Pemerintah Dituntut Tagih Kewajiban Perusahaan Tambang
Koalisi masyarakat sipil menilai, ada banyak kejanggalan dalam RUU tentang Perubahan atas UU No 4/2009 yang sudah disahkan pemerintah dan DPR. Ada kemungkinan akan diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dituntut untuk menagih kewajiban perusahaan tambang sebelum memberikan perpanjangan kontrak kepada perusahaan. Kewajiban itu antara lain pemulihan lahan bekas tambang dan kegiatan pascatambang. Koalisi masyarakat sipil siap mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi secara daring tentang sikap koalisi masyarakat sipil menyikapi pengesahan undang-undang tersebut, Rabu (13/5/2020). Pada Selasa, 12 Mei, DPR dan pemerintah mengesahkan RUU tentang Perubahan atas UU No 4/2009 di Gedung DPR. Koalisi menilai, ada sejumlah kejanggalan dalam pasal-pasal baru pada undang-undang tersebut.
Peneliti pada Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, menyatakan, pemerintah sebaiknya tidak tergesa-gesa memberikan perpanjangan kontrak kepada perusahaan yang segera habis masa berlakunya. Sampai tahun 2024, tercatat ada tujuh perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang segera habis masa kontraknya. Padahal, perusahaan-perusahaan itu masih memiliki pekerjaan rumah untuk membereskan lubang bekas tambang hasil dari kegiatan operasi mereka.
Seharusnya kewajiban ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum memberikan perpanjangan operasi.
”Menurut penelitian kami, secara keseluruhan ada sekitar 87.000 hektar lubang bekas tambang yang belum direklamasi. Seharusnya kewajiban ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum memberikan perpanjangan operasi,” kata Iqbal.
Khusus mengenai perpanjangan kontrak, menurut peneliti pada Publish What You Pay Indonesia, Aryanto Nugroho, undang-undang yang baru tersebut memberikan jaminan perpanjangan kontrak secara langsung kepada pemegang PKP2B dan kontrak karya (KK). Kendati ada sejumlah persyaratan tertentu, tak ada lagi mekanisme lelang setelah kontrak tersebut habis.
”Selain itu, mengenai luas wilayah tambang, perusahaan dapat mengajukan penambahan luas dengan persetujuan menteri. Sangat jelas ke arah mana keberpihakan undang-undang ini,” ujar Aryanto.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menambahkan, proses penyusunan undang-undang tersebut sangat minim partisipasi masyarakat, khususnya dari daerah tambang. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa dasar penyusunan undang-undang tersebut tidak berangkat dari permasalahan yang ada di lapangan, tetapi lebih condong mengakomodasi kepentingan korporat.
”Sebagai contoh, banyak sekali tumpang tindih izin tambang di atas lahan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan kawasan hutan produksi terbatas. Belum lagi puluhan kasus konflik tambang dan puluhan jiwa meninggal akibat kelalaian perusahaan yang membiarkan lubang bekas tambang. Apa jawaban undang-undang ini terhadap berbagai kasus tersebut? Sama sekali tidak ada. Masyarakat sekitar tambang ataupun masyarakat adat sama sekali tidak didengar pendapat mereka dalam penyusunan undang-undang ini,” tutur Merah.
Kami tidak akan asal-asalan mengajukan uji materi. Kasus-kasus lama perlu dibuka kembali, seperti lubang bekas tambang yang menelan korban jiwa karena ada unsur kelalaian perusahaan.
Saat ditanya rencana koalisi untuk mengajukan uji materi terhadap undang-undang tersebut, Ketua Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan mengatakan tak menutup kemungkinan upaya tersebut ditempuh. Namun, dipastikan bahwa untuk mengajukan uji materi, diperlukan persiapan yang matang dan konsolidasi publik yang kuat.
”Kalau mengajukan uji materi, harus bermakna. Kami tidak akan asal-asalan mengajukan uji materi. Kasus-kasus lama perlu dibuka kembali, seperti lubang bekas tambang yang menelan korban jiwa karena ada unsur kelalaian perusahaan. Selain itu, uji materi harus mendapat dukungan publik yang luas,” ujar Arip.
RUU tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan mendapat dukungan delapan fraksi, yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Fraksi Partai Demokrat menjadi satu-satunya yang menolak pengesahan tersebut.
Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja RUU tersebut, Bambang Wuryanto dari PDI-P, menepis bahwa proses penyusunan undang-undang dilakukan secara tergesa-gesa. Menurut dia, proses sudah berlangsung sejak 2015. Mengenai pasal-pasal yang menjadi kontroversi, ia mempersilakan publik mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.