Layanan Digital Pangan Masih Terpusat di Pulau Jawa
Teknologi digital diharapkan mengatasi problem distribusi pangan dari produsen ke konsumen. Namun, ada ketimpangan terkait akses dan penguasaannya. Layanan digital masih terpusat di Jawa dan Sumatera.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan teknologi digital dalam distribusi pangan dari petani sebagai produsen ke masyarakat masih berorientasi di Pulau Jawa. Padahal, penyerapan hasil produksi pertanian yang berujung pada pendapatan dan kesejahteraan petani juga dibutuhkan di wilayah luar Pulau Jawa.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai tukar petani (NTP) pada Mei 2020 secara nasional turun 0,85 persen menjadi 99,47. Di luar Pulau Jawa, penurunan salah satu indikator kesejahteraan itu lebih dari 2,1 persen. NTP di Jambi, misalnya, turun 3,53 persen, Riau (turun 3,38 persen), Bengkulu (turun 2,95 persen), dan Sulawesi Barat (turun 2,29 persen).
Titik impas NTP berada di posisi 100. Di Pulau Jawa terdapat 2 dari 6 provinsi dengan NTP pada Mei 2020 berada di bawah titik impas, yakni Jawa Timur dan Jakarta. Di Pulau Sumatera, contohnya, terdapat 7 dari 10 provinsi dengan NTP di bawah 100. Artinya, indeks harga yang diterima petani lebih kecil dibandingkan dengan harga yang dibayarkan oleh petani.
Pertanian menjadi salah satu sektor yang terdampak pandemi Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar mendisrupsi rantai distribusi sehingga menekan permintaan di tingkat petani dan nelayan. Akibatnya, harga sejumlah komoditas pertanian anjlok. Dalam situasi itu, perkembangan teknologi diharapkan menjadi jembatan.
Akan tetapi, ada ketimpangan soal akses internet dan literasi teknologi informasi. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Polling Indonesia tahun lalu menunjukkan sekitar 64,8 persen atau 171,17 juta orang di Indonesia menggunakan internet. Namun, sebarannya didominasi di Jawa dan Sumatera.
Kontribusi Jawa mencapai 55 persen dari total pengguna internet, sementara Sumatera mencapai 21 persen. Selebihnya, Kalimantan (9 persen), Sulawesi, Maluku, dan Papua (10 persen), serta Bali dan Nusa Tenggara (5 persen).
Dari sisi distribusi dengan pendekatan teknologi digital, Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) Soekam Parwadi menyebutkan, pihaknya memanfaatkan aplikasi dan laman carisayur.com untuk menghubungkan petani dengan konsumen. ”Rata-rata pertumbuhan jumlah pemesan mencapai 10-20 persen per hari,” ujarnya.
Layanan ini dapat dinikmati oleh konsumen yang berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Surabaya. Dari sisi pemasok, Soekam menyebutkan, Paskomnas bekerja sama dengan kelompok petani yang berada di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sementara itu, CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto mengatakan ada penurunan permintaan dari pasar antarbisnis (B2B), sedangkan permintaan yang berorientasi langsung ke konsumen (B2C) skala rumah tangga meningkat signifikan. Sejak Maret 2020, penurunan permintaan B2B ke hotel, restoran, dan kafe menurun 50 persen.
Oleh sebab itu, Kedai Sayur meluncurkan aplikasi Kedaisayur-Sayur dan Lauk Pauk Online. Masyarakat juga dapat membeli produk pangan segar melalui akun resmi Kedai Sayur di Tokopedia dan Blibli.com.
Dalam operasionalnya, Kedai Sayur juga memiliki dua pusat distribusi yang berada di Jakarta Timur dan Tangerang, Banten. Pusat distribusi itu berisi pasokan produk pangan segar dari 30 lebih vendor yang terdiri dari petani, pasar induk, dan pasar lokal.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri menilai pendekatan pengusaha di bidang pertanian yang berbasis teknologi menjadi salah satu solusi distribusi dan lemahnya akses pasar petani. Apalagi, pengusaha pertanian tersebut, khususnya usaha rintisan atau start-up, memiliki data dan pemetaan terkait titik produksi dan pasar tujuan.
Boga menambahkan, teknologi informasi serta pemetaan suplai dan permintaan dapat menyelesaikan permasalahan sistem distribusi. ”Sejauh ini, langkah pengusaha dan start-up (dalam menjalankan distribusi pangan dengan pendekatan teknologi digital) sangat efektif,” ujarnya.
Meskipun demikian, Boga berpendapat, skala jangkauan strategi distribusi tersebut masih tergolong kecil di tingkat nasional. Oleh sebab itu, pemerintah ingin mendorong agar skala intervensi usaha rintisan dan pengusaha pangan dan pertanian berbasis teknologi digital dapat meluas.