaruan data penting dilakukan untuk mengategorikan kelompok yang awalnya tidak berhak mendapat bantuan menjadi berhak karena terdampak Covid-19.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Fajar B Hirawan, menuliskan dalam jurnal berjudul ”Optimizing the Distribution of the Social Assistance Program during the COVID-19 Pandemic”, database terpadu (BDT) atau data kesejahteraan sosial terpadu (DTKS) perlu diperbarui. Langkah ini untuk mendapatkan data dari berbagai kelompok masyarakat yang secara siginifikan terdampak pandemi.
Misalnya, pekerja yang terkena PHK, yang dirumahkan tanpa, dan pekerja informal. Bahkan juga pekerja yang masih bekerja tetapi mendapatkan pemotongan gaji besar-besaran (hingga 50 persen).
”Pembaruan data penerima untuk program bantuan sosial ini bersifat wajib. Tidak hanya mencakup 40 persen dari kelompok berpenghasilan rendah, tetapi harus mencapai 50-60 persen dari masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Fajar.
Ketidakpastian durasi pandemi, kata Fajar, harus diikuti dengan kesiapan pemerintah mendistribusi bantuan sosial. Pemerintah harus bergerak cepat dan mengutamakan kelompok masyarakat yang daya belinya terganggu dan sulit untuk memenuhi kebutuhan harian, terutama yang berkaitan dengan makanan.
Peta distribusi bantuan sosial perlu dengan prioritas berkala. Skema bantuan sosial diperlukan setidaknya hingga September 2020 atau bahkan hingga Desember 2020 jika pandemi berlanjut.
”Kesiapan pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan bantuan sosial untuk periode waktu tertentu, dengan skenario terburuk, yang maksimum hingga Desember 2020, adalah kunci keberhasilan penyaluran bantuan sosial kepada orang miskin,” kata Fajar.
Jangka panjang
Dalam artikel The Guardian berjudul ”Inequality will worsen unless ministers act, says thinktank” disampaikan, berdasarkan laporan Institute for Fiscal Studies (IFS), Covid-19 menjadi ancaman terjadinya krisis bagi kehidupan manusia, apabila tidak ada kepastian kelangsungan usaha serta kesediaan fasilitas pendidikan bagi anak-anak.
Direktur Jenderal Confideration of British Industry Carolyn Fairbairn menyampaikan, tanpa intervensi segera, ketimpangan pra-krisis di seluruh wilayah, jender, dan ras akan memburuk. Jumlah penganggur yang kian meningkat juga akan menjadi persoalan bagi kehidupan mendatang.