Momentum jelang Lebaran agaknya belum cukup kuat menahan perlambatan ekonomi pada triwulan II-2020.
Oleh
AGUSTINA PURWANTI
·5 menit baca
Momentum jelang Lebaran agaknya belum cukup kuat menahan perlambatan ekonomi pada triwulan II-2020. Lebaran yang biasanya semarak dengan pola peningkatan aktivitas bisnis dan konsumsi diprediksi bakal tertahan oleh pandemi Covid-19, yang masih jauh dari mereda.
Indikasi tertahannya aktivitas bisnis dan konsumsi itu muncul dari pencapaian kinerja ekonomi pada triwulan I-2020. Ekonomi RI triwulan pertama tahun ini masih tumbuh positif meski melambat, yakni 2,97 persen. Angka tersebut lebih rendah daripada triwulan sebelumnya (q-to-q) 4,97 persen ataupun triwulan yang sama tahun sebelumnya (y-on-y) 5,07 persen.
Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), masih tumbuhnya perekonomian di tengah pandemi ini terutama didukung komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dari pertumbuhan 2,97 persen, 1,56 persen bersumber dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan menjadi penyokong terbesar pertumbuhan dari sisi pengeluaran.
Momentum jelang Lebaran agaknya belum cukup kuat menahan perlambatan ekonomi pada triwulan II-2020.
Penyokong pertumbuhan berikutnya adalah komponen pembentukan modal tetap bruto alias investasi, dengan kontribusi 0,56 persen. Sisanya, 0,85 persen, bersumber dari komponen pengeluaran konsumsi pemerintah, ekspor barang dan jasa, serta pengeluaran konsumsi lembaga nonpemerintah yang melayani rumah tangga.
Tak dapat dimungkiri, pengeluaran konsumsi rumah tangga menjadi kontributor utama pada produk domestik bruto dari sisi pengeluaran dengan persentase lebih dari 50 persen. Bahkan, andil konsumsi terhadap perekonomian melampaui rata-rata andil sektor tersebut dalam lima tahun terakhir, yakni mencapai 58,14 persen. Rata-rata konsumsi rumah tangga sepanjang 2015 hingga 2019 hanya 56,3 persen.
Data BPS dua tahun belakangan juga menunjukkan, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai angka tertinggi secara konsisten pada triwulan II. Pada 2019, misalnya, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan II 5,18 persen. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang triwulan lain. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan pertama, ketiga, dan keempat tahun 2019 berturut-turut 5,02 persen, 5,01 persen, dan 4,97 persen.
Masih pada 2019, konsumsi rumah tangga tetap memberi andil terbesar pertumbuhan ekonomi, mencapai 55,84 persen. Momentum libur sekolah, bulan puasa, dan Lebaran menjadi faktor pendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Hal serupa terjadi pada 2018. Pada triwulan II-2018, pertumbuhan ekonomi keseluruhan mencapai angka tertinggi dalam lima tahun terakhir, yakni 5,27 persen. Menurut laporan Bank Indonesia, pencapaian itu salah satunya didorong laju konsumsi rumah tangga.
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan II-2018 mencapai 5,17 persen, sedangkan pada tiga triwulan lainnya berkisar 4,96 persen-5,08 persen. Pola ini kembali membuktikan salah satu faktor pendorong pertumbuhan tersebut adalah dorongan konsumsi rumah tangga di masa Lebaran.
Pendapatan menurun
Menjelang Lebaran tahun ini dirayakan dengan penuh keterbatasan demi mencegah penyebaran Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan oleh beberapa wilayah dan peraturan larangan mudik diberlakukan di seluruh Indonesia.
Sementara sektor transportasi sebagai salah satu komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang cukup tinggi juga mencatat penurunan 1,81 persen di triwulan 2020 ini.
Pengeluaran lain yang juga identik dengan Lebaran adalah pakaian baru. Sejak triwulan I tahun ini, pengeluaran untuk pakaian dan alas kaki tersebut juga turun 3,29 persen.
Selama ini, meningkatnya konsumsi saat Lebaran dipicu tambahan pendapatan dari tunjangan hari raya (THR). Sementara di tengah pandemi ini, banyak tenaga kerja yang justru kehilangan pendapatan karena terpaksa dirumahkan atau bahkan diberhentikan untuk seterusnya (PHK). Menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang dirumahkan, dikenai PHK, atau terdampak Covid-19 hingga 12 Mei 2020 lebih dari 1,7 juta orang.
Sebagian tenaga kerja yang masih bertahan pun belum tentu bisa memperoleh pendapatan tambahan saat hari raya dalam bentuk THR. Surat edaran Kementerian Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perusahaan wajib membayar THR sesuai ketentuan perundang-undangan.
Namun, surat edaran tersebut menyebutkan bahwa perusahaan yang tidak mampu membayarkan THR secara penuh dapat membayarkan tunjangan tersebut secara berkala. Sementara perusahaan yang sama sekali tidak mampu membayar THR dapat menunda pembayaran hingga batas waktu kesepakatan antara perusahaan dan tenaga kerja.
Faktanya, tidak sedikit tenaga kerja yang tidak menerima THR pada Lebaran kali ini. Sejumlah pekerja perusahaan ritel di Jakarta, misalnya, hanya mendapat THR 30 persen dari gaji yang diperolehnya. Karyawan di sejumlah perusahaan lain, seperti perusahaan rintisan dan perusahaan konstruksi, juga masih menunggu kejelasan pembagian THR yang kemungkinan besar tidak akan mereka diterima (Kompas, 13/5/2020).
Keyakinan konsumen
Survei konsumen oleh Bank Indonesia bulan lalu menunjukkan penurunan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi jika dibandingkan beberapa bulan sebelumnya. Hal tersebut tecermin dari indeks keyakinan konsumen (IKK). IKK merupakan indikator yang dirancang untuk mengukur optimisme dan pesimisme konsumen terhadap kondisi perekonomian suatu negara.
Faktanya, tidak sedikit tenaga kerja yang tidak menerima THR pada Lebaran kali ini.
Pada April 2020, IKK hanya mencapai 84,8 persen. Angka tersebut menyusut jauh daripada IKK Maret 2020 sebesar 113,8. Bahkan, IKK April 2020 berada dalam kategori pesimistis merujuk kriteria hasil survei ini karena di bawah angka 100.
Penurunan IKK tersebut disebabkan turunnya dua indeks pembentuknya, yakni indeks kondisi ekonomi (IKE) dan indeks ekspektasi konsumen (IEK). Variabel IKE pada April 2020 turun drastis menjadi 62,8, di mana sebelumnya berada pada angka 103,3.
Penurunan ini disebabkan penghasilan konsumen saat ini yang juga turun drastis. Indeks penghasilan menunjukkan angka 63,5, padahal sebelumnya masih berada di angka 114. Konsumen relatif pesimistis karena ketersediaan lapangan kerja makin terbatas setelah pandemi ini. Angka indeks ketersediaan lapangan kerja sebesar 41,2 mengindikasikan hal tersebut.
Namun, angka indeks ekspektasi konsumen sebesar 106,8 tetap mengindikasikan optimisme terhadap perkiraan kondisi ekonomi setidaknya dalam enam bulan yang akan datang meski angka tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan bulan Maret 2020 yang mencapai angka 124,3. Optimisme tersebut didukung perkiraan telah meredanya Covid-19 dalam waktu enam bulan mendatang.
Keyakinan konsumen yang tersisa sepatutnya dibaca sebagai salah satu sinyal positif penting oleh pemerintah. Stimulus perekonomian dari pemerintah, seperti bantuan tepat sasaran, sekaligus konsistensi pembatasan sosial dan pelarangan mudik perlu tetap dijaga agar kelesuan ekonomi tak berlarut-larut dan akhirnya menggerus optimisme ini.