Kucing-kucingan dengan Aparat demi Menyambung Hidup
Di tengah desakan memenuhi kebutuhan ekonomi saat pembatasan sosial berskala besar ini, sejumlah pedagang tetap berjualan demi mendapatkan pemasukan. Risiko mendapatkan sanksi dari pemerintah tetap mereka ambil.
Oleh
Fajar Ramadhan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Agar dapat menyambung hidup, para pelaku usaha perlengkapan ibadah terpaksa harus kucing-kucingan dengan para petugas satpol PP agar mereka tetap dapat berjualan. Meskipun begitu, mereka tidak bisa berharap banyak pada penghasilan di bulan Ramadhan di tahun ini.
Ojos, karyawan di salah satu toko di Jalan Jatibaru, Jakarta Pusat, mengungkapkan, ia dan teman-temannya harus kucing-kucingan dengan petugas satpol PP yang kerap merazia wilayah tersebut.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), jenis usaha di tempat kerja Ojos itu tidak termasuk yang dikecualikan. Artinya, tokonya seharusnya tidak boleh berjualan.
Bahkan pada awal Ramadhan lalu, kios mereka sempat disegel oleh petugas satpol PP selama lima hari karena kedapatan melanggar PSBB. Sanksi itu tidak membuat jera. Mereka masih nekat berjualan demi bertahan hidup. Para karyawan toko juga mesti cekatan membaca tanda-tanda kedatangan petugas sembari beraktivitas di dalam kios.
”Pinter-pinter kitalah, pintu hanya kami buka setengah. Kalau enggak, ya, disegel. Kalau enggak gitu, kami engak makan. ,Kan harus bayar kontrakan,” katanya di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Beruntung kios mereka berdiri di deretan paling tengah sehingga tidak langsung terlihat oleh petugas yang datang. Masih ada kios-kios lain hingga ujung Jalan Jatibaru yang juga masih berjualan. Jadi, Ojos masih banyak waktu untuk menutup pintu garasi jika sewaktu-waktu ada razia.
Sepi pembeli
Walaupun kucing-kucingan berjualan, ia tetap mengeluhkan sepinya permintaan perlengkapan ibadah pada Ramadhan di tahun ini. Ia memperlihatkan berdus-dus peci yang belum terjual dan menumpuk hingga mendekati langit-langit kiosnya. Pemandangan tersebut tidak pernah ia lihat pada Ramadhan-Ramadhan sebelumnya.
Stok peci sudah disiapkan sejak sebulan yang lalu, tetapi tak kunjung habis. Jika permintaan membeludak, pada bulan Ramadhan seperti sekarang toko ini mampu meraup omzet hingga Rp 200 juta dalam sehari. Kini, untuk mendapatkan Rp 5 juta per hari saja, mereka terengah-engah.
”Ini saja kami menyiapkan kiriman untuk pesanan yang sudah lama,” katanya.
Padahal, harga-harga perlengkapan ibadah dari pabrik saat ini justru tengah menurun. Ojos mencontohkan peci dengan merek Wadimor yang biasanya dijual seharga Rp 750.000 sekodi, saat ini hanya Rp 650.000 per kodi.
Stok peci sudah disiapkan sejak sebulan yang lalu, tetapi tak kunjung habis. Jika permintaan membeludak, pada Bulan Ramadhan seperti sekarang toko ini mampu meraup omzet hingga Rp 200 juta dalam sehari. Kini, untuk mendapatkan Rp 5 juta per hari saja, mereka terengah-engah.
Tidak hanya peci, permintaan juga menurun di hampir semua jenis perlengkapan ibadah, seperti sarung, mukena, sajadah, dan baju koko. Setiap Ramadhan, barang-barang tersebut pasti banyak dicari. Kini, Ojos dan kawan-kawan hanya bertumpu pada sisa-sisa pelanggan dan pembeli eceran.
”Biasanya ada yang mengambil dari daerah, seperti Palopo (Sulawesi Selatan), Ternate (Maluku Utara), atau Muara Bungo (Jambi). Ekspor juga ke Malaysia dan Mekkah,” ujarnya.
Ojos mengungkapkan, pembeli dari daerah cenderung datang langsung ke tempatnya karena lebih bebas memilih barang. Jika hanya mengandalkan pengiriman daring, mereka khawatir barang yang diterima tidak sesuai dengan barang yang difoto. Di masa pandemi seperti sekarang, tak ada pelanggan dari pulau seberang yang datang.
Arti Ratna, pemilik salah satu toko di Jalan KH Mas Mansyur, Jakarta Pusat, juga mengakui, permintaan perlengkapan ibadah menurun drastis. Biasanya, sarung dan sajadah di kiosnya diborong pembeli perorangan untuk dibagikan. Rata-rata, dua hingga empat kodi per orang.
”Ramadhan sekarang, saya baru melayani pembeli sajadah sekali saja. Lumayan banyak sih, sekitar 20 kodi untuk acara haul,” katanya.
Oleh-oleh
Arti menambahkan, pada Ramadhan biasanya ada saja orang yang pulang dari umrah. Karena mereka tidak dapat memboyong banyak oleh-oleh, maka harus membeli lagi di Tanah Air. Pada momen seperti itulah orang-orang berdatangan ke toko Arti untuk membeli air zamzam dan perlengkapan ibadah.
Namun, tahun ini, kebiasaan itu tidak terjadi. Tidak adanya umrah membuat aktivitas di toko ikut lesu. Zamzam yang biasanya bisa terjual 5-10 galon per hari, sekarang hanya terjual 2 galon sehari. Adapun satu galon berisi 5 liter air zamzam.
”Sekarang saya masih punya 400 galon. Memang saya siapkan khusus untuk Ramadhan, tetapi ya sudahlah. Untungnya zamzam tidak ada masa berlakunya,” katanya.
Penjualan daring
Menurunnya permintaan terhadap perlengkapan ibadah tidak hanya dialami oleh penjual konvensional. Penjual daring turut merasakan hal serupa. Misalnya seperti yang dialami oleh Toko Nabawi Jakarta. Meski meningkat dibandingkan pada bulan lalu, permintaan kepada mereka mengalami penurunan dibandingkan pada Ramadhan tahun lalu. Mereka menyebut penurunan tersebut hampir mencapai 50 persen.
Rio, penjual perlengkapan ibadah di Blok F Pasar Tanah Abang, saat ini juga terpaksa hanya mengandalkan penjualan melalui daring. Praktis, pada Ramadhan kali ini ia harus menutup tiga tokonya, yakni Toko Rasyid, Zamziba, dan Azzam, karena pelaksanaan PSBB di DKI Jakarta. Tahun lalu, ia masih menggerakkan dagangannya melalui konvensional dan daring.
Menurut dia, jumlah transaksi daring pada tahun ini lebih banyak dibandingkan pada tahun lalu. Namun, pesanan yang lebih banyak masuk tahun ini adalah pesanan eceran. Meski jumlah transaksi pada tahun lalu tidak sebanyak di tahun ini, permintaan yang masuk pada tahun lalu kebanyakan adalah grosiran.
”Satu aplikasi e-dagang bisa sampai 200 orderan setiap hari. Tapi, kebanyakan eceran. Kalau tahun lalu, kebanyakan kodi-an. Bahkan ada yang pesan 5.000 sajadah untuk bagi-bagi,” kata Rio.
Sementara itu, untuk Ramadhan tahun lalu, setiap kiosnya bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta sebulan. Adapun untuk bulan-bulan biasanya berkisar Rp 200 juta per bulan. ”Untuk Ramadhan sekarang, kami belum sempat hitung omzetnya, tapi pastinya jauh di bawah penghasilan Ramadhan biasanya,” ujarnya.