Ketertinggalan di sektor budidaya tak seharusnya dijawab dengan mempertaruhkan kebijakan demi mengejar keuntungan instan. Pelegalan ekspor mengancam eksploitasi benih lobster.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Kabar buruk di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah akhirnya membolehkan ekspor benih lobster. Ekspor benih dibuka di tengah visi negara meningkatkan nilai tambah komoditas, termasuk perikanan.
Dilegalkannya ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditetapkan 4 Mei 2020.
Beberapa persyaratan terkait ekspor benih bening antara lain eksportir telah berhasil melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat berdasarkan rekomendasi pemerintah. Selain itu, benih diperoleh dari nelayan kecil penangkap benih yang terdaftar.
Penetapan kuota dan lokasi tangkap benih bening lobster juga harus mengikuti ketersediaan stok di alam sesuai hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) setiap tahun. Peraturan itu juga mewajibkan eksportir benih lobster terdaftar di KKP.
Meski petunjuk teknis dari peraturan tersebut tengah disusun, setidaknya 20 perusahaan sudah mendaftar sebagai eksportir benih lobster. Padahal, belum ada kejelasan terkait kriteria keberhasilan budidaya lobster yang menjadi syarat ekspor benih. Sebagian eksportir itu disinyalir adalah penyelundup benih ataupun merekrut pembudidaya dan nelayan penangkap benih lokal.
Di sisi lain, Komnas Kajiskan yang memperoleh mandat memberikan rekomendasi terkait lokasi tangkapan benih dan kuota ekspor hingga saat ini belum pernah melakukan kajian terkait potensi benih lobster dan jumlah yang boleh dieksploitasi. Kajian yang telah dilakukan baru potensi dan pemanfaatan lobster ukuran dewasa.
Sebelum kebijakan ekspor benih digulirkan, penyelundupan benih lobster ke luar negeri berlangsung marak. Tahun 2019, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan merilis, aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri berkisar Rp 300 miliar-Rp 900 miliar per tahun. Dana dipakai pengepul dalam negeri membeli benih tangkapan nelayan lokal.
Sebelum kebijakan ekspor benih digulirkan, penyelundupan benih lobster ke luar negeri marak.
Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan KKP juga merilis, penyelundupan benih lobster antara lain ke Vietnam dan Singapura. Benih selundupan itu dibesarkan sehingga memberi nilai tambah jauh lebih besar.
Indonesia yang merupakan ”surga” benih lobster selama ini tertinggal dalam teknologi pembesaran. Jutaan benih lobster diselundupkan ke Vietnam setiap tahun. Vietnam yang mengandalkan pasokan benih asal Indonesia justru maju dalam teknologi pembesaran benih dan menjadi salah satu eksportir lobster dunia.
Di tengah lesunya perekonomian nasional, terutama sebagai dampak pandemi Covid-19, Indonesia dipacu untuk menjaga daya tahan ekonomi dan sektor usaha. Upaya menjaga usaha perikanan dan pemanfaatan sumber daya mutlak menjunjung prinsip keberlanjutan demi kelestarian sumber daya dan bisnis jangka panjang.
Ada harga besar yang dipertaruhkan untuk kebijakan ekspor benih yang tidak dilandaskan kajian riil terkait potensi, stok, jumlah benih yang boleh ditangkap di alam, penentuan lokasi, dan waktu penangkapan. Apalagi, kondisi wilayah perairan Indonesia berbeda di tiap wilayah. Tanpa rambu-rambu yang jelas, eksploitasi benih akan sulit terkendali dan berbalik menghantam budidaya lobster yang baru mulai dirintis di dalam negeri.
Sejatinya, inilah momentum bangsa untuk fokus membangkitkan ”macan tidur” perikanan dengan mengembangkan budidaya yang menciptakan keuntungan ekonomi jangka panjang. Ketertinggalan budidaya lobster sepatutnya diatasi dengan perbaikan tata kelola benih, sarana-prasarana, teknologi, distribusi, dan pemasaran yang mampu menyejahterakan seluruh pelaku usaha dalam negeri.
Kita patut becermin dari nasib komoditas perikanan lain, seperti sidat dan bandeng. Ketika ekspor benih (eel) sidat dan benih (nener) bandeng pernah nyaris tak terbendung, pembudidaya menghadapi kesulitan benih di dalam negeri.
Ketertinggalan tak seharusnya dijawab dengan pertaruhan kebijakan demi mengejar keuntungan instan sesaat. Yang dibutuhkan adalah terobosan dan kerja ekstra keras untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu berdaya dan menyejahterakan pelaku usaha perikanan dengan potensi yang dimiliki.