Selain pembahasannya yang dinilai kurang terbuka, undang-undang pertambangan mineral dan batubara juga dianggap menguntungkan korporasi. Meski demikian, DPR mempersilakan publik untuk mengajukan uji materi.
Oleh
Aris Prasetyo
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pemuatan batubara ke tongkang di Pelabuhan PT Tunas Inti Abadi di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Rabu (26/9/2018). Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, batubara tersebut juga diekspor ke India, China, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
JAKARTA, KOMPAS — Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui untuk mengesahkan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau Minerba, Selasa (12/5/2020), di Kompleks DPR, Jakarta. Namun, hal itu menuai sorotan.
Selain pembahasannya yang dinilai kurang terbuka, undang-undang itu juga dianggap menguntungkan korporasi. DPR mempersilakan publik untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika merasa tidak puas.
Pengesahan UU disetujui delapan fraksi, yakni Fraksi PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Fraksi Partai Demokrat menjadi satu-satunya yang menolak pengesahan tersebut.
Seharusnya, pemerintah memaksa perusahaan menuntaskan kewajibannya terlebih dahulu, seperti lubang bekas tambang yang diabaikan begitu saja.
Menurut Iqbal Damanik, peneliti dari Auriga Nusantara, pengesahan UU tersebut menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi tambang batubara. Hal itu terlihat dari penambahan Pasal 169A yang memberikan jaminan perpanjangan operasi kepada perusahaan pemegang kontrak selama dua kali, masing-masing 10 tahun. Saat ini ada tujuh pemegang kontrak tambang batubara yang bakal habis masa berlakunya dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
”Fokus pemerintah saat ini hanya pada penyelamatan pebisnis batubara melalui perubahan UU No 4/2009. Seharusnya pemerintah memaksa perusahaan menuntaskan kewajibannya terlebih dulu, seperti lubang bekas tambang yang diabaikan begitu saja,” kata Iqbal melalui keterangan resmi.
Kompas/Wawan H Prabowo
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif saat hadir mewakili pemerintah dalam rapat kerja bersama Komisi VII DPR untuk kembali melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/5/2020). Adapun agenda rapat hari itu adalah pembicaraan tingkat I atau pengambilan keputusan soal revisi UU Minerba.
Dalam sidang paripurna itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan, pengesahan UU tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diharapkan menjadi solusi atas sejumlah masalah di sektor pertambangan. Salah satunya adalah mengenai peningkatan nilai tambah mineral dan batubara. Ia berharap UU tersebut dapat memperbaiki tata kelola sektor pertambangan di Indonesia.
Secara terpisah, saat dimintai pendapat tentang pengesahan revisi UU itu, Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir mengaku siap mematuhi apa pun yang menjadi keputusan bersama pemerintah dan DPR. Adaro adalah salah satu pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang bakal habis masa kontraknya pada 2020. Menurut dia, pihaknya akan mengajukan perpanjangan operasi kepada pemerintah pada awal 2021.
Sebelumnya, dalam pembahasan tingkat pertama di DPR, Senin (11/5/2020), Fraksi Partai Demokrat menolak RUU tersebut disahkan menjadi UU. Menurut anggota Komisi VII DPR dari Partai Demokrat, Sartono Hutomo, pemerintah sebaiknya memprioritaskan kajian harga bahan bakar minyak dan jaminan pasokan elpiji ketimbang melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Kondisi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 harus diutamakan untuk menjamin kecukupan kebutuhan pokok mereka.
Ada potensi tumpang tindih dengan RUU Cipta Karya yang juga membahas UU No 4/2009 tersebut. Keduanya sama-sama membahas usaha pertambangan mineral dan batubara.
Sartono menambahkan, pihaknya mendesak agar pembahasan revisi UU tersebut dilakukan lebih matang sembari mendengarkan masukan publik. Apalagi, kata dia, ada potensi tumpang tindih dengan RUU Cipta Karya yang juga membahas UU No 4/2009 tersebut. Keduanya sama-sama membahas usaha pertambangan mineral dan batubara.
”Oleh karena itu, berdasarkan catatan tersebut, fraksi kami menolak pembahasan revisi UU No 4/2009 diteruskan di tahapan lanjut,” kata Sartono.