Media sosial menjadi platform digital yang diandalkan pelaku usaha untuk mempromosikan produk dan menjangkau lebih banyak audiens di tengah pandemi. Fitur bisnis dan kemudahan yang ditawarkan jadi alasannya.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
Pelaku usaha Ratu Dyah (45), beberapa hari terakhir ini, kerepotan melayani interaksi para pengguna media sosial yang mampir di akun jualannya. Rata-rata 10 orang per hari mengiriminya pesan, baik sekadar bertanya-tanya maupun untuk membeli produk kue pastry buatannya.
Hal itu terjadi setelah seorang kenalannya, yang memiliki puluhan ribu pengikut di Instagram, membantu mempromosikan produk usahanya secara gratis. Sejumlah pembeli juga pernah ikut mengulas produknya dengan memasang stiker ”Support Small Business” dalam stories sehingga meningkatkan angka kunjungan ke akunnya.
”Promosi di media sosial seperti itu sejauh ini berpengaruh. Apalagi usaha yang saya jalankan baru jalan dua bulan. Masih perlu banyak dipromosikan,” kata Ratu Dyah, yang membuat usahanya di rumah, kepada Kompas, Kamis (11/6/2020).
Strategi berjualan secara daring juga digiati Febrianti (28), yang berbisnis pakaian muslimah. Jika sebelumnya ia lebih banyak berjualan di toko, sekarang ia fokus pada berjualan daring dengan memanfaatkan media sosial.
Setelah tokonya terpaksa tutup sejak adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar di Jakarta pada Maret lalu, kini ia hanya mengandalkan media sosial sebagai media promosi dan komunikasi. Penggunaan media sosial pun ia rasakan membantu menjangkau konsumen baru yang dibutuhkan untuk mempertahankan usahanya.
”Pandemi ini membuat kami kehilangan karena pasar dan daya beli melemah. Tapi, kami coba buat beberapa produk baru untuk segmen baru yang disasar di media sosial. Syukurnya media sosial ini banyak membantu untuk berpromosi,” tuturnya.
Digital Manager Suitmedia Permatasari, dalam webinar pada Rabu (11/6/2020), mengatakan, media sosial bisa menjadi alat mudah bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk beriklan dan berjualan.
Apalagi, banyak fitur bisnis yang dihadirkan media sosial dan dapat digunakan secara cuma-cuma. Pelaku usaha bisa menjangkau audiensnya di media sosial, mengetahui konten yang disuka, hingga menganalisis daya beli audiensnya.
”Di Instagram, misalnya, ada Instagram Shopping. Penjual cukup punya website, buat katalog yang langsung disambungkan ke Instagram, audiens lalu bisa berbelanja. Jadi, enggak perlu ribet dan pelaku usaha bisa memanfaatkan aset yang dipunya,” katanya.
Dari segi konten, Permatasari mengatakan, video pendek menjadi konten utama yang dinilai strategis untuk memasarkan suatu produk di media sosial. Video dinilai dapat optimal jika dapat dipersonalisasi sesuai target pasar dan tidak terlalu panjang karena masyarakat cenderung mengonsumsi konten media sosial secara instan.
Masa depan promosi digital melalui media sosial pun dinilai bagus. Pada Januari 2020, data We Are Social Indonesia Digital Report menyebut, penetrasi pengguna media sosial di Indonesia meningkat sampai 59 persen total penduduk (160 juta populasi). Sebanyak 99 persen pengguna internet dilaporkan gemar menonton video daring.
Pandemi juga ikut mengubah cara berbelanja masyarakat, dari media offline (luring) ke media online (daring). Survei MarkPlus, Inc, yang diikuti 128 responden di seluruh Indonesia awal Juni 2020, menunjukkan adanya perubahan kebiasaan masyarakat dalam berbelanja sebelum dan selama pandemi Covid-19.
Kebiasaan berbelanja secara daring meningkatkan secara signifikan. Pada jumlah transaksi belanja ritel secara daring naik hingga enam kali lipat, dari 4,7 persen menjadi 28,9 persen selama masa pandemi.
Sementara berbelanja secara luring turun drastis dari 52,3 persen menjadi 28,9 persen. Meskipun pada kenyataannya masyarakat tetap merindukan berbelanja secara luring seperti sebelum adanya Covid-19.