Pemerintah Evaluasi Kelanjutan Program Kartu Prakerja
Pemerintah menunda pendaftaran gelombang keempat dan mengevaluasi kelanjutan program Kartu Prakerja. Sejumlah lembaga melayangkan kritik dan rekomendasi atas pelaksanaan program tersebut.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah berjalan tiga gelombang dalam 1,5 bulan terakhir, pemerintah mengevaluasi kelanjutan program Kartu Prakerja. Kritik dan rekomendasi yang dilayangkan sejumlah lembaga pengawas sedang dipertimbangkan. Pendaftaran gelombang keempat pun untuk sementara dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan.
Sejauh ini sudah ada 680.000 peserta Kartu Prakerja dari kuota 5,6 juta orang sampai akhir 2020. Sebanyak 530.000 orang sudah membeli kelas pelatihan daring dan 350.000 peserta telah menuntaskan pelatihannya. Awalnya, karena kendala teknis, pendaftaran Kartu Prakerja gelombang keempat sempat ditunda selama dua pekan.
Pemerintah sedianya kembali membuka pendaftaran gelombang keempat pada Selasa (26/5/2020). Namun, gelombang keempat terpaksa kembali ditunda. Kali ini karena pemerintah sedang mengevaluasi program dengan anggaran Rp 20 triliun itu.
Direktur Kemitraan dan Komunikasi Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Panji W Ruky, Rabu (27/5/2020), mengatakan, pendaftaran gelombang keempat belum akan dibuka dalam waktu dekat ini. Komite Kartu Prakerja yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian masih mengevaluasi pelaksanaan gelombang pertama sampai ketiga.
Sejumlah lembaga pengawas pemerintah, antara lain Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), serta Ombudsman RI, juga memberi sejumlah masukan agar program tersebut dievaluasi.
Kritik dan peringatan yang dilayangkan tiap lembaga berbeda-beda. KPPU, misalnya, menyoroti adanya indikasi persaingan usaha yang tidak sehat antara perusahaan platform dan lembaga pelatihan serta potensi munculnya kemitraan palsu melalui skema kerja sama pemerintah dan perusahaan swasta.
Sementara Ombudsman RI berkali-kali mengkritik tidak relevannya kelas-kelas pelatihan daring di tengah kebutuhan masyarakat akan bantuan langsung tunai saat pandemi. ”Kami mempertimbangkan masukan-masukan dari lembaga pengawas pemerintah itu, jadi belum bisa dibuka untuk sementara ini,” kata Panji.
Panji menambahkan, ada banyak hal yang sedang dievaluasi saat ini, mulai dari verifikasi data, kelompok prioritas, masalah pendaftaran, penyelesaian backlog atau pekerjaan teknis yang menumpuk, anggaran program, penggunaan pelatihan daring, hingga pembayaran insentif. ”Ada banyak aspek. Meski rencananya dibuka pekan ini, kami tetap masih harus melakukan evaluasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari awalnya mengatakan, pendaftaran gelombang keempat akan dibuka sehari setelah hari raya Idul Fitri. Denni menjelaskan, salah satu alasan pendaftaran belum dibuka karena menunggu pekerja terdampak Covid-19 yang didata oleh kementerian/lembaga mendaftarkan diri.
Pasalnya, meski sudah berjalan tiga gelombang, dari 1,72 juta pekerja yang terdampak yang didata oleh Kementerian Ketenagakerjaan, baru 98.000 orang yang mendaftarkan diri. Tak semua dari mereka lolos seleksi dan menjadi peserta Kartu Prakerja. Sementara dalam sebulan terakhir, total peserta yang mendaftarkan diri dalam program Kartu Prakerja mencapai 9 juta orang.
”Kami sekaligus menunggu pendaftaran dari masyarakat yang sudah didata. Mereka akan diprioritaskan untuk masuk di gelombang keempat,” katanya.
Rekomendasi
Komisioner KPPU, Guntur Saragih, mengatakan, rekomendasi terhadap pelaksanaan Kartu Prakerja sudah diberikan kepada pemerintah. Ia berharap pemerintah bisa mengevaluasi kembali program yang sudah berjalan selama 1,5 bulan itu secara matang.
Kajian KPPU menunjukkan adanya dugaan diskriminasi dalam proses kemitraan antara perusahaan platform dan lembaga pelatihan yang memunculkan potensi persaingan tidak sehat. ”Kami mengapresiasi jika rekomendasi itu bisa segera ditindaklanjuti,” katanya.
Kemitraan palsu yang dimaksud KPPU berkaitan dengan praktik integrasi vertikal yang dilarang dalam persaingan usaha. Beberapa lembaga platform digital seperti Ruangguru, Pintaria, dan Sekolahmu memiliki usaha inti di bidang pelatihan sehingga mereka bertindak sebagai platform penyedia ”pasar” digital, tetapi sekaligus menjadi penyelenggara kelas pelatihan daring itu sendiri dan mendapat keuntungan.
Integrasi vertikal terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal itu berbunyi, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang/jasa tertentu.
Secara sederhana, praktik itu menunjukkan sejumlah perusahaan yang menguasai rantai produksi dari hulu ke hilir sehingga menutup peluang yang sama untuk pelaku usaha lain terlibat. ”Dalam konteks itu, seharusnya lembaga platform ditujukan untuk menyediakan medium pelatihan sebagai marketplace, bukan sebagai penyelenggara pelatihan itu sendiri,” katanya.
Menurut Guntur, kemitraan antara platform digital dan lembaga pelatihan seharusnya dilakukan dengan prinsip persaingan usaha yang bebas dan terbuka.
”Harus ada pertanggungjawaban dari pelaku usaha untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dalam bermitra. Jangan sampai ada kemitraan palsu, seolah-olah (platform) bermitra (dengan lembaga pelatihan), tetapi sebenarnya bermitra dengan dirinya sendiri. Sebab, ini program yang melibatkan anggaran negara yang besar,” kata Guntur.