Pemulihan Ekonomi Nasional Bisa Terhambat
Jalan menuju pemulihan ekonomi masih sangat tidak pasti dan rentan terhadap gelombang kedua Covid-19. Jika tidak hati-hati, pemulihan ekonomi bisa terhambat dan semakin lama.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia harus bersiap mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam jika gelombang kedua Covid-19 terjadi. Kontraksi ekonomi akan berimplikasi terhadap proses pemulihan yang semakin sulit dan butuh waktu lama.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dalam laporan Proyeksi Ekonomi Edisi Juni 2020, Rabu (10/6/2020) malam, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini minus 2,8 persen dengan asumsi lonjakan kasus pandemi Covid-19 di dalam negeri pada pertengahan April lalu.
Dalam skenario buruk, perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh minus 3,9 persen jika terjadi gelombang kedua Covid-19. Gelombang kedua itu akan memperlambat proses pemulihan ekonomi. Pola pemulihan ekonomi Indonesia tidak membentuk huruf V, tetapi cenderung bergelombang.
Dalam laporan bertajuk ”World Economy on a Tightrope” itu, OECD memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati melonggarkan pembatasan sosial karena jalan menuju pemulihan ekonomi masih sangat tidak pasti dan rentan terhadap gelombang infeksi kedua. Konsekuensi pemulihannya akan lebih berat dan lama.
OECD memperingatkan pemerintah untuk berhati-hati melonggarkan pembatasan sosial karena jalan menuju pemulihan ekonomi masih sangat tidak pasti dan rentan terhadap gelombang infeksi kedua.
Risiko gelombang kedua Covid-19 juga menghantui hampir semua negara di dunia. OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global minus 7,6 persen pada 2020 apabila gelombang kedua Covid-19 terjadi dan pembatasan wilayah kembali diterapkan oleh berbagai negara. Pertumbuhan ekonomi baru berangsur pulih pada 2021 menjadi 2,8 persen.
Baca juga: Jika Gelombang Kedua Covid-19 Terjadi, Ekonomi RI Bisa Minus 3,9 Persen
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir, yang dihubungi, Kamis (11/6/2020), menuturkan, tidak satu pun negara di dunia yang bisa memastikan gelombang kedua Covid-19 tidak akan terjadi. Karena itu, mitigasi risiko sangat penting.
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar 2,3 persen hingga minus 0,4 persen. Namun, kemungkinan besar ekonomi hanya tumbuh kisaran 1 persen yang dipengaruhi perlambatan ekonomi triwulan I-2020 dan potensi terjadinya gelombang kedua Covid-19.
”Ekonomi akan diupayakan positif karena menumbuhkan ekonomi yang minus akan lebih berat,” katanya.
Iskandar menambahkan, bauran kebijakan melalui pencegahan penyebaran Covid-19, pemberian stimulus fiskal, moneter, dan program Pemulihan Ekonomi Nasional akan menahan kontraksi pertumbuhan ekonomi. Risiko gelombang kedua Covid-19 juga dimitigasi dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih tegas.
Utang dan pengangguran
Kepala Ekonom OECD Laurence Boone mengatakan, pembuatan kebijakan yang fleksibel dan gesit untuk menghindari gelombang kedua Covid-19 dibutuhkan. Pemerintah harus menyediakan jaring pengaman sosial dan dukungan untuk sektor-sektor yang paling parah. Pelaku bisnis dan pekerja juga perlu dibantu untuk beradaptasi di era normal baru.
”Utang negara yang semakin tinggi tidak dapat dihindari. Pengeluaran yang dibiayai utang harus tepat sasaran untuk mendukung mereka yang paling rentan dan menyediakan investasi untuk transisi ke ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan,” katanya.
Pengeluaran yang dibiayai utang harus tepat sasaran untuk mendukung mereka yang paling rentan dan menyediakan investasi untuk transisi ke ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
Indonesia dan China termasuk segelintir negara yang masih tumbuh positif pada triwulan I-2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen. Namun, proyeksi OECD, kontraksi ekonomi akan terjadi pada triwulan II-2020. Pemulihan ekonomi mungkin saja terjadi pada triwulan III-2020 jika pemerintah bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, berpendapat, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 berpotensi makin melambat jika kebijakan pembukaan kegiatan ekonomi tidak diikuti peningkatan kedisiplinan masyarakat. Kontraksi ekonomi akan melumpuhkan sisi produksi sehingga mendorong peningkatan kemiskinan dan pengangguran.
OECD memperkirakan angka pengangguran global akan meningkat tajam dari 5,4 persen pada 2019 menjadi 9,2 persen pada 2020. Pemerintah Indonesia memproyeksikan kenaikan jumlah penganggur akibat Covid-19 berkisar 2,92 juta-5,23 juta orang dan jumlah penduduk miskin naik 1,16 juta-3,78 juta orang.
”Dalam kondisi terjadinya gelombang kedua secara global, termasuk di Indonesia, kontraksi perekonomian semakin dalam dan perekonomian global, serta tidak menutup kemungkinan Indonesia, juga mengalami resesi,” kata Josua.
Baca juga: Waspadai Lonjakan Kemiskinan dan Pengangguran
Rabu lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar semua pihak mewaspadai gelombang kedua pandemi Covid-19 yang ditandai lonjakan kasus penyakit tersebut. Penyiapan protokol normal baru oleh pemerintah bukan berarti kerja melawan Covid-19 berakhir.
Pembukaan sejumlah sektor kehidupan dengan menerapkan tatanan normal baru di tiap daerah harus melalui prosedur ketat. Keputusan pembukaan daerah menuju normal baru masyarakat yang produktif dan aman Covid-19 harus dilakukan secara tepat agar tak mengakibatkan kenaikan kasus (Kompas, 11/6/2020).
Baca juga: Presiden: Waspadai Gelombang Kedua Pandemi
Kasus meningkat
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, menyampaikan, per Kamis, terdapat penambahan spesimen yang diperiksa sebanyak 16.702 spesimen sehingga total spesimen yang diperiksa menjadi 463.620 spesimen. Pemeriksaan ini dilakukan di 384 laboratorium, baik laboratorium berbasis metode polymerase chain reaction (PCR) maupun tes cepat molekuler.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat, per Kamis telah terjadi penambahan kasus positif sebanyak 979 orang, sehingga totalnya menjadi 35.295 kasus. Jumlah orang yang meninggal bertambah 41 orang sehingga totalnya menjadi 2.000 orang. Penambahan kasus baru paling banyak dilaporkan terjadi di Jawa Timur (297 kasus), Sulawesi Selatan (141 kasus), dan DKI Jakarta (128 kasus). Seluruh kasus yang dilaporkan tersebar di 424 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Penambahan kasus positif harian di Indonesia masih terus meningkat. Ini menunjukkan belum sepenuhnya Indonesia melewati gelombang pertama pandemi Covid-19. Pembukaan kembali aktivitas dan pelonggaran mobilitas lebih didasari motif ekonomi, bukan epidemiologi. Ini bakal mempercepat laju penyebaran wabah.
Dari tren penambahan kasus harian yang cenderung meningkat, Indonesia sebenarnya belum melalui gelombang pertama pandemi Covid-19. Bagaimana mau gelombang kedua, gelombang pertama saja belum tuntas.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede S Dharmawan mengatakan, dari tren penambahan kasus harian yang cenderung meningkat, Indonesia sebenarnya belum melalui gelombang pertama pandemi Covid-19.
”Bagaimana mau gelombang kedua, gelombang pertama saja belum tuntas. Gelombang kedua itu kalau kasus sudah turun, bahkan sampai nol kasus, lalu aktivitas dibuka dan terjadi lagi kasus baru. Itu yang disebut gelombang kedua," katanya.
Dokter spesialis emergensi yang juga mantan Ketua Tim Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), Corona Rintawan, berpendapat, kebijakan normal baru ini sangat berisiko karena data epidemiologi belum menunjukkan hal itu. Penerapannya juga tidak didasari kesiapan masyarakat memahami risikonya. (DIMAS WARADITYA NUGRAHA/DEONISIA ARLINTA)