Pembahasan RUU Cipta Kerja Dikebut
DPR tetap membahas RUU Cipta Kerja meskipun saat ini tengah reses. Motif DPR yang terkesan ”kejar setoran” dalam membahas RUU yang dibentuk dengan metode ”omnibus law” ini mengundang pertanyaan dan kecurigaan.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang semula akan dibahas saat memasuki sidang keempat pada pertengahan Juni 2020 ternyata tetap digelar di tengah masa reses, Rabu (20/5/2020). Rapat tersebut berpotensi cacat prosedur karena waktu reses tidak digunakan sesuai dengan ketentuan, di antaranya menyerap aspirasi warga yang akan terdampak RUU Cipta Kerja.
Rapat pembahasan RUU Cipta Kerja digelar secara virtual selama hampir lima jam. Pembahasan meliputi judul, konsiderans, serta Bab I tentang Ketentuan Umum.
Rapat yang dipimpin Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas itu dihadiri juga oleh sejumlah perwakilan dari pemerintah, antara lain Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM Benny Riyanto.
Rapat kerja atau persidangan DPR di masa reses berpotensi cacat prosedur. Sebab, Peraturan DPR tentang Tata Tertib telah membedakan dengan jelas masa sidang dan masa reses.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, rapat kerja atau persidangan DPR di masa reses berpotensi cacat prosedur. Sebab, Peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib) telah membedakan dengan jelas masa sidang dan masa reses.
”Momen masa reses ini seharusnya diisi anggota DPR dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, yakni dengan menyerap aspirasi terkait materi-materi di dalam RUU Cipta Kerja ke konstituen masing-masing. Hasil serap aspirasi terserbut sebagai bekal pembahasan di masa sidang,” ujar Bayu.
Sebagai catatan, masa reses DPR dimulai sejak 12 Mei 2020 dan akan berakhir pada 15 Juni 2020. Setelah itu, anggota DPR baru memasuki masa sidang keempat.
Bayu menilai, kendati di dalam tatib tetap dibuka kemungkinan mengadakan rapat dan dilakukan seizin oleh pimpinan DPR, rapat di tengah masa reses itu harus disertai dengan alasan yang kuat. Selain itu, rapat di tengah masa reses juga mensyaratkan adanya situasi tertentu yang mendesak untuk segera dilakukannya rapat oleh anggota DPR.
Baca juga: Pengusaha Ingin ”Omnibus Law” Fokus UMKM
Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law, menurut Bayu, saat ini tidak ada kemendesakan yang mengharuskan anggota DPR mengadakan rapat di tengah masa reses. Kebutuhan mendesak yang diatur di dalam tatib itu pun dinilai tidak terkait dengan pembahasan RUU, melainkan ketika adanya kejadian lain yang mengharuskan keterlibatan peran DPR.
”Saat ini tidak ada yang urgen dengan pembahasan RUU Cipta Kerja dibandingkan kebutuhan penanganan Covid-19 oleh pemerintah yang tengah menjadi sorotan publik. Maka, justru fungsi pengawasan DPR lebih urgen ke penanganan Covid-19,” tutur Bayu.
Saat ini tidak ada kemendesakan yang mengharuskan anggota DPR mengadakan rapat di tengah masa reses. Kebutuhan mendesak yang diatur di dalam tatib itu pun dinilai tidak terkait dengan pembahasan RUU, melainkan ketika adanya kejadian lain yang mengharuskan keterlibatan peran DPR.
Bukan prioritas
Rapat di saat reses, lanjut Bayu, layak dipertanyakan oleh publik. DPR dipandang gagal dalam memilih dan memilah agenda prioritas di masa bencana seperti ini. Agenda prioritas pengawasan penanganan Covid-19 justru tidak dioptimalkan dan malah memilih agenda lain yang sebenarnya tidak berdampak langsung bagi penanganan Covid-19.
Kendati DPR telah membentuk Tim Pengawas Penanganan Covid-19, hal itu belum cukup. Anggota DPR dapat memanfaatkan masa reses tersebut untuk bertemu konstituen sekaligus melihat penanganan wabah Covid-19 di daerah pemilihan masing-masing. Hal yang dapat dipantau pelaksanaannya utamanya yang terkait dengan rumah sakit rujukan, penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), penyaluran bantuan sosial (bansos), pemutusan hubungan kerja (PHK), dan banyak isu lainnya.
Bayu menyampaikan, sikap DPR yang masih memaksakan diri membahas RUU Cipta Kerja di tengah masa reses menimbulkan pertanyaan besar. ”Hal ini juga akan menimbulkan kesan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja dibuat seperti kejar setoran karena tekanan pihak-pihak tertentu dibandingkan memastikan substansinya sesuai aspirasi publik. Dan, jangan salahkan semakin memperkuat dugaan publik bahwa ada udang di balik batu dalam pembahasan RUU ini yang berbeda dengan arus besar keinginan publik,” ujarnya.
Dihubungi seusai rapat, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, rapat di masa reses tidak bertentangan dengan tata tertib DPR karena sudah seizin pimpinan DPR. ”Ini enggak bertentangan dengan tatib dan sudah izin kepada pimpinan DPR,” tuturnya.
Tatib terbaru DPR memberikan kemungkinan bagi DPR untuk bersidang atau mengadakan rapat di kala reses, yakni sebagaimana diatur di dalam Pasal 254 Ayat (7). Pasal itu berbunyi, ”Dalam hal jenis rapat DPR dilaksanakan secara virtual sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dan dilaksanakan pada masa reses, jenis rapat DPR dilaksanakan atas persetujuan Pimpinan DPR.”
Meskipun demikian, menurut Bayu, pemaknaan atas aturan itu semestinya tidak berlaku untuk pembahasan legislasi. Pada Pasal 152 Ayat (1) Tatib DPR disebutkan, pembahasan RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR. Artinya, pembahasan RUU hanya dapat dilakukan di saat masa sidang.
Baca juga: Surat Presiden tentang Omnibus Law Digugat ke PTUN
Pembahasan
Dalam rapat pembahasan RUU Cipta Kerja, hanya ada satu fraksi yang tidak mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM), yakni Fraksi Demokrat. Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang semula menyatakan tidak akan terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja terlihat ikut dalam pembahasan dan memasukkan DIM. Dengan demikian, ada delapan fraksi yang ikut dalam pembahasan RUU tersebut.
Sekretaris Fraksi PKS Ledia Hanifa mengatakan, fraksinya mengirimkan utusan panja agar bisa hadir dan tampil seutuhnya sebagai partai oposisi. Ada tiga perwakilan dari fraksi PKS yang ikut dalam rapat tersebut, yakni Bukhori Yusuf, Ledia Hanifa, dan Anis Byarwati.
”F-PKS akan mengawal pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan sunggguh-sungguh sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat,” ucapnya.
Ledia menjelaskan, fraksinya menilai Bab I dan II yang sedang dibahas dengan pemerintah di Panja RUU Cipta Kerja secara fakual akan sangat mewarnai arah atau bunyi pasal dari 13 bab berikutnya.
”Subtansi RUU Ciptaker usulan pemerintah ini akan mengubah aturan-aturan penting pada 79 UU lainnya,” ujar Ledia.
Subtansi RUU Ciptaker usulan pemerintah ini akan merubah aturan-aturan penting pada 79 UU lainnya.
Draf RUU Cipta Kerja setelah dicermati, menurut Ledia, tidak memberikan solusi penyederhanaan dan percepatan regulasi sebagaimana yang disebutkan pemerintah. RUU itu justru akan melahirkan banyak pembentukan peraturan turunan dalam implementasi kebijakan. Hal itu dinilai bertolak belakang dengan semangat penyederhanaan peraturan yang ingin dicapai pemerintah dengan RUU tersebut.
Sementara itu, di dalam rapat, panja dan pemerintah belum menyepakati masalah judul RUU. Ada dua fraksi yang tidak sepakat RUU itu dinamai RUU Cipta Kerja, yaitu Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Fraksi PKS. Fraksi PDI-P ingin mengubah judul RUU itu menjadi RUU tentang Penguatan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Koperasi, Industri Nasional, dan Cipta Kerja. Sementara PKS mengusulkan judul RUU tentang Penyediaan Lapangan Kerja.
Baca juga: Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja
Namun, Sesmenko Bidang Perekonomian Susiwijono bersikukuh dengan judul yang telah dibuat pemerintah. Judul RUU Cipta Kerja, menurut dia, merupakan pelaksanaan dari janji Presiden Joko Widodo saat kampanye terkait penyediaan dan perluasan lapangan kerja bagi masyarakat.
”Diperlukan berbagai upaya mulai dari perlindungan UMKM, penciptaan ekosistem investasi, memberi kemudahan berusaha, aspek ketenagakerjaan, hingga investasi proyek nasional. Masalah utamanya, penciptaan dan perluasan lapangan kerja. Kalau mengubah judul, maka mempersempit tujuan RUU itu,” kata Susiwijono.
Meski belum disepakati, pembahasan dilanjutkan ke konsiderans dan Bab I tentang Ketentuan Umum. Di bagian konsiderans, seluruh fraksi sepakat agar konsiderans khususnya bagian menimbang untuk disesuaikan dengan Pasal 27 Ayat 2 dan Pasal 28D UUD 1945.
Saat memasuki Bab I tentang Ketentuan Umum, panja dan pemerintah menyepakati bahwa pembahasan kluster ketenagakerjaan ditunda. ”Kita menindaklanjuti hasil rapat panja pertama, terkait kluster ketenagakerjaan di-pending dulu. Kita bahas terakhir,” kata Benny Riyanto.