Alih-alih jadi solusi untuk memenuhi kebutuhan papan publik, program Tabungan Perumahan Rakyat menciptakan beban tambahan bagi pengusaha dan buruh. Tak tepat diterbitkan saat ketidakpastian muncul akibat Covid-19.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Di tengah kesulitan masyarakat beradaptasi dengan dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19, muncul kebijakan pemerintah yang mewajibkan masyarakat mengiur untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera itu mewajibkan pekerja dan pengusaha mengiur untuk Tapera.
Pekerja wajib mengiur 2,5 persen dari gaji pokok dan pemberi kerja mengiur 0,5 persen lainnya sehingga total 3 persen dari gaji yang harus disetor.
Untuk tahap awal, yang wajib menjadi peserta Tapera adalah aparatur sipil negara. Mereka wajib membayar iuran mulai Januari 2021. Untuk tahap kedua, pada 2022-2023, lingkup kepesertaan diperluas mencakup pekerja di perusahaan BUMN, daerah dan desa, serta TNI-Polri. Selanjutnya, pekerja swasta, sektor informal, dan pekerja mandiri diwajibkan menjadi peserta Tapera paling lambat tujuh tahun sejak PP Tapera diberlakukan.
Sekalipun kewajiban iuran itu tidak langsung berlaku tahun ini, tetap saja kewajiban itu dinilai menambah beban bagi pengusaha dan pekerja.
Pengusaha yang juga pengurus di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno, dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Tapera, Beban Baru di Tengah Korona”, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (10/6/2020), mengatakan, akibat pandemi Covid-19, kondisi banyak pengusaha terpuruk. Situasi dunia usaha pun jadi tidak pasti. Dalam kondisi tersebut, lahirnya kewajiban iuran Tapera tak pelak dilihat pengusaha sebagai beban baru.
”Karena kita menghadapi banyak ketidakpastian ke depan, menambah satu ketidakpastian dengan adanya potongan pendapatan ini akan dilihat sebagai beban tambahan,” katanya.
Terlebih, saat ini pengusaha telah memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah jaminan pekerja, seperti BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan jaminan sosial lain.
Oleh karena itu, sekalipun ia melihat tujuan dari kebijakan Tapera itu baik, yaitu memenuhi kebutuhan papan masyarakat, waktu lahirnya kebijakan tersebut sangat tidak tepat.
”Saat ini, UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) tidak punya likuiditas, masyarakat kehilangan pekerjaan, kita harus mendengar suara masyarakat yang terdampak. Masyarakat harus jadi subyek juga karena kita melawan pandemi bersama-sama. Kita jangan jadikan pengusaha ataupun UMKM yang sulit pekerjaan dan biaya hidup sekarang berat. Jadi, bersimpatilah,” ujarnya.
Selain Sandiaga, hadir pula sebagai narasumber dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman; komisioner Badan Pengelola Tapera, Adi Setianto; Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Ilhamsyah; anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Anis Byarwati; dan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira.
Kewajiban negara
Adapun di mata pekerja, menurut Ilhamsyah, kewajiban mengiur Tapera hanya akan melemahkan daya beli. Ini terutama akan terasa bagi pekerja yang penghasilannya minim.
Lagi pula, menurut dia, menjadi kewajiban negara memenuhi kebutuhan papan masyarakat. Ini seperti diamanatkan Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kemudian masyarakat, dalam hal ini pengusaha dan pekerja, yang harus mengiur, itu sama saja mengalihkan kewajiban negara kepada masyarakat.
Di sisi lain, Ilham melanjutkan, publik juga mendapat pengalaman buruk terkait pengelolaan dana publik. Sebagai contoh, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibatalkan Mahkamah Agung pada Mei lalu, salah satu alasannya ada kesalahan dan kecurangan dalam pengelolaan dananya.
Alih-alih mengiur Tapera, ia mengusulkan agar penyediaan rumah bagi pekerja ditempuh dengan cara lain, seperti mewajibkan kawasan industri mengalokasikan lahan bagi permukiman pekerja. Selain hunian bisa dekat dengan tempat kerja, hal itu dapat menekan ongkos transportasi pekerja.
Bhima Yudhistira juga melihat program Tapera bukan solusi penyediaan rumah bagi pekerja. Sebab, kenaikan upah pekerja selama ini tidak dapat mengimbangi kenaikan harga properti yang jauh lebih tinggi. Terlebih di masa pandemi Covid-19, masyarakat lebih fokus untuk bertahan hidup serta mengalokasikan uangnya untuk bahan pangan dan kesehatan.
Selain itu, ia melihat Tapera hanya upaya pemerintah mengumpulkan dana publik untuk jangka panjang. Dana itu nantinya dapat ditempatkan di surat berharga negara (SBN). Dana yang ditempatkan di SBN tersebut bisa saja digunakan oleh pemerintah untuk menambal defisit APBN yang kian melebar di masa pandemi Covid-19.
Resistensi terhadap program Tapera juga disampaikan Anis Byarwati. ”Saya memahami rumah itu kebutuhan primer dan saya paham ini tanggung jawab negara. Namun, jika diumumkan sekarang ini, akan jadi beban baru,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah bersedia meninjau kembali PP Tapera tersebut.
Kewajiban konstitusional
Dihadapkan pada banyaknya suara kontra terhadap program Tapera, Fadjroel Rahman menekankan, program itu merupakan solusi pemerintah bagi masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah, untuk memiliki rumah. Selain program amanat dari UU Tapera, pemenuhan kebutuhan papan masyarakat itu merupakan amanat dari UUD 1945. Dengan demikian, melalui Tapera, Presiden justru menuntaskan kewajiban konstitusional.
Terkait pandangan bahwa pemerintah mengabaikan kesulitan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19 dengan melahirkan program Tapera, ia membantahnya.
”Pemerintah menyadari kesulitan di tengah korona ini sehingga tidak (diterapkan) sekaligus, tetapi secara bertahap, terutama kepada aparatur sipil negara (ASN) yang sudah lebih dulu memiliki tabungan melalui Taperum (Tabungan Perumahan),” ucap Fadjroel.
Ia juga membantah pandangan dana kelolaan Tapera akan digunakan pemerintah untuk kepentingan lain, seperti menutup defisit APBN. Sebab, program Tapera ditujukan untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Adi Setianto menambahkan, masih banyak pekerja berpenghasilan rendah yang kesulitan memiliki rumah. Bahkan, di kalangan ASN masih ada sekitar 900.000 orang yang belum memilikinya. Alhasil, Tapera bisa jadi solusi dan menjadi tugas BP Tapera memberikan pembiayaan rumah dengan bunga kredit yang terjangkau.
Ditambah lagi, peserta yang mengiur tak akan dirugikan. Sebab, berbeda dengan iuran BPJS Kesehatan, iuran Tapera akan kembali sepenuhnya kepada peserta plus hasil pengembangannya.