Penerima Manfaat Program Keluarga Harapan Meningkat Tahun Depan
Penambahan angka kemiskinan selama pandemi Covid-19 berimplikasi pada penambahan bantuan sosial yang dialokasikan pemerintah tahun depan.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan diprediksi meningkat pada 2021. Hal ini disebabkan naiknya angka kemiskinan selama pandemi Covid-19.
Demikian disampaikan Menteri Sosial Juliari P Batubara dalam rapat koordinasi virtual Program Keluarga Harapan (PKH), Rabu (3/6/2020). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia per September 2019 ialah 9,22 persen atau setara 24,79 juta penduduk. Angka ini menurun dibandingkan dengan September 2018, yakni 9,66 persen.
Angka kemiskinan Indonesia kini naik 4 persen menjadi 13,22 persen karena pandemi Covid-19. Angka itu sejalan dengan kenaikan jumah keluarga miskin. ”Tidak mustahil jika tahun depan akan ada peningkatan penerima manfaat PKH. Kalau ini terjadi, kita harus siap bertugas,” kata Juliari.
Ia meminta seluruh jajarannya untuk bersinergi supaya penyampaian bantuan ke penerima manfaat berjalan baik. Ia juga berpesan untuk menyederhanakan birokrasi di lapangan.
PKH termasuk sebagai salah satu jaring pengaman sosial dalam penanganan Covid-19. Selain PKH, Kartu Sembako termasuk dalam jaring sosial pemerintah. Bantuan sosial itu kini disalurkan per bulan sejak April 2020. Sebelumnya, bantuan sosial diberikan per tiga bulan kepada penerima manfaat (Kompas.id, 6/4/2020).
Jangkauan PKH untuk penanganan Covid-19 diperluas menjadi 10 juta keluarga penerima manfaat dan nilainya ditambah 25 persen. Sebelumnya, PKH menjangkau 9,2 juta keluarga. Adapun anggaran PKH sebanyak Rp 37,4 triliun.
Bantuan disalurkan melalui anggota Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
Juliardi mengakui adanya bantuan sosial yang belum tepat sasaran. Ia meminta seluruh jajarannya segera mengalihkan bantuan ke keluarga yang benar-benar membutuhkan. ”PKH harus diperoleh oleh keluarga yang layak menerimanya. Segera diatur agar bisa dialihkan ke keluarga yang membutuhkan,” katanya.
Menurut survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada Mei 2020, program pengaman sosial belum sepenuhnya tepat sasaran. Bantuan sosial yang diberikan pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan warga selama sebulan.
Survei menyatakan, sebanyak 49 persen responden menilai bansos tidak tepat sasaran. Ada 37 responden yang menilai kebijakan pemerintah tepat sasaran dan 13 persen lainnya menyatakan tidak tahu. Survei ini dilakukan terhadap 1.235 responden pada 5-6 Mei 2020.
Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas menyayangkan hal ini karena pemerintah telah mengalokasikan dana Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial. Dana itu dibagi untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19, seperti melalui PKH, bantuan langsung tunai (BLT), dan bantuan sembako.
”Dengan besarnya dana yang dikeluarkan, seharusnya pemerintah lebih serius dan fokus untuk menjangkau masyarakat yang membutuhkan karena mereka masuk dalam kategori kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan,” kata Abbas (Kompas.id, 13/5/2020).
Saat dihubungi secara terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan, penyaluran bansos yang tidak tepat disebabkan data pemerintah tidak diperbarui dan tidak diverifikasi. Ada sejumlah solusi alternatif untuk mendata penduduk yang layak menerima bansos di saat darurat dan mendadak seperti ini. Pemerintah dapat berkoordinasi dengan sejumlah perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan. Data karyawan-karyawan yang terkena PHK dapat dijadikan acuan pemberian bansos.
”Solusi alternatif lain adalah menggunakan data yang dihimpun RT/RW. Sebaiknya jangan menunggu pemerintah berhasil mendata semuanya. Jangan sampai penduduk yang terdampak pandemi tidak menerima bantuan,” kata Abdillah.