logo Kompas.id
EkonomiMemperdebatkan Nikel
Iklan

Memperdebatkan Nikel

Peningkatan nilai tambah mineral adalah amanat undang-undang. Aturan baru sudah tercipta, tinggal membuktikan kesungguhan pemerintah menegakkan aturan demi terwujudnya hilirisasi.

Oleh
ARIS PRASETYO
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/jP0c5Qto3v_-U0x33HF8B7-jPF8=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F20150805APO2.jpg
Kompas/Aris Prasetyo

Kondisi pembangunan smelter bauksit milik PT Well Harvest Winning Alumina Refinery di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Timur, yang sudah mencapai 72 persen, Selasa (4/8/2016). Smelter ini dijadwalkan beroperasi dengan kapasitas tahap pertama sebanyak 1 juta ton alumina. Pembangunan smelter bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bauksit di dalam negeri.

Dalam sebuah diskusi mengenai prospek industri nikel dalam negeri yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta, akhir Februari lalu, harga bijih atau mineral mentah menjadi perdebatan. Petambang nikel keberatan dengan harga yang ditetapkan pengusaha smelter lantaran dianggap terlalu murah. Sementara ekspor nikel, yang harga di luar negeri jauh lebih baik, dilarang pemerintah mulai Januari 2020.

Pendapat yang kerap didengar, negara yang kaya sumber daya alam juga kaya masalah dan konflik. Setelah sempat terbit larangan ekspor mineral mentah pada 2014, pemerintah merelaksasi ekspor nikel kadar 1,7 persen mulai 2017. Sebenarnya, relaksasi itu berlangsung sampai dengan 2022, tetapi batas waktunya dipercepat dan berakhir mulai Januari 2020.

Editor:
dewiindriastuti
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000