Proyeksi Defisit APBN Bisa Mencapai Rp 1.028,5 Triliun
Kementerian Keuangan mengoreksi lagi proyeksi defisit APBN 2020 dari 5,07 persen menjadi 6,27 persen PDB. Pelebaran defisit disebabkan oleh penurunan pendapatan dan peningkatan belanja.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2020 diperkirakan sebesar Rp 1.028,5 triliun atau 6,27 persen produk domestik bruto. Pelebaran defisit disebabkan oleh penurunan pendapatan dan peningkatan belanja yang lebih tinggi.
Kementerian Keuangan untuk kedua kalinya mengoreksi proyeksi defisit APBN 2020. Proyeksi defisit awal April lalu diperlebar dari 1,76 persen produk domestik bruto (PDB) dalam UU APBN 2020 menjadi 5,07 persen PDB dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, defisit APBN 2020 diperkirakan lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam Perpres No 54/2020. Berdasarkan pemantauan kinerja APBN hingga April 2020, proyeksi defisit akan melebar dari Rp 852,9 triliun menjadi Rp 1.028,5 triliun. Pelebaran defisit disebabkan penurunan pendapatan dan peningkatan belanja yang lebih tinggi.
Pendapatan negara akan terkontraksi lebih dalam menjadi negatif 13,6 persen dari sebelumnya 10 persen. Proyeksi penerimaan perpajakan sampai akhir tahun sebesar Rp 1.404,5 triliun atau tumbuh negatif 9,2 persen, sementara penerimaan negara bukan pajak Rp 286,6 triliun atau tumbuh negatif 29,6 persen.
Adapun proyeksi belanja negara tahun 2020 meningkat menjadi Rp 2.720,1 triliun. Peningkatan belanja, antara lain, untuk tambahan kompensasi bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pertamina (Persero), serta tambahan stimulus fiskal berupa subsidi bunga bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), bantuan sosial tunai dan sembako, serta diskon tarif listrik.
”Postur APBN 2020 akan berubah dari yang disampaikan dalam Perpres No 54/2020. Pemerintah akan melakukan revisi Perpres dan menyampaikan ke Badan Anggaran serta Komisi XI DPR,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (18/5/2020).
Pelebaran defisit diperlukan untuk menangani dan mendorong ekonomi agar bisa bertahan menghadapi pandemi Covid-19.
Sri Mulyani mengatakan, pelebaran defisit diperlukan untuk menangani dan mendorong ekonomi agar bisa bertahan menghadapi pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah menganggarkan dana pemulihan ekonomi nasional senilai total Rp 641,17 triliun. Anggaran pemulihan ekonomi ini diharapkan dapat menekan dampak Covid-19 di triwulan II hingga IV-2020.
Selain itu, pemerintah juga mengubah indikator asumsi dasar ekonomi makro tahun 2020 secara keseluruhan. Asumsi pertumbuhan ekonomi dipatok 2,3 persen hingga minus 0,4 persen, inflasi 2-4 persen, nilai tukar Rp 14.900-Rp 15.500 per dollar AS, dan harga minyak mentah 30-35 dollar AS per barel.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, revisi proyeksi defisit APBN mempertimbangkan kondisi terkini. Perubahan proyeksi defisit dan postur APBN keseluruhan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional, baik di sisi konsumsi maupun bantuan untuk dunia usaha.
Ketentuan pelebaran defisit tetap mengacu Perpres No 54/2020. Defisit APBN akan kembali ke level 3 persen PDB pada tahun 2023. Pemerintah akan menurunkan defisit APBN secara bertahap dari tahun ke tahun dengan menjaga disiplin fiskal. Peningkatan pembiayaan juga akan dikelola hati-hati agar tidak membebani APBN.
”Defisit akan diturunkan secara gradual. Kalau defisit dari tinggi langsung diturunkan ke rendah, akan memengaruhi kemampuan belanja dan perekonomian,” kata Suahasil.
Tantangan
Dihubungi secara terpisah, Senin, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, pelebaran defisit APBN yang cukup signifikan dihadapkan pada tantangan sumber pembiayaan. Pembiayaan melalui tambahan penerbitan surat berharga negara (SBN) harus hati-hati karena imbal hasil yang mesti dibayar pemerintah cukup tinggi.
”Di sisi lain, untuk mendapat sumber pembiayaan dari pinjaman internasional juga tidak mudah karena mayoritas negara di dunia membutuhkan uang,” kata Enny.
Untuk itu, saat ini solusi paling memungkinkan adalah pemangkasan dan penajaman anggaran secara besar-besaran. Pemerintah harus mengencangkan ikat pinggang jika stimulus pemulihan ekonomi ingin diberikan secara maksimal. Belanja APBN harus disisir lagi untuk memperkecil kebutuhan pembiayaan.
Enny menambahkan, proyeksi target pendapatan negara juga harus dihitung secara cermat, terutama dari penerimaan perpajakan. Dari proyeksi tersebut pemerintah dapat menentukan besaran stimulus pemulihan ekonomi yang paling memungkinkan untuk disalurkan. Jangan memaksakan dari penerbitan surat utang.
”Pemulihan ekonomi masih akan berlanjut pada 2021 dan 2022. Jangan sampai pemerintah tersandera beban bunga dan cicilan utang,” kata Enny.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, menambahkan, proyeksi penerimaan perpajakan tumbuh negatif 9,2 persen menunjukkan dua hal. Pertama, perlemahan ekonomi menyebabkan pengurangan basis pajak. Kedua, hilangnya penerimaan perpajakan akibat pemberian stimulus fiskal.
Menurut Bawono, insentif pajak perlu diracik lebih tepat sasaran dan bersifat temporer sesuai kebutuhan. Pemberian insentif secara besar-besaran dan terlalu lama akan berisiko terhadap kesinambungan fiskal di masa depan. Terlebih, hingga saat ini belum bisa diperkirakan kapan pandemi Covid-19 berakhir.