Rasio Utang Naik Jadi 37 Persen, Pemerintah Cari Sumber Pembiayaan Murah
Tahun ini, pemerintah akan mengingatkan rasio utang terhadap produk domestik bruto menjadi sekitar 37 persen. Kemampuan membayar utang dijaga dengan mencari sumber pembiayaan murah dan meningkatkan pendapatan negara.
Oleh
Karina isna irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rasio utang terhadap produk domestik bruto diperkirakan meningkat menjadi sekitar 37 persen tahun ini. Untuk menjamin kemampuan membayar utang, pemerintah akan mencari sumber pembiayaan paling murah dengan dibarengi upaya meningkatkan pendapatan negara pada masa depan.
Kebutuhan utang untuk membiayai defisit anggaran meningkat Rp 213,9 triliun menjadi Rp 1.220,3 triliun. Utang akan dipenuhi dengan menarik pinjaman luar negeri dan penerbitan surat berharga negara (SBN) konvensional dan non-konvensional. Peningkatan pembiayaan utang ini akibat pelebaran defisit APBN 2020.
Defisit APBN 2020 diperkirakan kembali melebar seiring meningkatnya kebutuhan anggaran. Dalam Undang-Undang (UU) APBN, defisit ditetapkan Rp 307,2 triliun, lalu dikoreksi menjadi Rp 852,9 triliun melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020. Defisit diperlebar lagi menjadi Rp 1.039,2 triliun melalui revisi Perpres No 54/2020.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman, yang dihubungi Senin (8/5/2020), mengatakan, saat ini Indonesia menghadapi kondisi tidak normal sehingga perlu respons kebijakan yang luar biasa. Respons yang dilakukan salah satunya meningkatkan rasio utang.
”Selama ini rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto terjaga kisaran 30 persen. Namun, tahun ini, rasio utang diperkirakan meningkat ke kisaran 36-37 persen produk domestik bruto (PDB),” kata Luky.
Selama ini rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto terjaga kisaran 30 persen. Namun, tahun ini, rasio utang diperkirakan meningkat ke kisaran 36-37 persen PDB.
Mengutip data Kemenkeu, total utang pemerintah per April 2020 sebesar Rp 5.172,48 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 31,78 persen. UU No 7/ 2003 tentang Keuangan Negara mengatur batasan maksimal utang pemerintah adalah 60 persen dari PDB.
Utang pemerintah diproyeksikan meningkat menjadi Rp 5.718,20 triliun-Rp 5.877,04 triliun pada akhir 2020 berdasarkan PDB atas harga berlaku pada 2019 sebesar 15.833,9 triliun.
Luky mengatakan, tambahan utang melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman luar negeri dibutuhkan untuk mendanai penanganan Covid-19 dan program Pemulihan Ekonomi Nasional. Penambahan utang tetap dilakukan secara hati-hati dan oportunistik agar tidak membebani fiskal masa depan.
Oleh karena itu, risiko kemampuan membayar utang dikenalikan dengan mencari sumber pembiayaan semurah mungkin. Kemenkeu juga melakukan pembagian beban (burden sharing) bersama Bank Indonesia (BI) untuk menyerap penerbitan SBN pemerintah di pasar perdana.
”Nantinya, BI dapat menyerap SBN pemerintah tanpa mekanisme pasar sehingga bunga utang lebih ringan. Sumber pembiayaan utang akan dicari paling murah sehingga risiko tetap terjaga,” katanya.
Penambahan utang, lanjut Luky, juga dibarengi upaya meningkatkan pendapatan negara. Pada 2021, Kemenkeu memperkirakan angka rasio perpajakan dalam kisaran 8,25-8,63 persen PDB. Sumber-sumber baru penerimaan pajak juga digali dan dioptimalkan, salah satunya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk dan jasa digital.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menekankan, pemerintah harus menyusun strategi agar bunga dari penerbitan SBN tidak terlalu tinggi. Tujuannya agar tambahan penerbitan SBN tidak membebani APBN masa depan. Dalam kondisi serba sulit seperti saat ini, beban pembiayaan utang perlu dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia.
Dalam rapat konsultasi bersama DPR, pemerintah berkomitmen mengurangi pembiayaan utang secara bertahap dalam tiga tahun mendatang. Proyeksi defisit APBN akan menurun dari 6,34 persen PDB pada 2020 menjadi 4,7 persen tahun 2021, 3,4 persen pada 2022, dan di bawah 3 persen pada 2023.
Cadangan devisa
Penarikan utang luar negeri pemerintah dan penempatan valuta asing di BI turut memengaruhi peningkatan cadangan devisa. Cadangan devisa pada akhir Mei 2020 sebesar 130,5 miliar dollar AS, atau meningkat dari posisi akhir April 2020, yakni 127,9 miliar dollar AS.
Cadangan devisa pada akhir Mei 2020 sebesar 130,5 miliar dollar AS, atau meningkat dari posisi akhir April 2020, yakni 127,9 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menuturkan, cadangan devisa pada Mei 2020 setera dengan pembiayaan 8,3 bulan impor atau 8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa Mei 2020 juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
”BI menilai cadangan devisa itu mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” ujar Onny dalam keterangan tertulisnya.