Kebijakan pemerintah untuk melegalkan cantrang dinilai akan menyulut konflik baru antarnelayan. Pengoperasian alat tangkap jenis pukat hela (trawl) dan cantrang memicu konflik dan berpotensi merusak sumber daya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah melegalkan kembali sejumlah alat penangkapan ikan yang dilarang, termasuk cantrang, menuai pro dan kontra. Pemerintah dinilai melakukan langkah mundur yang memicu penggunaan cantrang menjadi tak terkendali, bahkan bisa menjadi konflik horizontal antarnelayan.
Pemerintah segera menerbitkan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang usaha penangkapan ikan untuk mendorong investasi. Dalam revisi itu, beberapa alat tangkap ikan yang sebelumnya dilarang akan diizinkan untuk digunakan lagi. Alat tangkap yang diperbolehkan itu berupa pukat hela dasar (trawl) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets). Ada juga pancing berjoran, pancing cumi mekanis, huhate mekanis, pukat cincin pelagis kecil, dan pukat cincin pelagis besar dengan dua kapal.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia Cirebon Budi Laksana mengemukakan, maraknya penggunaan kapal cantrang di masa lalu telah terbukti mengakibatkan konflik dengan nelayan tradisional di sejumlah daerah, serta menimbulkan korban. Penggunaan cantrang yang tidak terkendali menyebabkan hasil tangkapan nelayan tradisional merosot.
Cantrang yang tergolong alat tangkap pukat tarik (seine nets) memiliki banyak varian dan penyebutan di daerah, seperti arad, garok, dan dogol. Kapal cantrang dan sejenisnya banyak memasuki wilayah tangkap nelayan kecil dan tradisional. Pemerintah sepatutnya becermin dari konflik antarnelayan akibat penggunaan alat tangkap yang merusak itu, seperti di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan Jawa.
Budi mencontohkan arad yang mengeruk beragam jenis ikan juga digunakan oleh nelayan kapal kecil dengan jangkauan tangkapan yang terbatas. Akibatnya, terjadi benturan dengan nelayan tradisional. Sementara itu, jaring garok menggaruk rajungan kecil dan jenis tripang sehingga merugikan nelayan bubu (rajungan). Di Indramayu kerap terjadi pengusiran nelayan garok oleh nelayan bubu.
Langkah mundur
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, pemerintah melakukan langkah mundur dengan melonggarkan sejumlah kebijakan untuk kepentingan investasi. Setelah izin ekspor benih lobster dan legalisasi cantrang, kini peluang mulai terbuka untuk kapal ikan buatan asing.
Pelonggaran sejumlah kebijakan berlangsung di tengah keterbatasan kapasitas pemerintah dalam pengelolaan perikanan dan pengawasan. Pembukaan izin cantrang akan memicu pemakaian alat itu semakin masif dan konflik horizontal. Kemiskinan di wilayah pesisir sulit dihilangkan di tengah sumber daya yang melimpah.
”Pemerintah melonggarkan kebijakan hanya untuk mengejar penerimaan negara. Laut kini dijadikan sebagai sumber ekonomi dengan cara eksploitatif dan pemakaian alat-alat tangkap ikan yang merusak,” katanya.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Riza Damanik mengemukakan, jenis alat tangkap pukat hela (trawl) atau yang cara pengoperasiannya sama dengan trawl harus dilarang beroperasi di seluruh perairan Indonesia, sebagaimana amanat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. ”Penggunaan trawl dan jenis alat tangkap merusak lainnya. Harus dipastikan tidak lagi beroperasi di seluruh perairan Indonesia,” katanya.
Riza menyoroti tiga persoalan utama kelautan dan perikanan Indonesia dalam kurun 20 tahun terakhir, yakni pencurian ikan yang marak, kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang parah, serta ketimpangan ekonomi pelaku usaha perikanan yang teramat lebar.
Mayoritas pelaku usaha perikanan tangkap merupakan nelayan kecil dan tradisional. Namun, kebijakan yang digulirkan belum melindungi dan memajukan potensi besar nelayan skala kecil dan tradisional untuk naik kelas. Diperlukan transformasi model pengelolaan perikanan yang sebelumnya eksploitatif dan hanya fokus pada komoditas menuju arah perikanan berkelanjutan dengan fokus pada kesejahteraan pelaku.
”Laut dan nelayan adalah kisah kebesaran bangsa. Negara wajib memastikan kedaulatannya terjaga,” kata Riza.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Trian Yunanda menjelaskan, cantrang selama ini tetap bisa beroperasi dengan berbekal surat keterangan melaut (SKM) meskipun pemerintah belum mencabut aturan larangan cantrang. Dengan legalisasi, izin penggunaan cantrang bisa dikontrol serta tidak terus bertambah melalui SKM.
”Ini perlu sama-sama dipahami. Ada kesulitan di kami untuk pengaturan (cantrang). Upaya legalisasi (cantrang) tidak lepas dari rencana pengaturan dan pengendalian,” katanya dalam forum konsultasi publik, yang diselenggarakan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP, Selasa.
Trian menambahkan, penggunaan cantrang nantinya wajib disesuaikan dengan standar nasional Indonesia (SNI), serta memenuhi standar ramah lingkungan. Dengan pengaturan kuota dan pengawasan, penggunaan cantrang diharapkan bisa dikendalikan.
”Terkait pengawasan, jangan undermine (melemahkan) kemampuan kita. Kapal-kapal ikan di atas 30 GT sudah pakai alat pemantauan, termasuk cantrang wajib mengaktifkan transmiternya. Kita bisa monitor semuanya dan awasi semuanya,” katanya. (LKT)