Covid-19 telah memukul dunia usaha, termasuk pelaku UMKM. Untuk kembali bangkit, pelaku UMKM dituntut memiliki kreativitas dan pemikiran positif.
Oleh
sharon patricia
·5 menit baca
Tak dimungkiri, pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19 memang membawa dampak negatif dan memukul perekonomian, tak terkecuali bagi pelaku usaha kecil, mikro, dan menengah. Namun, asalkan tetap berpikir positif dan kreatif untuk mencari celah usaha, ekonomi pun akan berangsur pulih.
Yani Mardiyanto, pelaku usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) yang bergelut di bidang kain lukis dengan nama Nasrafa mengatakan, usahanya terpukul akibat pandemi Covid-19. Ia harus rela kehilangan 65 persen dari penjualan ekspor karena tidak lagi bisa mengirimkan produknya ke Filipina dan Perancis sejak awal Januari 2020.
Selama delapan tahun menjalankan usahanya, Yani mengatakan, baru kali ini usahanya benar-benar terpukul. Meski begitu, selain mempertahankan usaha, ia tetap mempertahankan enam pelukis senior dan enam nonpelukis yang selama ini telah bekerja bersamanya.
”Nasrafa kudu tetep obah lan bakoh. Artinya, Nasrafa harus tetap berkarya, berkreasi, dan kuat atau tabah menjalani usaha di keadaan seperti ini,” ujar Yani yang menjalankan usahanya di daerah Solo, Jawa Tengah.
Ia pun berupaya mempertahankan pasar dalam negeri sebesar 35 persen di kota-kota besar di Provinsi Jawa. Menurut dia, pandemi Covid-19 telah menyadarkan dirinya untuk tidak terpaku pada pasar luar negeri.
”Ternyata ini kesempatan untuk ekspansi di pasar domestik. Saya juga mencoba berinovasi. Sekarang, kan, masker menjadi kebutuhan masyarakat, jadi saya coba buat masker lukis. Alhamdulillah, sudah mulai ada pesanan, bahkan ke Palembang,” tutur Yani.
Untuk modal usaha, Yani bersyukur pemerintah telah cukup membantu dengan meringankan bunga kredit. Angsuran yang baru berjalan setengah tahun dari total 5 tahun sementara ini bunganya diturunkan dari 13 persen menjadi 8 persen.
Pengalaman serupa dialami oleh Nawawi Badaruddin, pelaku UMKM di bidang boneka dongeng dengan nama HPS (Hand Puppet Show) Puppet. Sekitar awal Maret 2020, usaha bonekanya anjlok.
Dalam keadaan normal, Nawawi bisa memperoleh omzet bulanan hingga Rp 250 juta, tetapi omzet pada Maret 2020 hanya berkisar Rp 8 juta. Belum lagi kesulitan bahan baku untuk mata boneka yang masih mengandalkan impor juga turut memukul usaha.
”Makanya sekarang, untuk mata boneka, saya coba dengan bordir, jadi tidak perlu pakai bahan impor. Sekarang mulai membaik karena kami melihat ada peluang dari kebijakan di rumah aja,” ujarnya.
Dengan adanya kebijakan di rumah aja, kata Nawawi, momen ini menjadi kesempatan emas bagi orangtua dan anak untuk membangun dan menjalin ikatan emosional. Salah satu media yang dapat digunakan adalah melalui boneka dongeng.
”Orangtua bisa membangun kedekatan dengan anak melalui boneka dongeng yang akan membantu anak mengembangkan imajinasi dan menjadikan anak responsif. Saya juga mempraktikkannya kepada anak saya yang berusia 1,5 tahun, perkembangannya pun menjadi baik,” ucapnya.
Pemikiran ini kemudian direspons baik oleh masyarakat di seluruh Nusantara yang membeli secara daring. Nawawi mengatakan, kini usahanya berangsur pulih dengan nilai transaksi sekitar Rp 20 juta per bulan.
Meski begitu, Nawawi sebenarnya ingin usahanya bisa menembus pasar ekspor. Ia berharap dapat memperoleh pelatihan dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bekasi.
”Saya sebenarnya sudah terdaftar sebagai anggota UMKM (di Dinas Koperasi dan UMKM), tetapi sampai sekarang belum pernah ada bantuan apa pun. Saya berharapnya ada pelatihan, misalnya cara mengelola keuangan hingga cara mengekspor produk,” ujar Nawawi.
UMKM terdampak
Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat, hingga pertengahan April 2020, ada sekitar 37.000 pelaku UMKM yang melaporkan usahanya terdampak Covid-19. Dari jumlah tersebut, sebesar 56 persen melapor terjadi penurunan penjualan, 22 persen mengaku kesulitan modal, 15 persen menyampaikan ada hambatan distribusi, dan 4 persen menghadapi kesulitan bahan baku (Kompas.com, 16 April 2020).
Adapun berdasarkan data Asosiasi Business Development Services Indonesia (ABDSI), hingga 18 April 2020, sebanyak 7.994 UMKM secara nasional terdampak Covid-19. Jumlah UMKM terbanyak yang terdampak Covid-19 berada di Provinsi Jawa Timur (1.794 unit), Daerah Istimewa Yogyakarta (1.763 unit), dan Jawa Barat (1.588 unit).
Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga yang pada triwulan IV-2019 tumbuh 5,02 persen terjun menjadi 2,84 persen pada triwulan I-2020. Institute for Development of Economics and Finance pun memproyeksikan laju konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2020 akan menjadi negatif 2,08 persen.
Padahal, UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2018 menunjukkan, jumlah UMKM mencapai 64,19 juta unit (99,99 persen). Dari jumlah tersebut, UMKM mampu mampu menyerap sebanyak 116,98 juta (97 persen) tenaga kerja.
Guna menunjang keberlangsungan usaha pelaku UMKM, pemerintah mengalokasikan Rp 150 triliun dari total Rp 405,1 triliun dari realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2020. Jumlah tersebut dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya UMKM.
Pengenalan teknologi
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Aknolt Kristian Pakpahan, menyampaikan, situasi pandemi Covid-19 memberikan tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah untuk menjaga eksistensi UMKM. Tantangan diartikan perlu adanya solusi jangka pendek untuk membantu UMKM dan pekerja yang tergabung di dalamnya.
Sementara peluang diartikan solusi jangka pendek perlu dilanjutkan dengan solusi jangka panjang. Lebih dari itu, solusi juga bisa dikaitkan dengan era industri 4.0 yang mensyaratkan ketersediaan teknologi digital untuk mendukung aktivitas ekonomi.
”Untuk jangka pendek, para pelaku UMKM dapat dikenalkan pada teknologi digital dan pelatihan. Perlu adanya pendampingan bagi para pelaku UMKM untuk dapat memanfaatkan media e-commerce (belanja daring) untuk menjual produk-produk mereka,” tutur Aknolt dalam jurnal ilmiah berjudul ”Covid-19 dan Implikasi bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”.
Data BPS menunjukkan, pada 2018 baru ada sebanyak 3,79 juta UMKM (atau sekitar 8 persen) yang memanfaatkan platform digital untuk memasarkan produknya. ”Tentu situasi seperti ini dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk meningkatkan jumlah UMKM yang memanfaatkan platform digital tadi,” kata Aknolt.
Kebijakan kemudian dilanjutkan dengan kebijakan jangka panjang, yaitu UMKM beradaptasi dengan penggunaan teknologi untuk proses produksi, promosi produk, dan menemukan pasar potensial bagi produk yang dihasilkan. Pemerintah dapat memulainya dengan membuat peta jalan pengembangan UMKM dalam menghadapi era industri 4.0.