Awak angkutan umum menghadapi dua persoalan sekaligus. Di satu sisi, mereka adalah pekerja yang rawan tertular virus korona baru. Di lain pihak, mereka juga langsung terimbas atas merosotnya jumlah pemakai angkutan umum.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·4 menit baca
Dalam wawancara dengan Kompas, 5 Mei 2020, ketua trayek mikrolet M08, Simbolon (61), memberikan garansi kalau sopir di jalur itu akan memarkir kendaraan mereka apabila ada jaminan mereka mendapatkan bantuan sedikitnya Rp 50.000 sehari.
Di tengah pandemi Covid-19 yang mengharuskan orang berdiam di rumah dan menghindari interaksi dengan banyak orang, barangkali pekerja di sektor angkutan umum kota menjadi salah satu yang merasakan dampaknya secara langsung.
Pada satu sisi, mereka dihadapkan pada minimnya jumlah penumpang dan pembatasan jumlah penumpang, yakni maksimal 50 persen dari kapasitas kendaraan.
Harus diakui, belum semua bus, baik bus kecil, sedang, maupun besar yang melayani warga Jakarta, sudah dijamin operasionalisasinya oleh pemerintah. Masih ada awak angkutan umum yang menggantungkan hidup mereka dari banyak-sedikitnya penumpang sehari-hari. Mereka ini yang berada di luar sistem yang dikelola PT Transportasi Jakarta (Transjakarta). Artinya, kalau tidak ada penumpang sama sekali, tidak ada pula yang bisa dimakan hari itu.
Tanpa adanya pandemi Covid-19 saja, sebagian pelaku usaha dan pekerja di sektor transportasi umum di luar sistem Transjakarta yang merasakan penurunan jumlah penumpang.
Kebutuhan perut ini bertabrakan dengan pilihan untuk mengutamakan kesehatan pengguna angkutan umum dan awak kendaraan saat pandemi Covid-19. Sejauh ini, menurut pengakuan sejumlah awak angkutan, masih ada awak angkutan umum yang tersentuh bantuan pemerintah.
Pekerja yang rawan
Pemerintah Indonesia memang belum merilis secara spesifik ada atau tidak awak angkutan umum yang terpapar Covid-19. Namun, dari pengalaman negara lain, pekerja di sektor angkutan umum ini merupakan salah satu yang riskan terjangkit virus korona jenis baru ini.
Di London, Inggris, misalnya, badan Transport for London (TfL) merilis ada 37 pekerja sektor transportasi di kota itu yang meninggal akibat Covid-19. Dari jumlah itu, 28 orang di antaranya adalah sopir bus. Sehari-hari, total 27.000 orang bekerja untuk TfL.
Rawannya pekerja sektor transportasi ini yang membuat sejumlah kalangan, termasuk pemangku kebijakan bidang transportasi, di negara tersebut yang mendesak agar pengenduran kebijakan karantina wilayah (lockdown) di Inggris tidak dilakukan secara drastis, terutama di ibu kota negara itu.
Tuntutan ini tidak mudah, bahkan untuk kota sekelas London. Di satu pihak, kota ini sebagaimana juga kota-kota lain di dunia membutuhkan pergerakan roda ekonomi untuk menopang kehidupan warga dan negara.
Sebaliknya, sistem pengamanan kesehatan belum bisa mendefinisikan secara presisi langkah-langkah untuk mengantisipasi penularan virus korona jenis baru. Kebijakan yang dianggap efektif menekan penyebaran virus ini adalah beraktivitas di rumah dan membatasi kegiatan di ruang publik.
Upaya mencegah memang masif dilakukan, yakni keharusan memakai masker; menjaga jarak satu sama lain; kebersihan diri terutama dengan sering-sering mencuci tangan; dan rutin membersihkan fasilitas umum seperti pegangan tangga, bus, kereta, ataupun tempat duduk di halte atau stasiun.
Media The Guardian, 5 Mei 2020, memprediksi pengguna sepeda bakal meningkat sepuluh kali lipat. Sepeda diyakini sebagian orang sebagai moda transportasi paling baik selama menghindari pemakaian angkutan umum sekaligus untuk mengurangi polusi dari sektor transportasi.
TfL juga melebarkan jalur sepeda dan jalur pejalan kaki agar warga bisa mengatur jarak dengan pesepeda dan pejalan kaki lain.
Akomodasi mobilitas
Di Jakarta dan sejumlah kota besar, aturan PSBB memaksa warga untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Aktivitas keluar rumah berkurang. Kalaupun ada, sebagian besar warga memilih memakai kendaraan pribadi untuk mobilitas.
Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, memakai kendaraan pribadi, jika terpaksa bepergian, bisa jadi pilihan yang lebih baik untuk mencegah potensi terjangkit virus korona jenis baru atau juga menulari virus ini. Beberapa orang memanfaatkan lengangnya jalan Ibu Kota dengan bersepeda ke tempat tujuan.
Sebaliknya, dari sudut pandang operator angkutan umum, melambatnya pergerakan orang di Jakarta dan meluasnya pemakaian kendaraan pribadi memberikan pukulan telak bagi mereka.
Sesekali terlihat di jalanan, bus reguler yang sepi melaju lambat di jalanan. Tak jarang terlihat bus kosong sama sekali. Sopirnya harap-harap cemas bisa dapat 1-2 penumpang saja.
Persoalan kesehatan dan ekonomi awak transportasi umum kita ini perlu mendapatkan perhatian pemangku kebijakan. Barangkali, mereka menjadi bagian dari kelompok warga yang terpukul berat dengan adanya PSBB demi kebaikan bersama.
Insentif seperti pengurangan pajak, harga BBM khusus sektor transportasi umum, atau pengurangan pajak suku cadang barangkali bisa menjadi cara untuk meringankan pekerja di sektor transportasi umum.
Tentu saja, kita tak ingin pekerja di sektor transportasi publik ini menghilang setelah pandemi berakhir.