Program Kartu Prakerja di tengah pandemi Covid-19 diminta untuk ditunda dan dialihkan menjadi bantuan sosial agar lebih tepat guna. Setelah pandemi mereda, pemerintah juga diminta untuk menerapkan skema ”jobkeeper”.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Gugatan manfaat Kartu Prakerja kian menjadi perbincangan hangat dalam sebulan terakhir di tengah pandemi Covid-19. Komentar calon peserta ataupun peserta Kartu Prakerja, khususnya di laman media sosial Kementerian Ketenagakerjaan, selalu mengemuka mulai dari proses pendaftaran, seleksi, hingga menanti cairnya insentif.
Hasil penelusuran Kompas, Sabtu (2/5/2020), dalam akun Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan) di media sosial Instagram, warganet mengeluhkan persoalan yang mereka hadapi. Misalnya, terkait dengan bentuk transparansi dari standar kelulusan program Kartu Prakerja.
Chelta Limbong, salah satu warganet, berkomentar, ”Penilaian apa yang tidak buat lulus? Kasih tahu dong, biar tahu bagaimana memperbaiki ke depannya.” Komentar seperti ini menjadi wajar ditanyakan karena kelulusan peserta tidak jelas parameternya dan menurut pemerintah dilakukan secara acak.
Adapun Inez Valencia (24), peserta Kartu Prakerja gelombang pertama, mempertanyakan, mengapa meski telah menyelesaikan pelatihan sejak 23 April 2020, hingga kini insentif belum juga cair. Padahal, insentif sebesar Rp 600.000 dijanjikan akan cair lima hari setelah pelatihan usai.
”Enggak tahu kenapa sampai sekarang tulisannya ’belum diproses’, padahal saya sudah menyelesaikan empat pelatihan sejak minggu lalu. Kalau sudah ada uangnya, kan, lumayan untuk menambah uang makan,” ujar Inez, karyawan swasta yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Keluhan lain datang dari Nadya Amalia (23), karyawan di sektor digital marketing yang dirumahkan tanpa gaji sejak awal April 2020. Setelah berhasil lolos ikut Kartu Prakerja pada gelombang kedua, ia mempertanyakan ada tidaknya jaminan lapangan kerja.
”Saya memang dirumahkan, tetapi, kan, enggak tahu kapan akan dipanggil, enggak tahu juga apakah akan dipanggil lagi atau tidak. Makanya, sebenarnya yang paling dibutuhkan itu lapangan kerja atau setidaknya bantuan langsung tunai sehingga bisa langsung digunakan,” kata Nadya.
30 gelombang
Catatan Kompas, pendaftaran Kartu Prakerja akan dibuka hingga pekan keempat November 2020 dengan total sebanyak 30 gelombang. Hingga Selasa (28/4/2020) malam, total pendaftar mencapai 8,6 juta orang.
Namun, terdapat kuota jumlah peserta yang dinyatakan lolos pada setiap gelombang. Untuk gelombang pertama 168.111 orang dan untuk gelombang kedua 288.154 orang.
Kepala Departemen Ekonomi Centre of Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Yose Rizal Damuri menyampaikan, dengan target peserta Kartu Prakerja sebanyak 5,6 juta, maka diperlukan setidaknya 28 minggu atau sekitar 7 bulan apabila kuota penerima terbatas 200.000 orang per minggu.
”Mungkin pandemi (Covid-19) saja sudah selesai (sebelum korban PHK menerima manfaat kartu prakerja). Maka lebih baik apabila pelatihan keterampilan ditunda dahulu dan uang biaya pelatihan dialihkan ke bantuan sosial tanpa adanya persyaratan,” kata Yose.
Yose menilai, Kartu Prakerja merupakan program yang bagus untuk meningkatkan keterampilan, tetapi tidak di saat pandemi. Apabila dipaksakan untuk tetap dijalankan, program Kartu Prakerja tidak akan memberikan hasil yang maksimal.
Jobkeeper
Data Kemenaker per 20 April 2020, jumlah pekerja yang terdampak Covid-19 mencapai 2,1 juta pekerja baik dari sektor formal maupun informal yang berasal dari sekitar 160.000 perusahaan. Secara rinci, pekerja formal yang dirumahkan mencapai 1,3 juta orang, sementara yang terkena PHK ada lebih dari 241.000 pekerja.
Para pekerja dari sektor informal pun terdampak. Ada lebih dari 500.000 pekerja dari 31.000 perusahaan atau usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak.
Mengutip dari laman resmi Kemenaker, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah kembali mengingatkan agar PHK menjadi pilihan terakhir bagi perusahaan. Ia pun mengimbau, pengusaha untuk mengajak kembali pekerja atau buruh yang di-PHK dan dirumahkan saat pandemi Covid-19 sudah berakhir.
”Jangan lupa, kalau bisnis sudah jalan lagi, sudah ada rezeki, anak-anak yang di-PHK harus jadi prioritas dipanggil lagi, kan, sudah saling kenal. Tidak usah men-training lagi. Sudah seperti keluarga saja selama ini,” kata Ida.
Yose juga menyampaikan, pemerintah dapat memikirkan skema jobkeeper atau memberikan stimulus kepada perusahaan yang terdampak. Misalnya, perusahaan diberikan insentif dengan syarat harus mempekerjakan karyawan yang sebelumnya dirumahkan atau di-PHK.
”Melalui cara ini, perusahaan dapat dibantu untuk lebih cepat memulai kembali produksinya. Penyerapan tenaga kerja yang mengalami PHK pun akan lebih mudah dilakukan,” kata Yose.
Sebagai contoh, skema jobkeeper sudah mulai diberlakukan di Australia. Mengutip artikel dari laman business.gov.au berjudul ”JobKeeper Payment for Employers and Employees” yang terbit pada 26 April 2020, dikatakan, melalui skema ini, bisnis yang terdampak Covid-19 akan mendapatkan subsidi untuk melanjutkan pembayaran gaji karyawan.
Pemerintah Australia akan mengeluarkan subsidi upah sebesar 1.500 dollar Australia atau sekitar Rp 14 juta per dua minggu per karyawan. Pencairan subsidi dimulai dari pada minggu awal Mei hingga 27 September 2020.