Dampak ekonomi dari pandemi Covid-19 sangat dahsyat. Pertumbuhan ekonomi hampir semua negara mengalami kontraksi. China sebagai negara asal muasal pandemi, pada triwulan I-2020, tumbuh minus 6,8 persen. Padahal, pada triwulan IV-2019, ekonomi China masih tumbuh 6 persen. Sebagian besar ekonomi negara-negara di kawasan Eropa juga rontok, yakni Perancis (-5,4 persen), Italia (-4,8 persen), Spanyol (-4,1 persen), Belgia (-2,8 persen), dan Austria (-2,7 persen). Amerika Serikat, kendati tidak minus, hanya tumbuh 0,30 persen, padahal triwulan sebelumnya masih tumbuh 2,30 persen. Korea Selatan juga terkoreksi menjadi 0,39 persen, yang pada triwulan sebelumnya masih tumbuh 2,30 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 juga anjlok, hanya 2,97 persen. Sebab, konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak dan penopang utama perekonomian langsung terpukul. Konsumsi rumah tangga yang pada triwulan IV-2019 tumbuh 5,02 persen terjun bebas menjadi 2,84 persen. Padahal, secara kalkulasi, mestinya sampai Maret konsumsi kelompok menengah ke atas belum terganggu secara signifikan. Selain masih memiliki tabungan, pasokan dan distribusi barang serta berbagai harga kebutuhan pokok masih terjaga. Apalagi, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) baru diberlakukan pada pertengahan Maret 2020. Artinya, konsumsi rumah tangga yang anjlok 43 persen jelas mengonfirmasi daya beli masyarakat miskin dan rentan miskin tergerus luar biasa.
PSBB memang berdampak besar terhadap kegiatan ekonomi. Banyak pekerja informal langsung kehilangan mata pencarian, bahkan sebagian pekerja formal mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal, jumlah pekerja informal 74,04 juta dan masyarakat rentan miskin 40 juta. Alhasil, kelompok pekerja informal yang memiliki penghasilan harian langsung terancam tergeser dari rentan miskin menjadi kelompok miskin.
Oleh karena itu, skema perlindungan sosial harus cepat dan tepat. Terutama, untuk meredam daya beli masyarakat terbawah yang terpuruk. Tambahan anggaran Rp 110 triliun mestinya dapat efektif memperluas jangkauan, bukan hanya masyarakat miskin, melainkan juga yang rentan miskin. Kendala validasi dan akurasi data mestinya tidak dijadikan alasan keterlambatan bantuan. Pasalnya, dalam kondisi normal, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial masih sering memicu polemik. Oleh karena itu, di masa pandemi, menghadapi kondisi tidak normal, pemerintah harus segera membuat terobosan.
Tidak perlu terlalu banyak skema program perlindungan sosial. Cukup satu program, tetapi terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi. Tanpa harus ada ego sektoral maupun dikotomi bantuan dari pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, akan memudahkan eksekusi penyaluran bantuan di lapangan. Validasi data dilakukan dari bawah ke atas melalui verifikasi level RT/RW. Melalui satu skema bantuan dengan basis satu data yang sama, pemetaan dan pola distribusi bantuan akan lebih mudah terpantau dan dievaluasi.
Potensi moral hazard dapat dimitigasi melalui pemberian stempel pada setiap rumah yang telah mendapat bantuan. Bahkan, dengan satu pusat pendataan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dapat mengintegrasikan seluruh bantuan, baik bantuan dari pemerintah maupun dari berbagai organisasi sosial/nirlaba, perusahaan swasta, ataupun perorangan. Dengan transparansi dan akuntabilitas distribusi bantuan, program perlindungan sosial akan lebih efektif dan tepat sasaran.
Waspada lonjakan pengangguran
Pemerintah mesti mewaspadai lonjakan pengangguran. Sebab, salah satu sektor penyedia lapangan kerja terbesar, yaitu industri manufaktur, justru yang paling tersungkur. Pada triwulan I-2020, industri pengolahan hanya tumbuh 2,06 persen. Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia anjlok dari 45,3 pada Maret 2020 menjadi 27,5 pada April 2020. Indeks PMI di bawah 50 menunjukkan terjadi kontraksi ekonomi sehingga hampir dipastikan produktivitas di bulan-bulan berikutnya mengalami kontraksi. Artinya, potensi gelombang PHK dari sektor formal semakin bertambah besar.
Kalangan dunia usaha mengaku rata-rata kemampuan kas hanya mampu bertahun sampai dengan Mei-Juni. Jika pandemi masih berlanjut setelah Juni, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan, PHK dari sektor formal dapat menembus 15 juta. Jika ditambah dari pekerja informal yang kehilangan pekerjaan, jumlah pengangguran yang sebenarnya menjadi sulit diperkirakan. Walhasil, tambahan angka kemiskinan tidak hanya berasal dari yang rentan miskin, tetapi juga dari korban PHK yang bergeser menjadi miskin. Oleh karena itu, skenario tambahan angka pengangguran dari pemerintah yang hanya naik sekitar 3,5 juta menjadi terlalu optimistis.
Sementara itu, korelasi tambahan pengangguran dan kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi memiliki kausalitas yang sangat erat. Sebagai ilustrasi, jika pertumbuhan ekonomi 2020 sebesar 1 persen, orang miskin akan bertambah sekitar 8 juta-9 juta juta orang. Artinya, jika pertumbuhan ekonomi 2020 terkontraksi sampai minus, tambahan orang miskin pasti akan melampaui 10 juta orang. Pasalnya, jika dampak dari PSPB selama setengah bulan mampu membuat kontraksi pertumbuhan ekonomi lebih dari 43 persen, maka jika PSPB berlanjut lebih dari 2 bulan, bukan tidak mungkin kontraksi ekonomi bisa menembus lebih dari 200 persen. Kemungkinan pertumbuhan ekonomi minus akan sulit dihindarkan. Apalagi, jika PSBB terus berlanjut melampaui bulan Juli, sedangkan program perlindungan sosial tidak kunjung tepat sasaran. Skenario terburuknya, pertumbuhan ekonomi berpotensi minus dua angka dan jurang resesi tidak dapat dihindari.
Keberhasilan memitigasi penurunan daya beli akan menyelamatkan perekonomian. Selain mampu mencegah tidak terpapar Covid-19, sekaligus tidak terkapar karena kehilangan pekerjaan. Apalagi, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 58,14 persen. Sayangnya, serangan paling dasyat dari Covid-19 justru menghantam daya beli masyarakat. Terlihat rendahnya inflasi pada April 2020, tengah bulan Ramadhan, yang hanya 0,08 persen jelas mengindikasikan anjloknya daya beli.
Oleh karena itu, kecepatan dan kepastian menaklukkan pandemi Covid-19 menjadi kunci utama. Selanjutnya, upaya pemulihan ekonomi baru dapat efektif dilakukan. Hampir seluruh sektor pasti terdampak, tetapi sebagaimana efektivitas program perlindungan sosial, pemerintah juga harus memiliki skala prioritas. Terutama, fokus pada pemulihankegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang berkorelasi langsung terhadap penyerapan tenaga kerja. Total penghematan belanja kementerian/lembaga sekitar Rp 145,7 triliun dapat dioptimalkan untuk memberikan kepastian akses restrukturisasi kredit, penundaan angsuran pokok dan bunga kredit, serta tambahan plafon kredit untuk UMKM.
Kecepatan dan kepastian menaklukkan pandemi Covid-19 menjadi kunci utama.
Sementara itu, upaya memulihkan usaha skala besar dapat memanfaatkan realokasi investasi dari China. Jepang sudah pasti akan merelokasi sejumlah industrinya dari China. Demikian juga berbagai investasi Amerika Serikat di bidang farmasi dan aneka industri juga akan keluar dari China. Berbagai kawasan industri harus segera berbenah untuk memanfaatkan momentum dan peluang emas tersebut. Aksi Kadin Kepulauan Riau meluncurkan ulang kawasan industri Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) murah diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik investor. Kreativitas konkret seperti ini akan jauh lebih efektif menghadang potensi resesi daripada menunggu pepesan yang belum tentu segera matang, melalui hasil pembahasan omnibus law.