Bukit Asam membagikan dividen sebesar 90 persen dari perolehan laba bersih tahun 2019 atau sebesar Rp 3,65 triliun. Perusahaan optimistis pembagian sebanyak itu tak mengganggu kas perusahaan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Bukit Asam Tbk membagikan dividen Rp 3,6 triliun atau setara 90 persen dari raihan laba bersih sepanjang 2019. Kendati pembagian dividen sangat mayoritas dari perolehan laba bersih, perusahaan menjamin bahwa kinerja kas perusahaan tidak terganggu. Bukit Asam juga memastikan belum ada perubahan proyeksi perusahaan di 2020 terkait pandemi Covid-19.
Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin mengatakan, besaran pembagian dividen tersebut sepenuhnya wewenang pemegang saham. Pembagian dividen sebesar Rp 3,6 triliun tidak berpengaruh terhadap kas perusahaan yang saat ini tersedia sebanyak Rp 8 triliun. Pembagian dividen sebesar itu tidak akan mengubah proyeksi belanja modal perusahaan pada 2020 sebesar Rp 4 triliun.
”Tentu (besaran pembagian dividen) ini kebutuhan pemegang saham. Dengan kinerja yang cukup baik, pembagian dividen sebesar itu tidak memengaruhi kas perusahaan,” ujar Arviyan dalam telekonferensi pers seusai rapat umum pemegang saham (RUPS), Rabu (10/6/2020).
Pembagian dividen sebesar itu tidak akan mengubah proyeksi belanja modal perusahaan di 2020 sebanyak Rp 4 triliun.
Dalam RUPS tersebut, Hadis Surya Palapa diangkat sebagai Direktur Operasi dan Produksi menggantikan Suryo Eko Hadianto. RUPS juga memutuskan mengangkat E Piterdono HZ, Carlo Brix Tewu, dan Irwandy Arif sebagai komisaris. Mereka menggantikan Robert Heri, Taufik Madjid, Soenggoel Pardamean Sitorus.
Untuk jabatan komisaris independen, RUPS memutuskan mengangkat Andi Pahril Pawi untuk menggantikan Heru Setyobudi Suprayogo. Adapun Irwandy Arif saat ini juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.
Arviyan juga menegaskan, Bukit Asam tetap melanjutkan hilirisasi batubara dalam proyek gasifikasi. Proyek ini adalah mengubah batubara menjadi gas dan produk petrokimia di Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Proyek ini ditargetkan mulai berproduksi pada 2025 dengan konsumsi batubara sebanyak 6 juta ton per tahun.
”Kami sudah memiliki partner dan penyedia teknologinya, yaitu Air Products dari Amerika Serikat. Proyek ini akan menghasilkan metanol dan dimetil eter sebagai bahan baku elpiji,” katanya.
Selain Bukit Asam, perusahaan lain yang bakal mengembangan proyek gasifikasi adalah Grup Bakrie yang juga bekerja sama dengan Air Products. Kedua pihak bersepakat mengerjakan proyek gasifikasi batubara menjadi menjadi metanol dengan kemampuan produksi 2 juta ton per tahun. Proyek yang dijadwalkan beroperasi pada 2024 ini bakal menyerap 5.000 tenaga kerja baru.
Selain Bukit Asam, perusahaan lain yang bakal mengembangkan proyek gasifikasi adalah Grup Bakrie yang juga bekerja sama dengan Air Products.
Penandatanganan kerja sama tersebut dilakukan pada pekan lalu secara virtual yang melibatkan Air Products, PT Bakrie Capital Indonesia (BCI), dan PT Itacha Resources. Dalam kesepakatan tersebut, lokasi yang dipilih untuk pembangunan proyek gasifikasi ada di Batuta Industrial Chemical Park di Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nilai proyek tersebut 2 miliar dollar AS atau setara Rp 29,6 triliun.
Direktur Utama PT Bakrie & Brothers Tbk Anindya Bakrie mengemukakan, dalam kesekapatan itu, Bakrie & Brothers memasok kebutuhan batubara sebanyak 6 juta ton per tahun untuk menghasilkan metanol 2 juta ton per tahun. Batubara yang digunakan untuk proyek gasifikasi adalah batubara dengan kadar rendah, yaitu 3.600 kilokalori per kilogram sampai 4.200 kilokalori per kilogram.
”Berdasarkan komitmen, kami yang akan menyerap dan memasarkan produk metanol yang dihasilkan tersebut. Dengan volume 2 juta ton, itu sudah mampu mengurangi impor metanol senilai 250 juta dollar AS per tahun,” ujar Anindya dalam wawancara secara daring, Senin (18/5/2020).