Pemerintah Turunkan Harga 14 Kontrak Jual Beli Gas
Penurunan harga gas bumi untuk sektor industri tertentu mulai direalisasikan. Kebijakan ini sebagai bentuk pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menurunkan harga gas pada 14 kontrak jual beli gas yang dibeli sektor industri tertentu. Revisi harga tersebut merupakan tindak lanjut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Dalam ketentuan itu, harga gas bumi di titik serah pengguna dipatok 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Revisi perjanjian ke-14 kontrak jual beli gas itu ditandatangani empat kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selaku produsen gas dengan 11 pembeli gas bumi pada Rabu (20/5/2020). Penandatanganan secara virtual tersebut disaksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Kompas, Kamis (21/5/2020), Dwi menuturkan, volume gas penyesuaian harga terhadap 14 kontrak tersebut mencapai 330 miliar british thermal unit per hari (BBTUD). Volume tersebut baru 28 persen dari total volume gas yang bakal terdampak penurunan harga gas, yaitu 1.188 BBTUD.
”Penyesuaian harga gas tersebut akan mengurangi penerimaan negara, tetapi tidak mengurangi bagian kontraktor. Dengan tidak terganggunya bagian kontraktor, iklim investasi hulu migas Indonesia diharapkan terjaga dengan baik,” kata Dwi.
Dengan tidak terganggunya bagian kontraktor, iklim investasi hulu migas Indonesia diharapkan terjaga dengan baik.
Dari ke-14 kontrak jual beli gas tersebut, penjual gas terdiri dari PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi ONWJ, Minarak Brantas Gas Inc, dan Kangean Energy Indonesia Ltd. Adapun pembeli gas terdiri dari sektor industri pupuk, petrokimia, baja, dan trader. Mengacu pada aturan pemerintah, sektor industri yang berhak menikmati harga gas 6 dollar AS per MMBTU adalah sektor industri pupuk, petrokimia, baja, oleokimia, baja, keramik, dan sarung tangan karet.
PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN bersama PT Pertamina EP adalah para pihak yang termasuk harus merevisi harga jual beli gas. PGN membeli gas dari Pertamina EP untuk keperluan proyek jaringan transmisi gas Sumatera Selatan-Jawa Barat dan untuk pelanggan PGN yang ada di Medan, Sumatera Barat. Kedua pihak sepakat menurunkan harga jual beli dari 5,33 dollar AS per MMBTU menjadi 4 dollar AS per MMBTU.
”Kami berharap upaya ini dapat menjadi langkah nyata mewujudkan target pemerintah untuk mendorong kemajuan industri agar berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan memiliki dampak ganda,” ujar Direktur Utama PGN Suko Hartono.
Sebelumnya, kalangan industri mengeluhkan tingginya harga gas yang disebut menurunkan daya saing produk. Sebagai contoh, harga gas untuk industri keramik di Jawa bervariasi dari 8 dollar AS per MMBTU hingga 9 dollar AS per MMBTU. Penurunan harga gas lewat kebijakan yang ditetapkan pemerintah dilakukan dengan mengurangi bagian negara di hulu.
Pengurangan bagian negara dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap industri hulu dan hilir sekaligus.
Bagian negara di hulu untuk produksi gas sebesar 2 dollar AS per MMBTU. Dari skenario yang disusun pemerintah, jika bagian tersebut dihapuskan, penerimaan negara berkurang Rp 53,86 triliun. Namun, disebutkan ada manfaat Rp 85,84 triliun dari penambahan pajak pelaku industri, perorangan, ataupun bea masuk.
Staf pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, opsi pengurangan bagian negara di hulu adalah yang paling rasional. Hanya saja, penerapannya memerlukan penyesuaian kontrak dengan investor. Pengurangan bagian negara dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap industri hulu dan hilir sekaligus.
”Cara lain menekan harga gas adalah dengan mengefisienkan mata rantai pasok gas di dalam negeri. Pasokan gas di jalur distribusi dan transmisi perlu dievaluasi per kasus,” ujar Pri Agung.