Keterlambatan pemerintah mengintervensi lonjakan harga gula berpotensi merugikan petani tebu yang tengah memasuki musim giling tahun ini. Petani berharap mendapatkan harga jual gula yang layak.
Oleh
M Paschalia Judith J/Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga gula berangsur turun seiring intervensi pemerintah ke pasar. Secara nasional, harga rata-rata gula di pasar nasional cenderung turun dari Rp 18.400 per kilogram menjadi Rp 17.400 per kilogram dalam sebulan terakhir. Tren penurunan masih berlangsung hingga Jumat (22/5/2020) dan berpotensi menekan harga gula lokal.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin menyatakna, petani mengkhawatirkan tren penurunan harga gula di pasar. Sebab, awal Juni 2020 merupakan puncak musim giling tebu, sementara gula impor dan gula hasil realokasi dari gula rafinasi masih mengalir ke pasar.
”Seharusnya gula dari impor sudah mengisi pasar dan diserap masyarakat sebelum musim giling tebu agar harga gula di tingkat petani tidak anjlok sampai di bawah ongkos produksi,” ujarnya.
Berdasarkan perhitungan APTRI, rata-rata biaya pokok produksi gula tebu mencapai Rp 12.772 per kilogram (kg). Dengan asumsi margin 10 persen, harga jual di tingkat petani diharapkan setidaknya Rp 14.049 per kg.
Akan tetapi, harga gula di tingkat petani belum optimal meski musim giling belum mencapai puncak. Menurut Nur Khabsyin, berdasarkan informasi dari satu lokasi pabrik gula yang sudah mulai giling tebu di Jawa Tengah, petani memperoleh harga pada kisaran Rp 12.000-Rp 12.500 per kg. Padahal, pada puncak musim giling nanti, sekitar 40 pabrik gula di Pulau Jawa akan beroperasi.
Oleh karena itu, agar tidak kembali rugi, pemerintah diharapkan melindungi harga gula petani. Menurut dia, pemerintah bisa mewajibkan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin impor gula untuk menyerap tebu petani dengan harga yang layak. Bantuan sosial pangan dari pemerintah yang menyertakan gula pun wajib gula dari dari tebu.
Jaminan penyerapan gula lokal dengan harga layak merupakan intervensi yang diharapkan menyejahterakan petani tebu. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengamanatkan pemerintah untuk melindungi pendapatan dan daya beli petani.
Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga gula naik 31,8 persen menjadi Rp 18.400 per kg selama kurun 2 Januari 2020 hingga 21 April 2020. Harga berangsur turun sebulan terakhir seiring intervensi yang ditempuh pemerintah. Selain mengizinkan impor gula kristal putih (GKP), pemerintah merealokasi 250.000 ton gula rafinasi untuk diolah menjadi gula konsumsi.
Menurut Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, harga gula sudah relatif terkendali. Sebanyak 22.000 ton GKP yang diimpor dari India telah tiba pada 5 Mei 2020. Jumlah itu bagian dari 50.000 ton alokasi impor GKP yang diberikan ke Bulog.
Dugaan kartel
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya indikasi praktik kartel untuk membatasi suplai dan memainkan harga gula beberapa bulan terakhir. Menurut komisioner KPPU, Guntur Saragih, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/5/2020), ada indikasi harga gula dimainkan bersama oleh pelaku usaha, seperti pabrik gula besar dan perusahaan importir gula.
Ia menyoroti margin keuntungan yang cukup tinggi. Harga pokok produksinya terhitung rendah, yakni sekitar Rp 6.000 per kg di pabrik yang paling efisien. Berdasarkan kajian KPPU, pelaku usaha swasta yang memiliki kebun tebu sendiri dan pabrik yang efisien mampu memproduksi gula dengan harga pokok berkisar Rp 6.000-Rp 9.000 per kg. Demikian pula importir yang mengolah gula mentah menjadi gula konsumsi.
”Keuntungan mereka semakin signifikan dengan harga pasar yang sangat tinggi saat ini. Kalau dibandingkan dengan harga pasar saat ini yang mencapai Rp 17.500 per kg, marginnya bisa mencapai 190 persen,” kata Guntur.
Akan tetapi, kenyataannya harga gula tetap tinggi di pasaran dan terjadi merata di banyak daerah. Indikasi ini menunjukkan para pemburu rente gula tidak bergerak sendiri, tetapi bekerja sama untuk membatasi suplai, kompetisi, dan menetapkan harga demi mengeruk keuntungan besar lewat penetapan harga eksesif.
Indikasi ini menunjukkan para pemburu rente gula tidak bergerak sendiri, tetapi bekerja sama untuk membatasi suplai, kompetisi, dan menetapkan harga.
”Ini yang sedang didalami, apakah di balik kenaikan harga gula ada pricing bersama-sama dari pelaku usaha? Modusnya masih kami dalami, tetapi indikasinya kuat karena harga masih sama-sama di atas HET, sementara pelaku usaha sudah mendapat harga yang cukup baik dengan kebijakan saat ini,” kata Guntur.
Upaya yang dilakukan pemerintah, seperti pengamanan 300 ton gula yang disimpan oleh sebuah distributor di Malang, Jawa Timur, oleh Kementerian Perdagangan, dinilai belum menyasar permainan besar. Menurut anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, pemerintah seharusnya tidak berhenti pada para pemain kecil, tetapi juga pemain besar.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengakui berbagai upaya pemerintah untuk menambah pasokan gula dan menekan tingginya harga gula belum efektif karena ada ulah distributor-distributor nakal. ”Modus kejahatan ini menyebabkan rantai distribusi gula terlalu panjang sebelum gula sampai ke pengecer. Kami akan menyelidiki lebih lanjut temuan ini sebelum dibawa ke ranah hukum untuk diberi sanksi,” ujarnya.