Investasi hijau menjaga keberlanjutan. Di masa mendatang, semakin banyak pendanaan yang mensyaratkan praktik ramah lingkungan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi hijau terbukti dapat memperkuat ketahanan pangan di dalam negeri. Perlindungan terhadap daya dukung lingkungan, yang menjadi salah satu fokus utama investasi hijau, membuat produksi pada investasi ini menjadi berkelanjutan. Namun, dibutuhkan penguatan rantai pasok pada jenis investasi ini.
Hal itu mengemuka dalam webinar bertajuk ”Investasi Hijau pada Model Bisnis Komoditas Berkelanjutan: Ketahanan Rantai Pasok pada Era Sebelum dan Pascapandemi”, Rabu (10/6/2020), yang diselenggarakan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau. Sebagai narasumber adalah Ketua Yayasan Inisiatif Dagang Hijau Fitrian Ardiansyah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto, Direktur Yayasan Setara Jambi Rukaiyah Rafiq, dan analis investasi pada Tropical Landscape Facility, Bangkit Oetomo.
”Investasi ini memastikan usaha perlindungan daya dukung lingkungan, seperti hutan dan lahan gambut. Maka, masyarakat yang terlibat di dalamnya, seperti petani dan nelayan, memiliki daya tahan pangan yang baik selama masa pandemi Covid-19,” kata Fitrian.
Sejumlah kelompok tani atau mitra tani yang didampingi Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, kata Fitrian, menerima permintaan produk pertanian atau peternakan yang lebih tinggi selama masa pandemi Covid-19. Produk tersebut, misalnya, madu hutan atau udang budidaya. Permintaan madu hutan yang dikembangkan petani di Desa Padang Tikar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, meningkat dari 100 kilogram per bulan sebelum pandemi menjadi 500 kilogram per bulan selama pandemi.
Rukaiyah menambahkan, tak cukup bisnis model investasi hijau, petani yang tergabung dalam organisasi atau kelompok tani relatif memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan petani yang tidak terorganisasi. Pasalnya, usaha-usaha pemulihan lingkungan akan lebih mudah dikerjakan bersama-sama secara terorganisasi. Selain itu, jejaring organisasi memperluas pasar bagi petani tersebut.
”Jadi, selama pandemi, petani yang tergabung dalam organisasi dan menerapkan praktik perlindungan terhadap daya dukung lingkungan relatif memiliki ketahanan pangan lebih baik ketimbang petani mandiri,” ujar Rukaiyah.
Sementara itu, Purwadi menggarisbawahi model bisnis investasi hijau tetap harus mempertahankan diversifikasi usaha. Ia mencontohkan, industri yang mengandalkan kayu sebagai komoditas utamanya selama pandemi mengalami penurunan permintaan. Padahal, produk hutan tidak hanya kayu.
”Selama pandemi Covid-19, permintaan kayu menurun 20 persen. Padahal, penjualan kayu hanya 5 persen dari pemanfaatan kawasan hutan. Sisanya, 95 persen, belum dimanfaatkan, seperti getah, daun, ataupun jasa lingkungan untuk wisata,” kata Purwanto.
Pendanaan
Adapun dari sisi pendanaan, menurut Bangkit, investasi hijau akan kian menjadi primadona model bisnis di masa mendatang. Apalagi, lembaga keuangan atau pembiayaan banyak yang mensyaratkan praktik-praktik ramah lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan sebagai syarat pengucuran kredit.
Sebelumnya, akademisi mengingatkan gangguan produktivitas pertanian di Indonesia merosot selama pandemi Covid-19 akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Stok pangan, khususnya beras, mulai menipis dalam beberapa bulan terakhir. Titik kritis stok pangan dimulai pada periode November 2020 sampai dengan Januari 2021.
Demikian prediksi situasi ekonomi dan pangan di Indonesia yang dikeluarkan IPB University, Sabtu (6/6/2020). Prediksi tersebut berdasarkan hasil kajian tim IPB University dalam webinar bertajuk ”The 13th IPB Strategic Talk” yang diselenggarakan Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis IPB University. Kajian itu ditanggapi dua pembahas, yakni Prof Hermanto Siregar dan Prof Bustanul Arifin.
Tim peneliti menyampaikan empat skenario kajian ekonomi dan pangan, yaitu skenario berat; sangat berat; sangat berat dengan dampak pesimistis dari pemberian stimulus ekonomi; dan sangat berat dengan dampak optimistis dari pemberian stimulus ekonomi. Hasil simulasi mengungkapkan ada guncangan dari sisi penawaran dan permintaan yang mencakup sektor pertanian, manufaktur dan jasa, stimulus jaring pengaman sosial, risiko iklim ekstrem, dan fenomena ruralisasi (perpindahan penduduk dari kota ke desa).
Lebih jauh, hasil simulasi menunjukkan ada potensi penurunan ekonomi yang cukup berat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Kebijakan memprioritaskan logistik bahan pangan sangat mendesak. Selain itu, jaminan ketersediaan input pertanian, seperti pupuk, obat-obatan, dan sarana pertanian, sangat diperlukan.