Terdampak Covid-19, Perumnas Tunda Bayar Pokok Surat Utang
Perlambatan bisnis akibat pandemi Covid-19 membuat kewajiban perusahaan membayar utang yang diterbitkan pasar modal terhambat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha/BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional atau Perum Perumnas menunda pembayaran pokok terhadap surat utang jangka menengah atau medium term notes yang mereka terbitkan tiga tahun lalu meski sudah jatuh tempo.
Direktur PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Syafruddin membenarkan adanya penundaan pembayaran pokok kepada pemegang medium term notes (MTN) I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A yang seharusnya dilaksanakan pada 28 April 2020.
”Mengenai alasannya, secara umum karena kondisi bencana Covid-19 saat ini. Penjelasan alasan penundaan prinsipnya harus disampaikan penerbit kepada pemegang MTN,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (29/4/2020).
Syafruddin memastikan Perum Perumnas sebagai penerbit MTN sudah mengajukan permohonan penundaan pembayaran kepada pemegang MTN.
Dalam surat KSEI kepada pemegang MTN tertanggal 27 April 2020 disampaikan bahwa penundaan pembayaran pokok dilakukan lantaran dana pokok MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A di rekening KSEI belum efektif sesuai waktu yang telah ditentukan.
Terbit pada 25 April 2017, MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A memiliki nilai pokok Rp 200 miliar. MTN bertenor tiga tahun ini menawarkan bunga tetap sebesar 9,75 persen yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali.
Meski ada keterlambatan pembayaran pokok seusai jatuh tempo, Perum Perumnas tetap melakukan pembayaran kupon setiap tiga bulan sekali kepada semua pemegang MTN.
Berdasarkan peringkat investasi dari lembaga Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) per Februari 2020, MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 masih mendapat level BBB+. Rating ini menunjukkan risiko investasi yang rendah dengan kemampuan penerbit utang memenuhi kewajiban yang memadai.
Efek utang dengan peringkat BBB juga mengindikasikan parameter proteksi yang memadai dibandingkan surat utang Indonesia lainnya. Meski begitu, kondisi ekonomi yang buruk atau keadaan yang terus berubah bisa memperlemah kemampuan penerbit terhadap komitmen keuangan jangka panjangnya.
Terdampak
Direktur Keuangan Perum Perumnas Eko Yuliantoro menyampaikan, bisnis tengah menghadapi ketidakpastian sebagai dampak pandemi Covid-19. Pihaknya menunggu perkembangan penanganan Covid-19 untuk memastikan langkah selanjutnya.
”Kita belum tahun kapan Covid-19 berakhir. Kalau sudah tahu kapan baru bisa berhitung. Intinya, langkah ini merupakan keputusan manajemen untuk kehati-hatian terkait perkembangan situasi,” katanya, Rabu (29/4/2020), di Jakarta.
Perum Perumnas tidak memenuhi kewajibannya membayar pokok MTN I Perum Perumnas Tahun 2017 Seri A yang seharusnya dilaksanakan pada 28 April 2020. Pembayaran ditunda. ”Tidak ada niat sengaja tidak membayar. Dalam kondisi sekarang, perlu berhati-hati,” katanya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan sekarang ini adalah likuiditas. Karena bisnis sepi, aliran kas perusahaan yang sedianya untuk memutar bisnis sekaligus membayar utang menjadi tersendat.
Permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan sekarang ini adalah likuiditas.
”Perusahaan mengalami cash flow yang defisit. Oleh karena itu, perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka membayar cicilan utang,” ujar Piter.
Di tengah perlambatan ekonomi dan bisnis, pemerintah telah memberikan kelonggaran pajak kepada perusahaan untuk mengurangi beban likuditas. Namun, bagi perusahaan yang benar-benar kehilangan pemasukan, bisa jadi bantuan tersebut belum mencukupi karena mereka masih ada kewajiban cicilan utang yang diterbitkan di pasar modal.
”Di Amerika Serikat, menimbang besarnya tekanan likuiditas akibat Covid-19, bank sentral AS, The Fed, melakukan pembelian surat utang langsung kepada korporasi,” ujarnya.
Menurut Piter, opsi seperti yang dilakukan The Fed perlu dikaji untuk diterapkan mengingat kebutuhan utama para pelaku pasar dunia usaha, terutama di bursa, lebih pada ketersediaan likuiditas.