Saatnya Belajar (Lagi) Bagaimana Menyejahterakan Petani
Undang-Undang No 18/2012 tentang Pangan memberi amanat ke pemerintah untuk menstabilkan harga pangan demi melindungi pendapatan dan daya beli petani. Ketika pandemi memukul sektor ini, perhatian perlu lebih ke petani.
Petani merupakan tokoh utama yang memproduksi pangan sebagai kebutuhan primer masyarakat. Artinya, kebijakan pangan nasional mesti beroritentasi pada kesejahteraan petani.
Sejak lebih dari sebulan lalu, sejumlah negara telah merumuskan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan petani terkait pandemi Covid-19. Kebijakan-kebijakan itu tertuang dalam laporan Bank Dunia berjudul ”Social Protection and Jobs Responses to Covid-19: A Real-Time Review of Country Measures” yang dipublikasikan 1 Mei 2020 dan diperbarui tiap sepekan sekali.
Dokumen itu ditulis Senior Economist sekaligus Social Protection and Jobs Global Practice World Bank Ugo Gentilini, Consultant at the World Bank Group Mohamed Almenfi, Regional Advisor, Social Policy and Economic Analysis (Europe and Central Asia) at UNICEF Pamela Dale, Lead Economist at The World Bank Gustavo Demarco, serta Senior Economist sekaligus Social Protection and Labor Global Practice World Bank Indhira Santos.
Dalam dokumen itu, Italia disebut sebagai salah satu negara yang memiliki kebijakan terkait pertanian dalam menghadapi pandemi. Italia memberikan bonus satu kali sebesar 660 dollar AS bagi wirausahawan dan pekerja profesional. Pertanian menjadi salah satu sektor sasaran.
Salah satu strategi yang diusulkan FAO ialah menjamin perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan.
Tak hanya Italia, Kementerian Pertanian Turki memiliki kebijakan yang langsung menyasar petani. Kementerian tersebut mengadakan perlengkapan kebersihan dan perlindungan serta tempat tinggal dan transportasi yang layak bagi pekerja di sektor pertanian musiman.
Respons-respons kebijakan itu sejalan dengan strategi menghadapi krisis pangan yang dipublikasikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melalui dokumen berjudul ”Anticipating The Impacts of Covid-19 in Humanitarian and Food Crisis Contexts serta Addressing The Impacts of Covid-19 in Food Crises”.
Salah satu strategi yang diusulkan FAO adalah menjamin perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan, salah satunya produsen pangan skala kecil, buruh tani, buruh yang terlibat dalam rantai nilai pangan, serta nelayan dan komunitas perikanan.
Dokumen FAO itu menyatakan, krisis pangan berpotensi terjadi di negara-negara yang sebanyak 80 persen dari populasinya bergantung pada pertanian. Ancaman krisis pangan itu kian nyata bagi negara-negara tersebut lantaran adanya disrupsi pada rantai pasok akibat pandemi Covid-19.
Target tersegmentasi
Dalam dokumen Bank Dunia, sejumlah negera telah menetapkan target yang terukur pada kebijakan pangan yang menyasar pada petani. Skema pelaksanaan kebijaksanaan itu pun sudah tergambar secara teknis umum.
Misalnya, India yang akan memberikan 26,5 dollar Amerika Serikat (AS) selama tiga bulan. Bantuan ini diberikan kepada 87 juta petani yang mengikuti program Pradhan Mantri Kisan Samman Nidhi.
Baca juga: Petani Nelayan Terpukul Pandemi
Pemerintah Kosovo berancang-ancang mempercepat pembayaran subsidi dan grants pertanian untuk 1.702 petani. Sementara pemerintah Sri Lanka Mentransfer sebanyak 5.000 rupee Sri Lanka (sekitar 26,72 dollar AS) untuk 160.675 petani yang terdaftar dalam skema asurani petani dan nelayan.
Dalam merumuskan kebijakan yang berorientasi langsung kepada petani, Indonesia dapat dikatakan tertinggal dibandingkan Italia, Turki, India, Kosovo, dan Sri Lanka. Pada akhir April 2020 lalu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berencana menyalurkan bantuan langsung tunai kepada petani sebesar Rp 600.000 per orang tiap bulan selama pandemi Covid-19.
Menurut rencana, Rp 300.000 dari bantuan itu akan dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari petani dan Rp 300.000 lainnya untuk modal produksi. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, rincian mengenai skema bantuan tersebut tengah dirancang oleh Kementerian Pertanian serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Di sisi lain, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi menyatakan, teknis bentuk bantuan hingga mekanisme penyalurannya mesti mempertimbangkan keberagaman petani dan komoditas pangan yang ditanam. Target pun mesti jelas dan berbasis data, baik petani maupun buruh tani.
Tak bantuan tunai dan sarana produksi, Menteri Syahrul Yasin Limpo menyatakan, Kementerian Pertanian akan mempersiapkan 600.000 lahan cetak sawah baru. Hal ini merupakan amanat Presiden Joko Widodo untuk mengatasi krisis pangan yang diperingatkan oleh FAO.
Baca juga: Waktunya Mengangkat Produsen Pangan
Akan tetapi, pencetakan lahan sawah baru merupakan strategi ekstensifikasi. Menurut pengamat pertanian IPB University Muhamad Firdaus, strategi intensifikasi yang mestinya dijalankan pemerintah saat situasi pandemi Covid-19, yakni peningkatan produktivitas dan penguatan infrastruktur pertanian.
Berbeda
Beda negara, adat bertaninya pun berbeda. Imbasnya, kebutuhan petani Indonesia berbeda pula jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Di tengah pandemi Covid-19, Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja menyatakan, petani membutuhkan jaminan penyerapan hasil panen dengan harga yang layak untuk menjaga kesejahteraannya sekaligus gairah produksinya. Harga yang layak berarti di atas ongkos produksi.
Petani membutuhkan jaminan penyerapan hasil panen dengan harga yang layak untuk menjaga kesejahteraannya.
Kebutuhan jaminan itu pun kian mendesak. Hal ini tecermin dari merosotnya nilai tukar petani (NTP) selama empat bulan berturut-turut sejak Januari 2020 yang sebesar 104,16 berdasarkan data Badan Pusat Statistik. Pada April 2020, NTP berada pada posisi 100,32.
Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan, apabila NTP turun, petani tak bergairah untuk memproduksi pangan. Akibatnya, produksi dan stok pangan nasional pun dapat menurun.
Ketua Umum Perhepi Hermanto Siregar berpendapat, Indonesia memiliki artikulasi krisis pangan secara internal dari sisi permintaan dan penawaran atau suplai. ”Permintaan yang turun berdampak pada penurunan suplai. Jika tidak diantisipasi, penurunan suplai dapat lebih jauh dibandingkan permintaan,” katanya saat diskusi kelompok terfokus berjudul ”Antisipasi Krisis Pangan” yang diadakan secara daring, Rabu (6/5/2020).
Berkonteks pada kondisi pertanian dan pangan di Indonesia saat ini, Rektor Universitas Brawijaya Nuhfil Hanani berpendapat, saat ini petani mengalami penurunan permintaan. Oleh sebab itu, pemulihan permintaan di masyarakat saat ini strategis untuk menjaga jumlah suplai di tataran petani sebagai produsen pangan.
Baca juga: Petani Butuh Solusi Jangka Pendek
Nuhfil menambahkan, jaminan harga bagi petani saat ini juga menjadi aspek yang krusial. ”Apabila memungkinkan, ciptakan sumber permintaan baru. Menggerakkan masyarakat untuk ’berkontrak’ langsung dengan petani juga dapat menjadi pilihan,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Menjawab tantangan di sisi permintaan tersebut, Musdhalifah menyatakan, pemerintah saat ini mengandalkan penyerapan oleh badan usaha milik negara dan sejumlah usaha rintisan berbasis teknologi digital di bidang pertanian. Namun, langkah tersebut belum dapat menjadi strategi yang menyeluruh.
Di tengah anjloknya harga hasil panen petani, pembudidaya ikan, nelayan, dan peternak saat ini, peran negara diuji. Bukankah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah memberi amanat secara eksplisit bahwa pemerintah wajib menstabilkan pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen untuk melindungi pendapatan dan daya beli petani?
https://youtu.be/1vtm1hIb8bU