Nelayan Anambas dan Natuna Tolak Penggunaan Cantrang
Nelayan di Kepulauan Riau menolak rencana pemerintah untuk melegalkan kembali alat tangkap cantrang. Langkah pemerintah itu dikhawatirkan bisa memicu konflik antarnelayan dan menyebabkan overfishing di Laut Natuna.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·5 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau, menolak langkah pemerintah untuk melegalkan kembali alat tangkap cantrang. Keputusan itu dikhawatirkan bisa memicu konflik antarnelayan dan menyebabkan penangkapan ikan berlebih di Laut Natuna.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra, Jumat (12/6/2020), mengatakan, penggunaan pukat hela atau trawl dan cantrang akan membuat tangkapan nelayan tradisional merosot. Hal ini dikhawatirkan akan memicu konflik antarnelayan.
Mayoritas nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna hanya menggunakan kapal kecil antara 1 grosston (GT) dan 8 GT serta mengandalkan alat tangkap pancing ulur. Dedi menilai penggunaan cantrang bukan hanya akan membunuh ikan yang masih kecil, melainkan juga akan merusak terumbu yang menjadi habitat ikan karang yang menjadi sasaran tangkap nelayan lokal.
”Sebelumnya, kami sudah sering (konflik) dengan kapal pukat mayang (purse sein) yang melanggar kesepakatan zona tangkap. Sering hampir terjadi bentrokan fisik dan pembakaran di laut. Potensi konflik ini semakin besar dengan rencana pemerintah melegalkan cantrang,” kata Dedi saat dihubungi dari Batam.
Ia mengatakan, saat ini setidaknya sudah ada 830 kapal pukat mayang berukuran lebih dari 30 GT dari daerah lain yang beroperasi di perairan sekitar Kepulauan Anambas dan Natuna. Jika pemerintah mengizinkan kembali penggunaan cantrang, ia meyakini hal itu akan mendorong kedatangan ratusan kapal dari pantai utara Jawa.
Sebelumnya, pada Februari lalu, pemerintah memobilisasi nelayan dari pantura Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara. Namun, selama beroperasi di sana, nelayan pantura Jawa justru lebih banyak beroperasi di perairan sekitar 50 mil bukan di atas 100 mil yang menjadi daerah rawan penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing.
”Kami tidak bisa menerima alasan pemerintah melegalkan cantrang untuk mencegah kapal asing masuk. Seharusnya cukup dengan memperketat pengawasan di laut dengan menyiagakan aparat di sejumlah titik rawan,” ujar Dedi.
Mobilisasi nelayan pantura Jawa ke Laut Natuna Utara pada akhirnya memang gagal. Pada akhir April, Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, nelayan pantura memilih pulang karena hasil tangkapan di Laut Natuna Utara tidak seperti yang diharapkan.
”(Mobilisasi) nelayan pantura Jawa ke Laut Natuna Utara tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas kapal asing. Malah (belakangan) penangkapan ikan secara ilegal semakin menjadi-jadi,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri.
Ia khawatir langkah pemerintah untuk kembali mengizinkan penggunaan cantrang akan mendorong nelayan pantura Jawa beralih wilayah tangkap ke perairan di bawah 30 mil selama beroperasi di Laut Natuna. Cantrang tidak efektif digunakan di perairan di atas 50 mil yang dalamnya lebih dari 50 meter.
”(Mobilisasi) nelayan pantura Jawa ke Laut Natuna Utara tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas kapal asing. Malah (belakangan) penangkapan ikan secara ilegal semakin menjadi-jadi,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri.
Ia khawatir langkah pemerintah kembali mengizinkan penggunaan cantrang akan mendorong nelayan pantura Jawa beralih wilayah tangkap ke perairan di bawah 30 mil selama beroperasi di Laut Natuna. Cantrang tidak efektif digunakan di perairan di atas 50 mil yang dalamnya lebih dari 50 meter (m).
”Mereka ingin pindah ke Laut Natuna karena wilayah tangkap di Laut Jawa sudah overfishing karena penggunaan cantrang. Jika penggunaan cantrang dibiarkan di Laut Natuna, lama-lama perairan itu juga akan overfishing,” ujar Hendri.
Sejumlah nelayan di pesisir pantai utara Jawa Tengah menyatakan akan mengikuti aturan pemerintah terkait pengaturan dan pengendalian kapal cantrang. Hal ini dilakukan untuk mencegah konflik dengan nelayan di daerah lain.
”Kami siap mengikuti aturan pemerintah dalam rangka mengendalikan penggunaan cantrang. Sejak awal, kami memang menginginkan penggunaan cantrang itu diatur bukan dilarang,” kata Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal Riswanto di Kota Tegal.
Hal-hal yang memungkinkan untuk diatur terkait alat tangkap cantrang, menurut Riswanto, adalah jenis jaring, ukuran jaring, ukuran kapal, dan wilayah tangkapan. Pengaturan-pengaturan ini dinilai bisa meminimalkan risiko konflik dengan nelayan tradisional dan menjamin keberlanjutan sumber daya laut.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan, nelayan dengan alat tangkap cantrang tidak benar-benar memiliki legalitas dalam melaut. Idealnya, saat melaut nelayan membawa surat izin penangkapan ikan (SIPI). Sejak ada larangan penggunaan cantrang, nelayan cantrang hanya melaut dengan berbekal surat keterangan melaut (SKM).
”Kalau berhadapan dengan petugas di laut, kami selalu waswas karena SKM secara hukum tidak sekuat SIPI. Dengan revisi peraturan ini, kami memiliki kesempatan untuk kembali mendapatakan SIPI dan melaut dengan tenang,” ujar Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto.
Setelah mendapatkan SIPI, Heri berencana mengusulkan perluasan wilayah tangkap untuk mengurangi beban daerah yang overfishing. Tiga wilayah tangkap yang diajukan adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan), WPP 712 (perairan laut Jawa), dan WPP 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, serta Laut Bali).
Secara terpisah, Ketua Aliansi Nelayan Indonesia Riyono mengatakan, idealnya tidak hanya cantrang yang diatur, tetapi seluruh alat tangkap. Sebab, alat tangkap lain juga memiliki potensi merusak laut apabila tidak digunakan dengan tepat.
”Kami sudah berulang kali mengusulkan agar semua alat tangkap diatur supaya bisa dievaluasi bersama, mana alat tangkap yang merusak. Jangan hanya cantrang saja yang dikambinghitamkan,” kata Riyono.
Selain pengaturan seluruh alat tangkap, pemerintah juga diminta mempertimbangkan pengaturan masa istirahat melaut. Hal itu berguna untuk mengurangi potensi penangkapan ikan berlebih. Menurut Riyono, masa istirahat yang ideal adalah tiga bulan dalam setahun.