Kredit Seret, Perbankan Borong Surat Berharga Negara
Kepemilikan Surat Berharga Negara atau SBN oleh perbankan meningkat pesat selama pandemi Covid-19. Karena permintaan kredit masih seret, perbankan menggunakan sebagian besar likuiditasnya untuk membeli SBN.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepemilikan Surat Berharga Negara atau SBN oleh perbankan meningkat pesat selama pandemi Covid-19. Karena permintaan kredit masih seret, perbankan menggunakan sebagian besar likuiditasnya untuk membeli SBN. Perbankan berkomitmen akan kembali menyalurkan kredit tatkala kondisi ekonomi sudah normal kembali seiring meredanya pandemi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah SBN yang dipegang perbankan per 10 Juni 2020 mencapai Rp 974,68 triliun, melonjak pesat dibandingkan posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp 581,37 triliun.
Tahun ini, negara sedang membutuhkan banyak dana untuk penanggulangan Covid-19. Untuk memenuhinya, pemerintah berencana menerbitkan SBN sekitar Rp 1.633,6 triliun.
Kalangan perbankan menjelaskan, meningkatnya kepemilikan bank atas SBN adalah bentuk adaptasi mereka menghadapi Covid-19.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Haru Koesmahargyo menjelaskan, pembelian SBN oleh BRI dilakukan sebagai persiapan untuk kembali ekspansif seusai pandemi Covid-19 berakhir.
”Kami tambahkan modal nanti kalau kita tumbuh. Jadi, setelah pandemi ini, sudah siap,” kata Haru yang dihubungi Jumat (12/6/2020).
Pilihan menempatkan dana di SBN, lanjut Haru, bukan lantaran bank ingin mencari keuntungan yang aman di kala Covid-19. Sebab, seperti diketahui selisih imbal hasil SBN yang mencapai 7 persen per tahun, mendekati besaran pendapatan bunga kredit yang sekitar 10 persen per tahun. Apalagi SBN tak memiliki risiko lantaran dijamin pembayarannya oleh negara, sedangkan kredit ada risiko gagal bayar tergantung kemampuan pelunasan debitor.
”Oh tidak, bukan karena kami ingin cari aman,” kata Haru.
Haru menambahkan, penempatan dana BRI pada SBN mencapai Rp 90 triliun, atau 9 persen dari dana pihak ketiga (DPK). Porsi tersebut berada di atas batas minimal Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) yang sebesar 6 persen dari DPK.
Hal senada juga dikatakan Direktur PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Darmawan Junaidi. ”Ini persiapan untuk likuiditas ke depan,” ujar Darmawan.
Penurunan kredit
Baik Haru maupun Darmawan menjelaskan, penempatan dana SBN itu juga dipicu menurunnya permintaan kredit. Haru mengatakan, pertumbuhan kredit di BRI per Mei 2020 hanya berkisar 5 persen.
”Meski menurun, kami tetap menyalurkan kredit pelan-pelan. Karena memang ada kebutuhan modal kerja. Tentu penyalurannya sesuai kualifikasi perbankan,” ujar Darmawan.
Ia pun sepakat perbankan harus menyalurkan kredit untuk mendorong kembali perekonomian kembali pulih. Hanya saja memang permintaan kredit sedang menurun saat ini.
Adanya restriksi fisik dan sosial telah mempersulit kegiatan ekonomi. Hal ini membuat banyak orang menunda mengambil kredit.
”Tentu ke depan kredit harus tetap disalurkan untuk mendorong kembali pertumbuhan ekonomi.”
Pengamat perbankan Paul Sutaryono mengatakan, keputusan bank menambah kepemilikan di SBN ini karena saat ini sedang kemarau kredit. Ini disebabkan kondisi ekonomi yang tengah melemah.
”Padahal, bank harus terus dapat menghasilkan pendapatan, baik dari bunga maupun nonbunga. Oleh karena itu, bank memarkir sebagian dana mereka di SBN,” ujar Paul.