Normal Baru, Buah Simalakama bagi Perekonomian Nasional
Tekanan pada kinerja industri, terutama manufaktur, tak hanya bergantung pada pelaksanaan PSBB, tetapi juga pengendalian pandemi Covid-19 serta permintaan pasar nasional dan global.
Demi menyikapi tatanan hidup baru versi pemerintah, keputusan menteri kesehatan yang berkaitan dengan pencegahan dan pengendalian Covid-19 di tempat kerja terbit. Sayangnya, konsep normal baru beserta aturan turunannya berpotensi menjadi buah simalakama bagi perekonomian nasional jika tidak ada bukti pengendalian pandemi Covid-19 yang bisa dipercaya oleh masyarakat dalam negeri ataupun pelaku ekonomi internasional.
Baru-baru ini, muncul Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi. KMK itu dikeluarkan untuk menyiapkan dunia usaha dan dunia kerja menyambut transisi kehidupan normal baru.
Dalam regulasi itu, pelaku usaha dan industri diminta menyiapkan protokol kesehatan baru yang lebih ketat untuk tetap beroperasi di tengah pandemi. Misalnya, mewajibkan pekerja untuk menggunakan masker, membersihkan area kerja dengan cairan disinfektan selama empat jam sekali, serta meminta pekerja yang baru kembali dari perjalanan dinas dari daerah atau negara yang terjangkit Covid-19 untuk mengarantina diri secara mandiri.
Perusahaan juga diminta menyediakan fasilitas cuci tangan, membentuk tim penanganan Covid-19, serta menyediakan transportasi khusus bagi pekerja untuk pulang-pergi ke kantor dari tempat tinggal.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menyatakan, pelaku usaha dan industri mau bekerja sama dengan pemerintah untuk memastikan protokol tersebut dipatuhi oleh perusahaan dan karyawan. Tujuannya, agar tempat kerja tak menjadi pusat penyebaran pandemi.
”Saat ini kami tengah mempersiapkan task force (gugus tugas), SOP (prosedur standar operasi), dan protokol kesehatan di setiap sektor karena pola kerjanya masing-masing berbeda,” ucapnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/5/2020).
Saat ini kami tengah mempersiapkan task force (gugus tugas), SOP (prosedur standar operasi), dan protokol kesehatan di setiap sektor karena pola kerjanya masing-masing berbeda.
Menurut Shinta, langkah itu merupakan wujud kesiapan pelaku usaha dan industri untuk pemulihan aktivitas ekonomi pada tatanan kehidupan baru (normal baru). Akan tetapi, tekanan pada kinerja industri, terutama manufaktur, tak hanya bergantung pada pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tetapi juga pengendalian pandemi Covid-19 serta permintaan pasar nasional dan global.
Shinta menilai, tekanan pada permintaan pasar nasional dan global berkorelasi dengan tingkat kepercayaan dari dalam dan juga luar negeri untuk bertransaksi.
”Oleh sebab itu, pelaksanaan kebijakan untuk menyikapi tatanan kehidupan baru tanpa menciptakan peningkatan penularan Covid-19 berperan krusial agar tidak memunculkan sentimen negatif di tataran masyarakat ataupun komunitas internasional,” ujarnya.
Baca juga : Matangkan Penerapan Normal Baru
Becermin pada Amerika Serikat, ”Negeri Paman Sam” itu telah memperbarui panduan bagi pelaku bisnis dan usaha di tengah pandemi Covid-19 yang diterbitkan pada 6 Mei 2020. Panduan itu dibuat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), sebuah badan pada Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat AS.
CDC meminta setiap pelaku usaha memiliki perencanaan dalam penerapan protokol kesehatan di tempat kerja. Pelaku usaha diminta melakukan penilaian bahaya (hazard assessment) terhadap tempat kerjanya di tengah merebaknya pandemic Covid-19. Tujuan dari penilaian bahaya adalah untuk mengidentifikasi potensi risiko dan bahaya di tempat kerja serta mengidentifikasi langkah-langkah keselamatan yang tepat untuk mengurangi risiko dan bahaya tersebut.
CDC juga menyertakan tabel berisi standar teknis pengendalian yang layak diterapkan di tempat kerja. Tabel ini memuat hal-hal teknis yang berkaitan dengan fasilitas kerja dan perlengkapan, administrasi, dan penyediaan alat pelindung diri.
Panduan dari CDC tersebut turut menggolongkan tingkat risiko tenaga kerja terhadap penularan Covid-19 sebagai acuan bagi pelaku industri yang melangsungkan bisnisnya di tengah pandemi. Ada empat tingkat risiko, yakni sangat tinggi, tinggi, menengah, dan rendah.
Pekerja yang memiliki risiko sangat tinggi berada di sektor kesehatan dan laboratorium penelitian yang menangani pasien dan sel sampel Covid-19 secara langsung. Sementara itu, pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi merupakan bidang-bidang yang berkaitan dengan kesehatan dan laboratorium, misalnya sektor logistik, transportasi (pengemudi ambulans atau mobil jenazah), dan pengantaran.
Kriteria pekerjaan dengan risiko menengah terdiri dari aktivitas kerja yang sering melibatkan kontak langsung dan pertemuan dengan orang yang sering bepergian ke luar negeri ataupun pihak-pihak yang terjangkit Covid-19 tanpa gejala. Pekerja yang sering berada di tempat umum dan lingkungan kerja dengan kepadatan tinggi pun tergolong dalam tingkat risiko menengah.
Pekerjaan dengan risiko rendah dideskripsikan sebagai aktivitas yang tak membutuhkan pertemuan dengan orang banyak atau pihak-pihak tertentu yang berpotensi terinfeksi Covid-19. Tenaga kerja yang jarang berinteraksi dengan publik juga berada dalam tingkat risiko rendah.
Risiko tertular
Kendati protokol kesehatan normal baru diterapkan di tempat kerja, risiko pekerja tertular Covid-19 tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga dalam perjalanan menuju tempat kerja. Ada juga sejumlah sektor yang bakal sulit menerapkan normal baru, seperti pasar tradisional atau pasar rakyat.
Senin lalu, Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance Enny Sri Hartati mengemukakan, penerapan relaksasi PSBB dan membuka kembali perkantoran harus direncanakan dengan ekstra hati-hati. Pemerintah seharusnya tidak hanya memperhatikan pengetatan protokol kesehatan di perkantoran dan pabrik-pabrik, tetapi juga di ruang publik dan sektor lain seperti transportasi.
”Protokol kesehatan tidak cukup hanya di tempat kerja, justru titik krusialnya dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya,” katanya.
Protokol kesehatan tidak cukup hanya di tempat kerja, justru titik krusialnya dalam perjalanan dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya.
Menurut Enny, tidak semua perusahaan bisa menyediakan kendaraan untuk mengantar jemput pegawainya bekerja. Sementara mayoritas pekerja menggunakan transportasi publik untuk mencapai tempat kerja.
”Kalau mau merelaksasi PSBB, semua tempat harus mengikuti protokol Covid-19. Tidak hanya mal, ritel modern, tetapi juga pasar-pasar rakyat dan ruang publik lainnya,” ujarnya (Kompas, 26/5/2020).
Baca juga : Normal Baru Masih Prematur
Norma baru ritel
Di sektor ritel modern, dalam penerapan normal baru, para pengusaha ritel dan pedagang mengacu pada Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Covid-19 di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha.
Ada tiga subyek dalam surat edaran ini, yakni pengurus/pengelola tempat kerja sektor jasa dan perdagangan yang bersifat area publik, pekerja, serta konsumen atau pelanggan.
Dalam surat ini, pelaku usaha salah satunya diminta untuk mencegah kerumunan pelanggan dan menyediakan fasilitas cuci tangan. Di sisi lain, konsumen mesti menjaga jarak fisik sejauh 1 meter dan mengenakan masker.
Menanggapi surat edaran ini, Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menuturkan, pelaku ritel sudah menyiapkan rincian protokol teknis sesuai dengan sektor masing-masing. ”Ritel itu terdiri dari sektor makanan-minuman, hiburan seperti bioskop, hingga salon. Tiap sektor ritel ini memiliki SOP yang berbeda-beda pula,” ujarnya.
Untuk menerapkan pembatasan jarak fisik, lanjut Tutum, jumlah konsumen yang masuk ke ritel akan dikendalikan berdasarkan luas area toko dan jumlah karyawan yang bertugas. Dia memperkirakan, satu orang konsumen membutuhkan ruang seluas 4 meter persegi.
Untuk menerapkan pembatasan jarak fisik, jumlah konsumen yang masuk ke ritel akan dikendalikan berdasarkan luas area toko dan jumlah karyawan yang bertugas.
Selain itu, Tutum berpendapat, konsumen pun cenderung memiliki kesadaran untuk menerapkan protokol kesehatan secara mandiri, misalnya mengenakan masker ataupun membawa cairan pembersih tangan. Ini terutama konsumen dari segmen berstatus sosial-ekonomi (segmen socio-economic status/SES) A dan B.
”Konsumen di kelas ini pun tak akan ke pusat perbelanjaan kalau tidak mendesak,” lanjutnya.
SES A adalah konsumen dengan kisaran pendapatan berkisar Rp 7 juta-Rp 11 juta, SES B dengan kisaran pendapatan Rp 2,8 juta-Rp 4,25 juta, dan SES C dengan pendapatan Rp 1,4 juta-Rp 2,8 juta.
Baca juga : Gagap Tangani Pasar Rakyat Saat Pandemi Covid-19