Mengurai Praktik Perbudakan di Kapal Ikan Asing
Praktik eksploitasi anak buah kapal warga Indonesia di berbagai armada kapal ikan China kembali terjadi karena lemahnya perlindungan pemerintah sejak proses perekrutan di dalam negeri.
Sepekan terakhir sejak awal Mei 2020, video pelarungan jenazah WNI yang menjadi anak buah kapal (ABK) kapal ikan China Long Xing 629 menjadi viral di sosial media dan segera diikuti Media Massa di Indonesia. Kejadian itu adalah puncak gunung es dari praktik eksploitasi ABK di berbagai armada kapal ikan yang berulang kali terjadi.
Sebelumnya pada akhir 2017, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan penghargaan perlindungan WNI Hasan Wirajuda Perlindungan Award terhadap seorang perempuan WNI yang bertahun-tahun melindungi para ABK WNI yang bekerja di berbagai kapal ikan yang telantar di Kepulauan Malorca, Spanyol.
Ketika itu, Menlu menegaskan komitmen negara untuk melindungi setiap warga negara termasuk para pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di berbagai kapal penangkap ikan di seluruh penjuru dunia. Para ABK kapal ikan adalah bagian dari kelompok rentan terhadap eksploitasi dan bahaya keselamatan kerja.
Kasus pelarungan jenazah WNI ABK Long Xing yang terjadi bulan Desember 2019 dan bulan April 2020 berikut beragam perlakuan tidak manusiawi yang dialami, kembali menyentak nurani masyarakat. Total sebanyak empat ABK WNI meninggal dunia dan 14 orang dipulangkan via Kota Pelabuhan Busan di Korea Selatan.
Di tengah pandemi Covid–19 yang melanda seluruh dunia, termasuk di sektor maritim, risiko penularan penyakit bertambah. Kehidupan di atas kapal penangkap ikan yang kecil, ruang hidup (living quarter) berdesakan, ritme kerja yang nyaris berlangsung 24 jam setiap hari, menambah panjang daftar rentannya kesehatan dan keselamatan kerja bagi seorang ABK.
Hidup di tengah lautan berarti harus hidup dalam kondisi berbeda. Semisal pasokan air segar sering kali diganti dengan air hasil desalinasi—pemurnian air laut—menjadi air tawar. Makanan segar adalah kemewahan untuk para pelaut yang berminggu bahkan berbulan—bulan berada di lautan.
Mereka bekerja hingga belasan bahkan 20 jam sehari sesuai dengan kondisi alam, yakni lokasi ikan yang diburu dan faktor cuaca. Minim waktu istirahat yang teratur—seperti bekerja di darat—di tengah ayunan ombak dan terkadang badai melanda.
Belum lagi dalam risiko terburuk, kematian pada saat berada di lautan. Salah satu kemungkinan yang terjadi adalah jenazah dilarung ke laut (sea burial) yang membuat berat hati bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam berbagai panduan pemakaman di laut, termasuk dalam keterangan Palang Merah Internasional, pemakaman di laut (sea burial) dimungkinkan. Khusus bagi pemeluk agama Islam, jenazah harus diperlakukan sesuai ritual Agama Islam, diberi pemberat dan jenazah diturunkan dengan posisi menghadap kiblat.
Dalam salah satu tayangan dokumenter National Geographic Channel tentang hubungan laut dari pedagang Arab ke China di zaman Abbasiyah dan Dinasti Tang (sekitar tahun 600–900 Masehi) diceritakan pula tentang pemakaman di laut terhadap pelaut dan pedagang Muslim. Kondisi tersebut ditempuh jika tidak memungkinkan memakamkan jenazah di darat.
Kebiasaan kerja nelayan di Asia Timur, China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan pun sangat berbeda dengan nelayan di Indonesia. Para nelayan di Asia Timur biasa berlayar hingga berbulan-bulan di lautan mencari ikan. Kapal logistiklah yang datang ke armada kapal ikan untuk memasok kebutuhan dan mengambil ikan hasil tangkapan. Berbeda dengan budaya nelayan di Indonesia yang bekerja harian atau pun dalam hitungan beberapa hari melaut.
Dalam kasus Long Xing 629, para ABK hanya digaji 300 dollar AS per bulan dengan berbagai pemotongan gaji .
Melindungi Hak WNI
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyikapi kasus Long Xing 629 menegaskan telah mengajukan protes terhadap Kementerian Luar Negeri China terhadap praktik eksploitasi manusia terhadap para WNI yang menjadi ABK.
Menlu RI juga memanggil Dubes China Xiao Qian dan akan mendampingi secara hukum hak-hak para ABK yang diduga kuat menjadi korban sindikat perdagangan manusia yang berkedok sebagai tenaga penyalur kerja sektor perikanan.
Juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah menambahkan, persoalan eksploitasi WNI yang menjadi ABK kapal ikan ini memang masalah yang terjadi sejak hilir di proses perekrutan yang berakhir dengan kondisi kerja yang tidak manusiawi.
Suatu ketika, Teuku Faizasyah pernah bertemu aktivis nelayan di Tuvalu, negara di Pasifik Selatan yang mendampingi para ABK kapal ikan asal Indonesia yang diturunkan pihak perusahaan tanpa digaji. Aktivis asal Tuvalu tersebut menghubungi pihak terkait dan mendampingi para ABK dan menghubungi perwakilan Indonesia sehingga mereka mendapat gajinya dan kembali ke tanah air.
Menurut Faisasyah, pihaknya terus mengupayakan perbaikan dalam penanganan dan perlindungan WNI yang menjadi ABK kapal ikan di seluruh dunia. Terkait kasus Long Xing 629, Mabes Polri dan Komnas HAM pun turun tangan atas dugaan adanya praktik Perdagangan Manusia sesaat setelah para ABK WNI tiba di Tanah Air, Jumat (8/5/2020).
Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta dalam keterangan resmi, Minggu (10/5), menjelaskan, terhadap pertanyaan kondisi buruk yang dialami para WNI yang bekerja di kapal ikan berbendera China, pihak Kedutaan Besar menyatakan menjaga komunikasi lewat jalur diplomatik dengan Indonesia dan sedang melakukan verifikasi.
Kedutaan Besar China di Indonesia berharap para pihak yang terlibat dapat berunding dan menyelesaikan perselisihan sesuai hukum dan kontrak komersial yang mengikat para pihak dalam kasus tersebut.
Perkuat posisi tawar
Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Ilyas Pangestu yang dihubungi, Minggu (10/5), mengatakan, kejadian kapal ikan Long Xing 629 mendesak Pemerintah Indonesia agar kejadian tersebut menjadi tragedi yang terakhir. ”Ini kejadian berulang kali terjadi. Sulitnya kordinasi antarlembaga negara dan tidak mau memperkuat posisi tawar Pelaut Indonesia menjadi penyebab terus berulang kasus perlakuan buruk dan perbudakan terhadap pelaut Indonesia sebagai ABK kapal ikan,” kata Ilyas yang terlibat dalam berbagai advokasi sejak tahun 2000.
Sejak hulu dari proses perekrutan melalu agen di Indonesia, agen dari negara penempatan hingga naik kapal di tempat tujuan harus dibenahi. Pemerintah diminta tegas dalam bernegosiasi dan menetapkan gaji layak dan kontrak kerja yang melindungi para WNI yang menjadi ABK seperti halnya dalam kontrak kerja WNI yang bekerja di sektor informal di Hong Kong dan Taiwan yang diatur jelas pendapatan minimal dan hak-hak yang dilindungi.
Dia menyayangkan pelaut Indonesia yang juga mau diberi gaji rendah hanya setara 300 dollar AS per bulan. Padahal, di beberapa negara, seperti di Taiwan, gaji minimal ABK kini sudah mencapai 650 dollar AS per bulan. Bahkan, di perusahaan perikanan Korea Selatan bisa mencapai 1.400 dollar AS per bulan.
”Kebutuhan ABK kapal ikan seperti halnya di kapal kargo dan kapal pesiar masih tinggi. Jangan mau pelaut Indonesia dibayar murah termasuk sebagai ABK kapal ikan. Ini masalah HAM dan kehormatan negara harus dikedepankan,” tegas Ilyas.
Ilyas selama ini mendampingi para ABK WNI yang terlantar hingga Cape Town di Afrika Selatan, Mauritius, Taiwan, Korea Selatan, hingga Fiji dan Samoa di Pasifik Selatan.
Kasus Long Xing 629 adalah puncak gunung es dari buruknya kondisi kerja di kapal ikan karena lemahnya regulasi dari hulu, perbaikan koordinasi antar-instansi berikut aturan yang ada, dan pengawasan serta perlindungan bagi para ABK WNI yang sejatinya dapat bekerja layak seperti rekan sejawat WNI yang bekerja di kapal pesiar dan kapal angkut di seluruh dunia.