Lesunya perekonomian di tengah pandemi berkepanjangan membuat pasar tenaga kerja lesu. Perebutan lapangan kerja makin sengit seiring kemunculan angkatan kerja baru dan meningkatnya angka pengangguran.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Deretan calon penumpang KRL untuk masuk Stasiun Bogor, Kota Bogor, tujuan Jakarta, Senin (8/6/2020). Sejumlah pekerja dari wilayah Bogor Raya mulai harus berangkat ke Jakarta karena sejumlah perkantoran dan kegiatan perekonomian mulai buka pada masa pembatasan sosial berskala besar transisi di DKI Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi perekonomian yang belum pulih di tengah pandemi yang berkepanjangan membuat pasar tenaga kerja lesu. Sementara itu, persaingan mencari kerja semakin ketat dengan kemunculan angkatan kerja baru dan meningkatnya angka pengangguran.
Strategi pemulihan ekonomi nasional ke depan harus memprioritaskan penciptaan lapangan kerja yang bisa menekan pengangguran. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal di Jakarta, Senin (8/6/2020), berpendapat, ada ketidakseimbangan yang tajam antara komposisi permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja saat ini. Jumlah angkatan kerja yang tersedia jauh lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja.
Pandemi Covid-19 membuat kondisi finansial sebagian besar perusahaan terpukul. Sementara itu, terjadi peningkatan angka pengangguran yang signifikan selama triwulan I dan triwulan II tahun 2020, terutama dari pekerja yang kehilangan sumber nafkah akibat dampak ekonomi Covid-19.
Pada saat yang sama, angkatan kerja baru muncul, yakni mereka yang menuntaskan pendidikannya tahun ini. ”(Situasi) ini menjadi poin krusial dalam menyusun strategi pemulihan ekonomi nasional. Pemetaan sektor strategis dan prioritas harus mengarah pada penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Ini sangat erat kaitannya dengan jenis investasi seperti apa yang mau kita izinkan dalam proses pemulihan,” katanya.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2020 bertambah 1,73 juta orang menjadi 137,91 juta orang. Penambahan angkatan kerja itu tidak diiringi dengan tingkat penyerapan yang sama tingginya. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada Februari 2020 justru menurun dibandingkan dengan tahun 2019.
Pada tahun 2019, TPAK sebesar 69,32 persen. Sementara tahun 2020, angka TPAK turun menjadi 69,17 persen. Penyerapan tenaga kerja tumbuh 1,29 persen secara tahunan, tetapi melambat dibandingkan dengan pertumbuhan 1,8 persen pada Februari 2019. Situasi ini masih gambaran kondisi pada fase awal pandemi dan diperkirakan memburuk pada triwulan II-2020.
Sementara itu, pengangguran bertambah. Kondisi terbaru, berdasarkan data terbaru Kementerian Ketenagakerjaan, per 27 Mei 2020 ada 380.221 pekerja formal yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 1.058.284 pekerja formal yang dirumahkan. Di luar itu, ada 318.959 pekerja sektor informal yang kehilangan sumber nafkah akibat Covid-19.
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, selama Januari-Mei 2020, 161.042 pekerja migran pulang ke Indonesia karena kontrak kerjanya berakhir. Di luar itu, ada 34.179 calon pekerja migran yang gagal diberangkatkan serta 465 pemagang yang dipulangkan. Secara total, ada 1.953.105 orang yang tercatat kehilangan nafkah dan terancam menganggur.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Petugas Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam memeriksa kelengkapan dokumen para pekerja migran Indonesia di Pelabuhan Internasional Batam Centre, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (21/5/2020).
Faisal mengatakan, meskipun ekonomi mulai dibuka di fase normal baru ini, perusahaan tetap membutuhkan waktu lama untuk memulihkan kembali kondisi finansialnya. Pelaku usaha pun akan memilih beroperasi dengan setengah kekuatan karyawan. Dengan kata lain, perusahaan tidak akan memilih merekrut orang baru dan mempertahankan pekerja yang dimiliki saat ini.
Berdasarkan analisis mahadata ketenagakerjaan yang dilakukan BPS pada Mei 2020, terjadi penurunan jumlah iklan lowongan kerja, yang mulai melambat pada Maret 2020 dan menurun drastis pada April 2020. Situasi ini mengindikasikan dampak Covid-19 yang signifikan pada penyerapan tenaga kerja.
”Dalam kondisi seperti ini, yang akan lebih diuntungkan adalah para lulusan baru karena umumnya bisa dibayar dengan gaji relatif lebih rendah. Perusahaan akan memilih menekan perekrutan dan memberdayakan segelintir pekerja yang sudah ada,” katanya.
Di sisi lain, ini menjadi kabar buruk bagi jutaan pekerja korban PHK dan dirumahkan selama pandemi. Mereka menjadi kelompok yang paling sulit kembali direkrut. Meski Kementerian Ketenagakerjaan sudah mengimbau pelaku usaha untuk mempekerjakan mereka kembali, perusahaan pun tidak bisa menjanjikan itu karena keterbatasan kondisi finansial.
”Sejujurnya, banyak pelaku usaha yang meragukan apakah ke depan, dengan normal baru ini, omzet dan produksi bisa kembali lagi seperti awal atau tidak,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi.
Kartu Prakerja
Pemerintah mengandalkan program Kartu Prakerja untuk membantu mengatasi persoalan ketenagakerjaan. Namun, menurut Faisal, program itu terlalu fokus pada sisi permintaan tenaga kerja, tanpa jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan. ”Pendekatan tidak bisa hanya satu sisi. Kalau hanya mengandalkan Kartu Prakerja, akan memakan waktu sangat lama,” katanya.
Survei terhadap penerima manfaat Kartu Prakerja yang diadakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 19 Mei-1 Juni 2020 menunjukkan, 80,8 persen penerima manfaat Kartu Prakerja berstatus pengangguran saat melamar sebagai peserta program tersebut. Sebagian besar kehilangan sumber nafkahnya akibat dampak ekonomi Covid-19.
Ekonom TNP2K, Elan Satriawan, mengatakan, survei itu tidak bisa mengukur keberhasilan program Kartu Prakerja. Indikator keberhasilan paling realistis yang bisa dicapai dari program senilai Rp 20 triliun itu adalah peningkatan dan perluasan keterampilan pekerja yang diharapkan bisa meningkatkan kesempatan penyerapan tenaga kerja.
”Memang menjadi tantangan kalau kita mencoba mengukur dampak efektivitas program Kartu Prakerja dengan ukuran penyerapan tenaga kerja. Karena itu sangat tergantung pada situasi ekonomi kita,” katanya.
Salah satu aspek yang perlu dibenahi oleh pemerintah adalah memastikan penyediaan kelas pelatihan dalam program Kartu Prakerja benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja saat ini.
Direktur Kemitraan dan Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Panji W Ruky mengatakan, pihaknya tengah berdiskusi dengan sejumlah organisasi dagang dan pelaku usaha untuk memetakan sektor dan jenis pekerjaan apa yang dibutuhkan begitu ekonomi memulih. ”Kami lakukan pemetaan supaya ke depan kita bisa sesuaikan program dengan skill seperti apa yang dibutuhkan dunia kerja,” ujarnya.