Menempa Masa Depan Usaha di Tengah Pandemi yang Panjang
Industri berbagai sektor di Jawa Barat terpuruk akibat pandemi Covid-19. Namun, masih ada yang bertahan dengan sejumlah inovasi. Adaptasi bisnis dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat pandemi.
Industri berbagai sektor di Jawa Barat terpuruk akibat pandemi Covid-19. Namun, masih ada yang bertahan dengan sejumlah inovasi. Adaptasi bisnis dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat pandemi.
Salah satu sektor yang paling terpuruk adalah pariwisata. Hingga Jumat (29/5/2020), kawasan wisata di Jabar, seperti Lembang, Kabupaten Bandung Barat, sepi karena masih dalam pembatasan sosial berskala besar untuk mencegah penularan Covid-19.
Heni Smith (50), pemilik tiga destinasi wisata di Lembang, yaitu The Lodge Maribaya, Fairy Garden, dan Mulberry Hill, mengatakan, pandemi Covid-19 membuat dirinya terpaksa menutup sementara usahanya hingga waktu yang belum ditentukan.
”Kalau digabung dengan pekerja lepas, setidaknya ada 500 orang yang menggantungkan hidupnya di The Lodge Maribaya ikut terdampak. Meskipun tempat wisata tidak dapat dibuka, tidak mungkin saya serta-merta merumahkan semuanya,” ujar Heni.
Untuk mempertahankan usahanya, Heni merambah bisnis kuliner yang menjadi hobinya. Bermodal resep dari keluarga suaminya asal Inggris, pada akhir April ia membuat kue tar apel yang diberi nama ”Tart for Hope”.
Lewat bisnis baru ini, Heni tetap dapat mempekerjakan 10 karyawannya untuk membuat 50 loyang kue setiap hari. Selain tar apel, ia juga menjual nasi kecombrang dan nasi cikur.
Sejumlah karyawan lain dipekerjakan di sektor pemasaran, pengiriman, dan penjualan. Heni berharap usaha baru itu dapat mempertahankan The Lodge Maribaya beserta destinasi wisata lain miliknya.
”Totalnya sekitar 30 pegawai yang masuk dalam tim ini. Sementara karyawan lainnya sebagian besar di bagian maintenance (perawatan) dan keamanan di setiap lokasi wisata. Jadi, tidak ada yang dirumahkan,” tuturnya.
Heni berencana memberikan 30 persen dari hasil penjualan kue tar apel untuk pegiat pariwisata yang bekerja sama dengannya, seperti pemandu wisata dan agen perjalanan. Sebanyak 1.000 kue ditargetkan dijual hingga hari raya Idul Fitri tahun ini dengan dana yang terkumpul mencapai Rp 20 juta.
”Keuntungan dari penjualan biasanya 30 persen. Jadi, semua keuntungan dari Tart for Hope itu akan disumbangkan ke pegiat pariwisata yang terdampak. Paling tidak sampai Desember ini kami akan tetap produksi,” tutur Heni.
Keuntungan dari penjualan biasanya 30 persen. Jadi, semua keuntungan dari Tart for Hope itu akan disumbangkan ke pegiat pariwisata yang terdampak. Paling tidak sampai Desember ini kami akan tetap produksi.
Herly Setiawan (50), pengurus Kompepar (kelompok penggerak pariwisata) Kota Bandung, menyambut baik bantuan dari Heni. Dia mengatakan, sejak pandemi Covid-19 melanda, para pemandu wisata tidak mendapat penghasilan apa pun karena tidak ada wisatawan yang berkunjung.
Herly berujar, kondisi tersebut menyebabkan sebagian pemandu wisata berpindah ke usaha lain agar tetap bisa menghidupi keluarga. ”Hampir semuanya membuka usaha kuliner dan berjualan daring biar dapur tetap ngebul. Kalau mau menunggu pariwisata pulih lagi, kami harus menunggu sampai kapan?” ujarnya.
Akan tetapi, tidak semua pemandu wisata bisa beradaptasi dengan teknologi informasi. Menurut Herly, sebagian besar pemandu wisata telah berumur di atas 50 tahun dan sulit membuka usaha baru.
”Karena itu, kami mengapresiasi upaya The Lodge untuk memberikan bantuan. Kami sudah mendata sekitar 50 pegiat wisata dan diutamakan yang sudah berusia lanjut,” ujarnya.
Sejumlah hotel di Bandung juga memaksimalkan dapurnya untuk menggarap bisnis kuliner. Swiss-Belresort Dago Heritage Bandung, misalnya, menawarkan sejumlah paket makanan, di antaranya nasi goreng, pasta, salad, dan piza.
”Banyak orang enggak mau keluar rumah karena Covid-19. Jadi, kami menawarkan paket makanan yang bisa diantar ke rumah dalam radius 2 kilometer dari hotel,” ujar Manajer Humas Swiss-Belresort Dago Heritage Bandung Atika Nurliawati.
Pandemi ini juga menghantam sektor pertanian. Pasokan petani ke pasar induk berkurang 30-50 persen. Padahal, sayur di kebun tetap tumbuh dan harus dipanen.
Petani hortikultura asal Purwakarta, Jabar, Ananda Dwi Septian (25), bersama dengan 35 petani lain memasarkan sayur dengan sistem pengantaran langsung. Usaha ini berjalan sejak 25 Maret lalu.
Sebanyak 50-100 pak kemasan sayur terjual setiap hari. Paket sayur siap masak, seperti sayur asem, lodeh, sop, dan capcai, dijual dengan harga Rp 5.000-Rp 10.000 per paket.
Menurut Ananda, pendistribusian langsung lebih menguntungkan dibandingkan dijual ke pasar. Sistem ini diharapkan dapat tetap berlangsung meski pandemi telah berakhir.
Hal serupa dilakukan Dasep Badrusalam (33) di Kabupaten Garut. Ia membantu petani memasarkan produk sayuran segar dengan nama Garut Fresh. Selama pandemi, kedai teh miliknya, Mooi Tea House, disulap menjadi penampungan sayuran.
Pembeli dapat memesan sayur lewat telepon atau Whatsapp. Kemudian produk petani diantar ke rumah konsumen tanpa biaya tambahan. Usaha ini sudah berjalan 1,5 bulan. Kini, ia juga memasarkan aneka buah khas Garut. Omzetnya Rp 2 juta-Rp 3 juta per hari.
Pembeli dapat memesan sayur lewat telepon atau Whatsapp. Kemudian produk petani diantar ke rumah konsumen tanpa biaya tambahan.
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Jabar Deddy Wijaya mengatakan, pandemi Covid-19 menjadi pembelajaran bagi pelaku usaha, pengelola industri, dan perusahaan untuk mengevaluasi diri. Ia mencontohkan, tertutupnya keran impor dari sejumlah negara berdampak terhadap pemenuhan bahan baku industri dalam negeri.
Momentum ini diharapkan menjadi peluang bagi industri untuk melepas ketergantungan impor. Pemerintah diharapkan kian menggali potensi dalam negeri lebih luas dan memudahkan regulasi bagi pengusaha.
Daya tahan yang kuat jelas sangat dibutuhkan para pengusaha besar atau kecil. Pandemi ini bisa jadi panjang dan berulang. Semoga setiap tantangan yang datang jadi tempaan keras menghadapi masa depan.