Elisa Anggraeni, Mengangkat Kelas Roti Goreng
Tak seperti roti goreng yang biasa dia temui di pasar, Elisa mengangkat ”kelas” roti goreng menjadi produk yang bisa diolah kapan saja dengan rasa ”kres-kres” dari tepung panir yang menyelimuti.
Produk sederhana bisa terlihat luar biasa jika diperlakukan dan ditawarkan dengan cara istimewa. Hal inilah yang dilakukan Elisa Anggraeni (37) terhadap roti goreng atau tigor produksinya. Labelnya Tigor d’Liz.
Roti goreng adalah makanan ringan, camilan, yang sudah diproduksi massal oleh banyak pelaku usaha. Produk makanan ini bahkan bisa ditemui dengan mudah di mana saja, mulai dari pedagang kaki lima di pasar hingga toko roti atau bakeri.
Menyadari kondisi itu dan demi menghargai jerih payahnya sendiri membuat roti, Elisa memutuskan untuk memperbarui gaya berdagang. Harapannya, tigor bisa dihargai dan dipercaya sebagai makanan yang istimewa.
”Saya berusaha tidak menawarkan roti sebagai produk remeh-temeh. Agar mengesankan, saya harus menawarkan tigor dengan gaya menawarkan rumah atau barang berkelas lain,” ujar warga Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini.
Gaya menawarkan sesuatu yang berkelas ini sudah dipelajarinya secara otodidak selama lima tahun bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah usaha event organizer.
Elisa mulai memproduksi dan menjual Tigor d’Liz pada pertengahan 2017. Menolak cara yang biasa dipakai rata-rata pedagang yang sering menyorongkan barang untuk dibeli, dia memilih untuk memakai cara yang lebih santun dengan memulai mengajak calon pelanggan berbincang dan memberinya kesempatan untuk mencicipi. Hal ini banyak dilakukannya terutama saat mencoba menawarkan tigor ke kafe ataupun rumah makan.
Tidak sekadar berbicara soal produk tigor miliknya, Elisa mengatakan, perbincangan juga bisa berbuntut panjang karena dia kerap menanyakan perihal menu makanan lain yang telah tersedia. Sering kali dia pun mencoba berpromosi dengan ikut memikirkan paduan tigor dengan menu lain yang sudah ada.
Tidak hanya sekadar berpikir menjual, Elisa pun mau sibuk untuk ikut memikirkan cara bagaimana tigor bisa menarik konsumen di kafe tersebut. ”Pernah ada manajer kafe yang bingung untuk menjual karena tigor belum ada dalam daftar menu. Maka, saya pun menawarkan ide agar tigor ditulis di atas papan kecil dan ditawarkan sebagai menu spesial hari itu,” ujarnya.
Tidak hanya ke kafe, Elisa pun menawarkan tigor ke balai ekonomi desa (balkondes) yang ada di kawasan Borobudur. Balkondes adalah unit usaha bentukan Kementerian BUMN yang didirikan dengan tujuan menggerakkan perekonomian masyarakat Borobudur.
Baca juga : Menang dengan Bakcang
Khusus di balkondes, Elisa berupaya menarik minat mereka dengan mencoba memadupadankan tigor dengan produk hasil bumi unggulan di desa tersebut. ”Di satu desa saya pernah diberi tahu bahwa produk unggulan di sana adalah nanas. Maka, saya berpromosi, lain waktu saya akan membawakan tigor dengan isian nanas. Kalau tertarik, saya menawarkan untuk memberi mereka pelatihan gratis membuat roti nanas,” ujarnya.
Kegigihan Elisa yang mau sibuk memikirkan segala detail menyangkut penjualan dan ketekunannnya berpromosi berbuah manis. Setiap hari, dia bisa menjual 40-60 kemasan tigor dan pada saat musim libur Lebaran, libur sekolah, ataupun liburan akhir tahun, volume penjualan pun bisa melonjak mencapai 100 kemasan per hari. ”Saking banyaknya permintaan, selama dua tahun ini saya nyaris tidak bisa merasakan libur Lebaran,” ujarnya.
Setiap hari, Elisa memproduksi tigor bersama tiga karyawan. Untuk distribusi, kini ada lebih dari 10 reseller yang membantu memasarkan Tigor d\'Liz ke kafe-kafe, homestay, kedai, hingga kantin di seputar kawasan Borobudur di Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Yogyakarta, dan Jakarta. Sebagian pengunjung yang datang untuk berwisata di kawasan Borobudur juga ada yang membawa Tigor d’Liz hingga ke luar Jawa.
Tigor d’Liz diproduksi dalam dua bentuk, besar dan mini. Tigor besar dijual dalam tujuh varian rasa. Satu bungkus tigor besar yang berisi 10 tigor dijual dengan harga Rp 20.000-Rp 22.000 per kemasan. Adapun tigor mini ditawarkan dalam delapan varian rasa. Satu bungkus tigor mini, berisi 10 potong tigor, dijual dengan harga Rp 13.000-Rp 15.000.
Untuk anak
Elisa memulai usaha membuat tigor semata-mata dilatarbelakangi keinginan untuk memberikan jajanan sehat bagi anak-anaknya. Salah seorang anaknya ketika itu sangat gemar makan roti dan terbiasa membeli roti kemasan hingga empat bungkus per hari. Khawatir akan kandungan bahan-bahan dalam roti yang biasa dikonsumsi, juga demi alasan penghematan, dia akhirnya berinisiatif membuat roti sendiri.
Pilihan jatuh pada roti goreng karena jenis jajanan itu bisa diproduksi sebagai frozen food atau makanan beku yang bisa disimpan hingga berhari-hari dan cukup digoreng atau dikukus saat akan dikonsumsi.
Sekalipun tidak memiliki latar belakang pengalaman atau keahlian membuat kue, Elisa tetap bereskperimen. Berbekal pendidikan terakhirnya di jurusan teknologi hasil pertanian di SMKN 1 Temanggung, dia memutuskan untuk tidak memakai bahan pengawet. Untuk menciptakan produk makanan yang sehat dan berkualitas premium, dia memakai tepung berprotein tinggi.
Uji coba membuat tigor ini dilakukannya selama tiga bulan. Ketika itu, dia tidak membuat takaran terigu atau telur. ”Semua bahan saya campur dengan takaran yang diukur sesuai perasaan saja,” ujarnya sembari tertawa.
Baca juga : Menjaga Rotan nan Anggun
Ketika itu, Elisa memulai usaha hanya bermodal Rp 250.000 yang dia pakai untuk membeli bahan baku seperti telur, terigu, susu, dan cokelat. Belum memiliki mixer, dia pun hanya mencampur bahan dan mengaduk adonan secara manual dengan tangan.
Tigor hasil eksperimen itu disajikannya sebagai camilan untuk keluarga dan setiap tamu yang datang ke rumah. Di luar itu, Elisa rajin membawa, memberikan tigor produksinya sebagai contoh produk ke kafe-kafe, rumah makan, dan di sejumlah obyek wisata di kawasan Borobudur. Semua tigor tersebut dibagikan gratis.
Tidak berkutat di seputar Borobudur, Elisa pun berupaya membagikan produknya ke lain kecamatan dan luar kota. ”Ketika itu, pergi ke mana pun, saya selalu membawa tigor yang saya bawa dalam boks pendingin,” ujarnya.
Untuk kebutuhan memproduksi tigor yang kemudian dibagikannya gratis itu, dia menghabiskan uang lebih dari Rp 1 juta. Selama masa uji coba itu, beberapa produknya gagal dan tidak layak jual. Produk gagal tersebut masih sesekali ada saat dia mulai menjual tigor. Namun, dengan kreativitasnya, tigor pun diolah menjadi jajanan lain yang bisa dinikmati keluarga.
Tiga bulan setelah uji coba, Elisa mulai siap membuka usaha tigor untuk dijual. Selama satu bulan pertama, semua aktivitas produksi dilakukannya sendiri. Namun, karena kerepotan, dia merekrut seorang karyawan dan akhirnya bertambah hingga tiga karyawan.
Tidak hanya menambah tenaga, seiring waktu, dia melengkapi fasilitas pendukung seperti membeli mixer besar serta lemari pendingin besar untuk menyimpan tigor siap jual.
Dengan semua usaha yang dilakukannya, Elisa kini mengubah citra tigor tidak sebagai roti yang biasa ditemui di pasar dengan warna coklat tua atau bekas minyak di wadahnya. Dia mengangkat tigor sebagai roti yang bisa digoreng kapan saja dengan jaminan rasa kres-kres pada tepung panir yang menyelimutinya.