Hampir semua orang mengeluhkan krisis di tengah pandemi. Satu per satu perusahaan bertumbangan dan meninggalkan sejumlah masalah. Perusahaan yang bertahan pun tak sedikit dibayangi kesuraman.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Hampir semua orang mengeluhkan krisis di tengah pandemi. Satu per satu perusahaan bertumbangan dan meninggalkan sejumlah masalah. Perusahaan yang bertahan pun tak sedikit dibayangi kesuraman.
Namun, banyak perusahaan yang tetap optimistis, bahkan berekspansi di tengah masalah yang mengimpit. Optimisme ini muncul dari sejumlah eksekutif yang diundang Kompas melalui acara KompasTalk yang ditayangkan di kanal Youtube @hariankompas. Acara ini diadakan dua kali.
Pertama pada 19 Mei 2020 bersama Chairman dan CEO Crown Group Iwan Sunito. Kedua, pada 4 Juni 2020, menghadirkan Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat, General Manager Marketing Communication and Operations PT Grand Indonesia Kantoro Permadi, dan pembelanja Emmy Kuswandari.
Iwan mendirikan Crown Group setahun menjelang krisis ekonomi tahun 1997. Ia menceritakan pengalaman terkena krisis pada masa itu dan juga akibat krisis keuangan Eropa 2008. Ia menyarankan pebisnis agar mencari peluang di tengah krisis. Bahkan, ia mengatakan, pebisnis harus menjemput krisis.
”Setiap krisis bukan membuat mundur, melainkan membuat kita jauh lebih maju dan kuat,” ujarnya. Ia mengaku tak pernah mencari peluang di tengah tren pasar karena pasti banyak yang ikut. Akibatnya, banyak perusahaan yang latah sehingga mengalami kerugian. Ketika pemain berkumpul di satu tren, pasar akan jenuh dan tak sedikit perusahaan yang tumbang.
Oleh karena itu, di tengah pandemi, perusahaan properti yang berbasis di Sydney, Australia, itu malah memasuki pasar Amerika Serikat. Beberapa bulan lalu, mereka mengumumkan pembangunan proyek properti berupa kondominium dan hotel senilai 500 juta dollar AS di Los Angeles. Proyek ini diharapkan selesai pada 2025.
Krisis jadi momentum untuk menajamkan visi dan bertumbuh hingga menggapai tujuan. Hidup kita selalu ada tujuan. Fokus, bukan soal bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak mau.
Menurut Iwan, perusahaannya juga terkena dampak krisis akibat pandemi Covid-19. Namun, karena pengalaman krisis sebelumnya, ia dan timnya selalu berpikir positif terhadap berbagai krisis. Krisis malah menghadirkan pilihan untuk maju.
Krisis jadi momentum untuk menajamkan visi dan bertumbuh hingga menggapai tujuan. ”Hidup kita selalu ada tujuan. Fokus, bukan soal bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak mau,” ujarnya. Menurut Iwan, pandemi malah menjadi momentum bagi pelaku usaha untuk beradaptasi dan melakukan akselerasi bisnis. Banyak peluang yang muncul di tengah masalah.
Oleh karena itu, ia menyarankan pengusaha agar menjemput peluang tersebut.
Kalangan perusahaan properti, khususnya pusat perbelanjaan yang sangat terdampak karena pandemi ini, mau tidak mau harus beradaptasi. Apalagi dalam waktu dekat mereka akan kembali membuka usaha dengan sejumlah pembatasan dan protokol kesehatan.
Adaptasi
Ellen Hidayat mengatakan, banyak perubahan besar di pusat perbelanjaan ketika bisnis mal dibuka. Masyarakat pun diajak untuk melakukan adaptasi dalam berbelanja. Pusat perbelanjaan tak hanya mematuhi protokol yang dianjurkan pemerintah, tetapi juga menambah protokol agar pengelola mal dan juga konsumen aman.
”Manajemen setiap pengelola pusat perbelanjaan punya kewajiban moral untuk mencegah penularan Covid-19. Untuk itu, setiap mal punya tim pengendali Covid-19 untuk mencegah dan menangani andaikata penularan terjadi di mal,” kata Ellen. Protokol standar, seperti pembatasan fisik, penggunaan masker, pemeriksaan suhu tubuh, dan disinfeksi, secara rutin sudah pasti dilakukan, tetapi tidak cukup hanya itu.
Mereka akan menambah protokol, mulai dari pengaturan antrean yang lebih ketat, aliran langkah konsumen agar tidak bisa saling bertemu, pengurangan kontak atau sentuh dengan benda, hingga penggunaan sinar ultraviolet untuk membunuh mikroba. Toilet juga akan diatur agar tidak menjadi tempat penularan. Demikian pula aturan pengepasan pakaian yang makin ketat dan pembatasan serta pengamanan terhadap para pengunjung restoran.
Kantoro Permadi berpendapat, perilaku berbelanja daring yang kini makin banyak digunakan masyarakat tidak bisa dikesampingkan oleh para pengelola mal dan juga mereka yang berbisnis di dalamnya. Dulu mal benar-benar beroperasi secara luar jaringan (luring/offline). Sekarang, perbedaan keduanya sangat tipis, bahkan tak ada lagi, sehingga harus saling mendukung.
Emmi yang menjadi pembelanja mengaku masih cemas terhadap situasi saat ini. Namun, perubahan dari pengelola mal menjadikan ia tak sabar untuk kembali berbelanja. Adaptasi dan perubahan dilakukan bukan hanya oleh pebisnis, melainkan juga konsumen agar semua bisa melalui krisis kali ini dan semua selamat dan aman.